Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NU dan 'NKRI Harga Mati'

30 Mei 2017   13:15 Diperbarui: 21 Februari 2018   17:24 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                 

Hari-hari terakhir ini, ungkapan ‘NKRI Harga Mati’ semakin sering menghiasi jagat media massa dan media sosial.  Slogan ini seakan mekar di langit Indonesia sebagai sikap setia warga Indonesia untuk menjaga kedaulatan bangsa.  Aforisme ‘NKRI Harga Mati’ paling sering menjadi celetukan di kalangan warga Nahdiyin. Ansor dengan Bansernya sebagai salah satu organisasi sayap NU  dianggap menjadi benteng dari ekspresi tersebut. Konon adagium ‘NKRI Harga Mati’ ini, mulai terkenal saat ulama-ulama NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam Munas Alim Ulama di Situbondo pada tahun 1983.

Di tengah semangat mempertahankan NKRI sebagai bentuk final dari Negara Republik ini, khususnya dari kalangan NU, muncul pandangan yang sedikit ‘nyinyir’ atas pendirian tersebut.  Mereka menganggap sikap ini adalah bagian dari cara-cara untuk memberangus laku kritis dan tawaran-tawaran untuk menata bentuk negara kita menjadi lebih baik. Bahkan, tidak sedikit yang khawatir, sikap mempertahankan mati-matian NKRI, justru akan menjadi sarana membungkam gerakan politik identitas  yang bertujuan mendapatkan pengakuan (politic of recognition) dan perlakuan yang adil (politic of distribution ) dari beberapa kalangan. 

Kekhawatiran bahwa ‘NKRI Harga Mati’ bisa menjadi alat persekusi  terhadap warga negara yang menentang  atau mengkritisi negara ada benarnya di satu sisi.  Dalam sejarah bangsa ini, slogan NKRI dan Pancasila memang pernah menjadi alat yang efektif untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah.  Rezim Orde Baru yang sudah terbenam itu, adalah contoh yang baik. Sebenarnyalah pada titi mangsa itu,  Pancasila dan NKRI sering kali menjadi alat persekusi terhadap pihak yang berseberangan dengan rezim militeristis tersebut.  

Kita memang tidak boleh pikun sejarah, karenanya,  saya tidak pernah sepakat jika ‘NKRI Harga Mati’ tersebut meminjam istilah Baudrillard menjadi oppressed by  the code . Sekolompok warga negara tertindas dengan mantra 'NKRI Harga Mati'.  Atau Dalam bahasa Foucault ;  "Technique and a body of knowledge that could project their schema over the social body”.  

Tetapi apakah dengan demikian, NU dan organ-organnya yang mendentumkan istilah NKRI Harga Mati ini, telah menjadi bagian dari skema penaklukan pemerintah  atas rakyatnya ?

Dalam hal ini, ada baiknya kita balik sejenak ke belakang pada masa Orde Baru. Saat itu ulama-ulama NU, khususnya Gusdur justru menjadi pengkritik paling keras berkenaan penafsiran tunggal pemerintah atas Pancasila dan NKRI.  NU memang menerima NKRI dan Pancasila, tetapi tidak menghendaki kedua hal itu menjadi alat untuk menundukkan apalagi mempersekusi warga negara yang memiliki pandangan berbeda.

Lantas sekarang mengapa NKRI itu terlihat seperti mantra yang absolut di kalangan NU ?  Seakan-akan NKRI dijadikan sesuatu yang tertutup dan tidak bisa ditawar-tawar. Bagi saya sikap ini muncul sebagai upaya NU dalam merespons situasi teranyar dari bangsa kita ini.

Pertama;  Pasca reformasi kita dihadapkan pada situasi yang pelik yaitu bangkitnya gerakan politik identitas. Gerakan ini digaungkan di daerah tertentu oleh beberapa kelompok.  Gerakan ini tidak sekedar sebuah perjuangan untuk memperoleh pengakuan (politic of recognition) dan keadilan dalam distribusi kekayaan bangsa kita (politic of distribution), tetapi juga telah mengarah pada gugatan mengenai bentuk negara-bangsa. NKRI digugat, nasionalisme di pertanyakan dan Pancasila disanggah. 

Budi Hardiman dalam pengantar cukup panjang atas buku Kymlica edisi Indonesia; ‘Kewargaan Multikultural’ dengan hati-hati telah memberi peringatan. Fenomena politik identitas, demikian Hardiman,  bisa merangsang denyut demokrasi kita, tetapi sekaligus menerbitkan kecemasan, karena jika tidak dikelola dengan tepat, gerakan ini akan menjadi kekuatan sentrifugal.  Gerakan politik identitas, baik yang menggunakan etnis ataupun agama bisa memiuh menjadi separatis.

NU yang menyerukan NKRI Harga Mati adalah satu upaya menjaga keutuhan bangsa ini di tengah maraknya politik identitas tersebut. Tentu bukan maksudnya untuk menghalangi tuntutan kelompok atau etnis tertentu untuk mendapatkan keadilan. Tetapi di saat yang sama NU juga tidak menginginkan kejadian di Uni Soviet, Yugoslavia ataupun Rwanda yang pecah berkeping-keping setelah sebelumnya dilanda perang saudara, menimpa kita. Maka ungkapan NKRI Harga Mati, senyatanya adalah upaya NU untuk memagari gerakan politik identitas ini agar tidak melejit menjadi gerakan separatis yang akan mengoyak-ngoyak keutuhan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun