Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Unfollow Zaskia Adya Mecca: Ironi Artis yang Aktivis, di Era Endorsement

24 April 2025   13:47 Diperbarui: 29 April 2025   09:43 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat, beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk unfollow akun Instagram Dian Sastrowardoyo. Alasannya sederhana namun cukup dalam: saya tidak menemukan sensitivitas yang layak terhadap isu Palestina, isu kemanusiaan yang sudah bertahun-tahun menjadi luka terbuka di benak banyak orang, termasuk saya.

Hari ini, saya kembali mengulangi tindakan yang sama. Tapi kali ini, sasarannya adalah Zaskia Adya Mecca. Ya, aktris dan pengusaha muslimah yang selama ini dikenal sebagai sosok yang vokal, tangguh, dan kerap menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Namun entah mengapa, saya merasa ada yang tidak seimbang antara suara yang ia nyaringkan dengan langkah yang ia tempuh di dunia komersial.

Beberapa hari terakhir, Zaskia tampil sebagai Brand Ambassador Sunlight---sebuah produk milik Unilever. Tidak ada yang salah dengan endorse produk, tentu saja. Itu bagian dari kehidupan publik figur, dan saya sepenuhnya sadar akan realitas ekonomi yang menyertainya. Tapi dalam konteks aktivisme Palestina, endorsement ini menimbulkan dilema moral yang layak dikritisi.

Dilema Sunlight dan Afiliasi Unilever

Unilever adalah raksasa multinasional yang, berdasarkan banyak laporan dan daftar boikot internasional, memiliki operasi bisnis di Israel. Produk-produknya tersebar luas, dari sabun hingga makanan ringan, dan mencakup merek-merek yang kita pakai sehari-hari---termasuk Sunlight.

Dalam beberapa kesempatan, organisasi pro-Palestina telah menyerukan boikot terhadap produk-produk yang dianggap mendukung ekonomi Israel. Bukan karena produk itu 'haram', tapi karena dalam konteks kolonialisme modern yang dialami rakyat Palestina, setiap rupiah yang mengalir ke ekonomi pendukung pendudukan dianggap sebagai bentuk kontribusi terhadap penindasan.

Apakah ini berarti membeli Sunlight langsung mendukung Israel? Tidak secara langsung. Tapi afiliasi perusahaan induknya tidak bisa diabaikan, terlebih ketika isu Palestina adalah garis moral yang selama ini dijaga dan disuarakan oleh publik figur seperti Zaskia.

Konflik antara Personal Branding dan Komitmen Moral

Saya tidak mengenal Zaskia secara pribadi, tapi saya mengikuti perjalanannya di media sosial. Ia aktif berbicara tentang isu perempuan, keluarga, bahkan soal Palestina. Ia adalah representasi dari banyak muslimah urban yang mencoba menyeimbangkan iman, karier, dan kontribusi sosial.

Justru karena itulah langkahnya menjadi sorotan. Aktivisme di era media sosial sangat erat kaitannya dengan personal branding. Saat seorang figur publik membangun citra sebagai aktivis kemanusiaan, publik tidak hanya mendengar suaranya---mereka juga mengamati langkah kakinya. Dan endorsement terhadap produk yang dianggap "terafiliasi" dengan pihak yang menindas Palestina adalah langkah kaki yang mengaburkan suara yang selama ini ia suarakan.

Bisa jadi, endorsement ini lahir dari ketidaktahuan. Bisa juga dari kompromi profesional. Tapi dalam dunia aktivisme, ketidaktahuan tidak cukup sebagai alasan, dan kompromi seringkali menjadi lubang kecil yang menjebol dinding konsistensi.

Kritik ini Bukan soal Benci, tapi Harapan

Saya tidak menulis ini karena membenci Zaskia. Justru karena saya menghargainya. Karena saya tahu suaranya didengar, pengaruhnya nyata. Karena saya tahu banyak ibu muda, muslimah, dan remaja menjadikannya panutan.

Dan justru karena itu saya berharap lebih. Harapan yang lahir dari rasa percaya, dari penghargaan terhadap kredibilitas yang ia bangun bertahun-tahun. Tapi harapan ini hari ini terasa dikhianati oleh keputusan endorsement yang, bagaimanapun alasannya, berseberangan dengan nilai yang selama ini ia perjuangkan di mata publik.

Kita bisa berdalih bahwa selebritas juga manusia, punya kebutuhan ekonomi, tanggungan keluarga, dan target bisnis. Tapi itu tidak menghapus fakta bahwa dengan kekuatan besar datang tanggung jawab besar. Setiap endorsement bukan sekadar iklan, tapi juga pernyataan posisi.

Ketika Palestina Hanya Jadi Feed, Bukan Komitmen

Isu Palestina bukan tren Instagram. Bukan pula sekadar momen repost dari akun aktivis atau lembaga kemanusiaan. Ini adalah luka kemanusiaan yang berdarah sejak puluhan tahun lalu, dan hingga hari ini belum menemukan penyembuh.

Ketika seorang figur publik menyuarakan dukungan terhadap Palestina, publik berharap itu lahir dari komitmen yang lebih dalam daripada sekadar feed media sosial. Harapan bahwa ketika mereka bilang "Free Palestine", mereka juga akan berhati-hati memilih siapa yang mereka dukung, siapa yang mereka wakili, dan dari mana mereka menerima upah.

Unfollow sebagai Bentuk Suara

Maka hari ini, saya unfollow Zaskia Adya Mecca. Bukan sebagai bentuk cancel culture yang brutal, tapi sebagai bentuk suara. Sebuah sinyal bahwa konsumen, followers, dan publik punya ekspektasi. Bahwa kami melihat, mendengar, dan menilai.

Saya tahu langkah saya kecil. Tapi seperti setiap donasi kecil untuk Palestina yang kita kumpulkan lewat kotak amal masjid atau transfer daring, setiap unfollow juga adalah pilihan. Pilihan untuk menjaga garis batas antara nilai dan bisnis. Antara suara dan langkah.

Saya masih percaya pada perubahan. Masih percaya bahwa kritik ini bisa menjadi cermin, bukan hanya bagi Zaskia, tapi bagi semua publik figur yang menjadikan Palestina sebagai bagian dari identitas moral mereka. Karena solidaritas sejati bukan hanya soal suara, tapi soal keberpihakan yang diterjemahkan dalam tindakan---sekecil apa pun itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun