Mohon tunggu...
iis noor
iis noor Mohon Tunggu... -

Girl who always try to write, Another blog : iisnoor.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perbandingan Agama di Dukuh Paruk

4 Oktober 2012   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:15 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel itu seperti oase di atas keringnya tenggorokan yang dahaga. Namun,  tidak semua, dan... pahami sajalah kamu pasti mengerti.

Seorang novelis, hmm  saya lebih senang menyebutnya seorang seniman, karena Pram juga pernah mengatakan bahwa seorang penulis adalah seorang seniman dalam bentuk tulisan. Novelis adalah orang yang bisa berposisi menjadi apapun. Dia bisa menjadi sejarawan seperti Pram;  bisa menjadi filsuf seperti Justein Gardeer, pengarang Dunia Sophie ;dan  Ahmad Tohari, dia  antropolog dalam novelnya ini. Dan yang pasti kepekaan perasaan seorang novelis tercermin dari kata demi kata yang tercurah dalam karyanya itu. Serta editor itu,,, terimakasih saya ucapkan.

Tak perduli halnya walaupun seorang novelis itu sudah menulis berpuluh-puluh novel, namun isinya kurang memuaskan. Tohari, pernah saya tahu dia memposisikan karya itu sebagai janin. Karya itu seperti sebuah janin yang dibentuk berlama-lama dalam perut yang akhirnya akan dilahirkan, dan jadilah seorang anak.  Agar anak sehat, dan tidak cacat maka (hal yang tidak sepenuhnya saya tahu dalam hal ini) merawat janin itu agar bisa melahirkan dengan kebanggaan. Sehingga semua orang bisa menjadi ibu. Adalah suatu kepuasan tersendiri ketika sebuah janin keluar. Ah saya hanya mendengarnya seperti itu, mungkin tidak sebenar-benarnya demikian, tapi kebanyakan yang saya dengar dan terfikirkan adalah seperti itu.

Mungkin ini adalah sebuah pengejawantahan perkataan Galah, ketika menulis tidak bermanfaat bagi orang lain dan hanya mengungkapkan perasaan-perasaan psikologis saja. Urungkan dulu sajalah.

Beberapa pertemuan mata kuliah fenomenologi agama dan beberapa lembar buku yang dibaca, ternyata menurut saya fenomenologi yang lebih mudah diterapkan adalah dalam sebuah karya novel. Fenomenologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari sebuah fenomena-fenomena yang terjadi dalam diri seseorang, bedanya dengan psikologi? Entahlah anda bisa mencari sendiri.

Jadi, sebuah Epoche, Reduksi dan Intensionalitas bisa diterapkan pada penulisan novel. Kalau saja saya tahu Hursell membuat suatu novel, bukan tulisan ilmiah, dan saya bisa membacanya. Mungkin saya tidak akan pusing bagaimana fenomenologi itu tepatnya diterapkan. Karena, sampai saat ini, sepanjang yang saya fahami, metodologi itu selalu dituliskan dalam hal-hal yang berbau ilmiah. Ah, ilmiah lagi-lagi.

Tohari, tak akan sembarangan pula dia menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, jika dia tidak pernah melakukan penelitian terlebih dahulu. Bisa saja, ketika dia membicarakan hutan, dia pernah merasakan atau mungkin mencari tahu keadaan jiwa orang yang sedang tersesat di hutan dengan keadaan kaki yang amat sakit. Begitupun peran seorang ronggeng srintil. Tohari, menggambarkan keadaan ronggeng Srintil dengan sangat teratur. Nafas yang dikeluarkan Stintil, dia terjemahkan kedalam bahasa yang bisa dibaca oleh perasaan pembaca. Teratur dan sangat alami.

Jika dillihat dari fenomenologi agama, ini adalah semacam Epoche. Epoche ini, diberlakukan dimana objek disuruh berbicara sendiri. Ya, saya faham, namanya novel itu subjektifitasnya penuh. Tapi lagi-lagi tidak mungkin Tohari menggambarkan Srintil, kalau dia tidak pernah melakukan sebuah penelitian tentang perasaan seorang ronggeng.

Mahasiswa Perbandingan Agama tidak melulu harus membaca buku-buku ilmiah sepertinya. Novel itu lebih bermasyarakat, memasyarakat mungkin lebih tepatnya. Dalam novel Tohari, kita juga bisa menemukan, bagaimana faham animisme sebenarnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang yang memahaminya, dan juga orang sekitar yang menanggapinya. Menarik, sangat menarik, cobalah kamu lakukan.

Saya sangat suka pada tulisan Tohari yang ini "Dukuh Paruk yang merupakan sebuah desa, lengkap dengan kemelaratannya, kecabulannya tetapi lugu dan sejati". Disini Tohari menggambarkan desa Dukuh Paruk dengan lembut, dan anggun.

Tohari, disini merepresantasikan sebuah keadaan yang memang bakal terjadi pada setiap desa. Desa, dengan segala keluguan dan kesejatiannya itu tetap akan dikeruk zaman. Kita bisa mentransformasikannya pada saat ini, dimana keasrian desa harus disundul dengan kepentingan orang-orang yang akan membangun proyek. Ya, proyek, bukan tempat ibadah. Karena jika tempat ibadah, apalagi kaum minoritas, akan ditentang oleh warga kaum mayoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun