Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NU Sulsel, Jangan Melupakan (G) Warung Kopi, Jangan Tinggalkan Akar Rumput!

16 Agustus 2019   08:18 Diperbarui: 16 Agustus 2019   08:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: redaksiindonesia.com

Adakah hal ini menjadi problem?  Selama para pengurus dan kader NU itu tetap memegang prinsip, bahwa kekuasaan adalah untuk kemaslahatan rakyat (tasarruful imam ala arraiyatihi manutun bil maslahah), maka berada di pusat kekuasaan bukanlah masalah. 

Dengan kata lain kekuasaan itu bukanlah tujuan (al-gayah), tetapi sebatas sarana (wasilah) untuk memberikan keadilan, kemaslahatan dan kebaikan pada rakyat, khususnya kalangan akar rumput.

Salah satu contoh yang baik mengenai hal ini adalah apa yang dilakukan oleh salah seorang tokoh pendiri NU, yaitu KH Wahab Hasbullah.  Tentang hal ini Adam Malik (1984) menggambarkannya dengan apik dalam tulisannya "Mengabdi Republik".  

Kata Adam Malik; "Kyai Wahab ini sebagai Kyai sekaligus tokoh bangsa (politisi di pusat kekuasaan) selalu berkecimpung di desa dan dusun. Berbaur dengan kalangan rakyat menderita, menemukan ketenangan jiwa di langgar reot sambil bertasbih. Singkat kata Kyai Wahab berkomunikasi tanpa henti dengan rakyat kecil, bahkan menjadi satu dengan rakyat kecil tersebut." 

Ketika menggambarkan Kyai Wahab ini, Adam Malik membandingkan Kyai Wahab dengan Syahrir yang dianggap sebagai elite politik yang membatasi dirinya pada lingkungan tertentu dan tidak merakyat.  

Apakah NU, khususnya NU Sulsel sudah meresapi cara KH Wahab Hasbullah ketika memegang kekuasaan? Waktulah yang akan menjawabnya. Tetapi akhir-akhir ini terlihat, entah itu hanya dari pengamatan saya yang terbatas, semakin NU (Sulsel) berada di berbagai pusat kekuasaan, ruang-ruang bersama rakyat semakin ditinggalkan. 

Lailatul ijtima  lebih senang dilakukan di instansi tertentu,  di markas KODAM atau  di rumah jabatan Walikota dan Gubernur. Jarang lagi warga biasa disapa melalui Lailatul Ijtima ini. Mesjid yang dulu dijadikan sebagai pusat pergulatan sosial umat, kini diisi oleh kelompok lain. 

Jangan heran ketika Litbang Agama Makassar pada 2018 silam melakukan penelitian "Preferensi Keagamaan Remaja Masjid di Makassar", tiba-tiba ada kecenderungan remaja itu sudah berubah haluan keagamaannya dan cenderung radikal.

Belakangan pengobatan yang bersifat supranatural, yang dulunya merupakan ranah NU membangun ikatan emosi lebih dalam dengan rakyat,  juga  telah diambil alih oleh kelompok salafi puritan. Mereka mengambil alih pengobatan ala Nabi yang dikenal dengan 'rukyah'. 

Kelompok ini mengorganisir sedemikian rupa cara-cara pengobatan ini, sehingga berubah dari cara-cara pengobatan kultural menjadi satu industri pengobatan berlabel Islam.

Bahkan ketika berbagai kasus mencuat ke permukaan, seperti peristiwa konflik terunial antara petani-masyarakat adat dengan PT Lonsum, suara NU tidak kedengaran. Saat salah satu pejabat daerah ini memusyrikkan berbagai kegiatan kebudayaan masyarakat, NU terlihat malu-malu bersuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun