BURIK CILAMPAKNA KINDANG SATRIA DARI LERENG GUNUNG BAWAKARAENG (Episode  XVIII)
KISAH SEORANG PENDEKAR/SATRIA BERWAJAH CACAT DARI LERENG GUNUNG Â BAWAKARAENG. WAJAHNYA DIHIASI TOTOL-TOTOL COKELAT KEHITAMAN. WAJAHNYA Â TERLIHAT ANEH. SEHINGGA IA DIGELARI BURIK DARI KINDANG. WAJAH SANG Â SATRIA AKAN PULIH DAN BERSIH KEMBALI JIKA IA SUDAH MEMPELAJARI ILMU Â LANGKA APPA PAGGENTUNNA LANGI NA PATTUNGKULUNA LINOA DARI KITAB MANCA Â RAHASIA SULAPA APPA & KITAB PASANG BATARAYA RI LATTU. Â KISAH INI Â Â BERLATAR BELAKANG PROSES MASUKNYA ISLAM SERTA PERJUMPAAN ISLAM Â DENGAN KEPERCAYAAN DAN TRADISI LOKAL DI BUGIS-MAKASSAR.
Cakrawala di ufuk timur semburat merah. Subuh baru saja ditelan oleh pagi. Puncak Barat Gunung Bawakaraeng  masih dibekap oleh kesunyian. Cuaca menjelang pagi itu cerah berseri-seri, namun hawa sangat dingin mengelumuni tempat itu.  Para penghuni Puncak Barat masih senang berada di tempatnya masing-masing. Meski burung-burung telah berciap-ciap ramai, tapi rata-rata masih meringkuk  di sarangnya. Binatang-binatang hutan lainnya demikian pula, masih mendekam di balik semak-semak. Satu dua burung  terbang melintasi pepohonan, tapi segera melesat kembali dengan cepat ke sarang masing-masing. Mungkin yang terbang itu adalah induk-induk burung yang mencarikan makanan untuk anak-anak mereka di sarangnya.
Kala itulah, Â dalam suasana dinginnya pagi yang mencucuk tulang, sesosok bayangan bergerak cepat. Melompat dari satu batu ke batu yang lainnya di sisi gunung yang curam. Tubuhnya bergerak ringan, Â hinggap di satu batu, lalu dengan cepat melenting ke atas. Begitu tubuhnya akan mencapai puncak yang ada tanah datarnya, dari atas tiba-tiba berkelebat sosok lain, bersamaan dengan itu terdengar bunyi cambuk menggeletar menyobek kesunyian.
Sosok yang pertama segera berjumpalitan ke belakang menghindari sambaran cambuk yang mengincar tubuhnya. Namun karena di belakangnya curam yang terjal, maka tubuhnya segera meluncur ke bawah dengan cepatnya. Sosok yang tadi menyerang dengan cambuk tiba-tiba menendang dua bongkah batu sebesar buah kelapa berturut-turut. Dua bongkah batu itu melesat berturut-turut ke arah bagian bawah kaki sosok pertama yang meluncur turun.
"Gunakan jurus meringankan tubuh Allete  Anging Mammiri !"  Teriak sosok kedua memerintah  setelah menendang dua bongkah batu.
"Nenek Kamannyang menyuruhku menggunakan jurus meringankan tubuh tingkat kedua." Gumam sosok pertama. Â Sosok ini lalu menjejakkan kakinya pada batu pertama yang meluncur di bawahnya. Lalu seperti nama jurusnya, sosok ini melesat laiknya berjalan di atas angin. Ia kemudian melenting ke arah batu kedua yang datang menyusul.
 "Sekarang gunakan jurus meringankan tubuh Je'ne Massolong Sampara Mamanyu!" Sosok kedua kembali berteriak memberi perintah. Sosok pertama tidak menjawab, namun setelah menginjak batu yang kedua,  tubuhnya berputar bagaikan gasing melayang ringan dan cepat. Tubuh itu  bagaikan ranting yang diputar dan dihanyutkan air yang mengalir dengan deras, sesuai dengan nama jurus tersebut.  Â
Dalam waktu yang singkat sosok pertama sudah berada di atas, tepat di bibir tebing yang curam. Â Sementara sosok kedua yang dari tadi meneriakkan dua nama jurus meringankan tubuh, memperhatikan sosok yang baru mendarat di bibir tebing yang terjal sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Aih..aih...hebat...hebat...kau Rawallangi, kau sudah menguasai dengan sempurna semua jurus-jurus meringankan tubuh yang aku ajarkan". Kata Sosok kedua. Kini ucapannya terdengar kenes.