Mohon tunggu...
Rahmad Ihza mahendra
Rahmad Ihza mahendra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FH Universitas Lambung Mangkurat

Selagi masih bisa menghirup udara, maka saya berjanji untuk selalu menuntut ilmu dan menuangkannya kedalam sebuah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Paradoks Ageisme dalam Demokrasi

16 November 2021   15:45 Diperbarui: 16 November 2021   16:00 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbincangan mengenai umur atau generasi di sebuah forum ataupun media kerap kali terjadi, terkadang hal ini dibarengi dengan gestur ataupun respon aneh, misalnya seorang pemuda yang sedang menyampaikan kritik atau gagasannya dihadapan para tokoh, guru, ataupun pejabat. 

Seseorang biasanya dikelompokkan dalam suatu generasi, misalnya ketika berusia 22 tahun maka disebut dengan kaum millenial. Ketika seorang millenial mengemukakan gagasan atau suatu ide yang ada dalam pikirannya kerap kali substansi dari apa yang diutarakan menjadi dikesampingkan dan yang diutamakan adalah stigma atas usia atau generasinya, misalnya muncul kalimat semangat yang membara, jiwa muda yang menggentarkan, Kalimat tersebut lebih halus, terkadang juga muncul kalimat seperti anak baru kemaren sore, masih bau kencur dan sebagainya.

Dari analogi singkat tersebut diatas, sebuah perilaku seperti ini terdengar hanya hal biasa-biasa saja atau hal yang lumrah, sebab adanya suatu konstruksi sosial tentang umur atau yang disebut dengan Ageisme, mirip dengan rasisme atau seksisme.  

Ageisme dapat di definisikan sebagai prasangka atau diskriminasi terhadap individu semata-mata karena umurnya. Usia menjadi modus baru, baik yang dilakukan secara spontan maupun sistematis, dalam memperlakukan sebagian golongan dari umat manusia secara berbeda dan tak jarang juga ada tindakam yang  sewenang-wenang.

 Istilah ageism diperkenalkan pertama kali oleh Robert Neil Butler pada 1969 dalam tulisannya bertajuk “Age-ism: Another form of bigotry” untuk menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang berusia tua. 

Ada tiga elemen, menurut Butler, yang bertautan dengan ageism. Pertama, prasangka terhadap orang yang berusia tua atau lanjut maupun proses penuaan. Kedua, berbagai praktik diskriminasi terhadap orang berusia tua. Ketiga, beragam praktik kelembagaan dan kebijakan yang terus melanggengkan stereotip terhadap orang yang berusia tua.

Miskipun buah pikiran butler yang mengarah kepada seseorang yang berusia tua, hal ini juga dapat di implementasikan kepada seseorang yang berusia muda. Hal ini disebabkan karena kaum muda seringkali dilekati prasangka dan mengalami diskriminasi justru karena “kemudaannya.” 

Mereka acapkali diragukan kepabilitas dan kapasitasnya karena dianggap minim pengalaman, kerap kali bertindak dengan spontanitas, tak memiliki kearifan dan kebijaksanaan, atau suka melakikan hal berisiko tinggi.

Selama ini kaum muda cenderung dipandang secara homogen tanpa menimbang keragaman kelas, etnisitas dan gender sehingga menyimpan beberapa persoalan. 

Cara pandang semacam ini tak hanya menjadi embrio bagi lahirnya stereotipe terhadap kaum muda, tapi juga kerap menjadi dasar bagi kebijakan yang mengatur kaum muda sebagai sasaran pembungkaman demokrasi. Alih-alih melihat kemudaan sebagai berkah dan kemuliaan, yang mencuat justru hasrat penguasa untuk mengontrol dan mendisiplinkannya. Dengan kata sederhananya, kaum muda tidak dipandang sebagai subjek yang otonom. 

Maka, lahirlah praktik sensor yang diklaim hendak melindungi kaum muda dari pengaruh buruk dan menjaga moralitasnya. Padahal pengatasnamaan ketidakmatangan atau ketakdewasaan hanyalah dalih untuk melakukan tindakan yang tak adil dan praktik diskriminatif terhadap kaum muda.

Apabila di kaitkan dengan demokrasi, apakah demokrasi memandang seseorang berdasarkan atas umurnya? Perwujudan demokrasi sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum di bidang hak-hak asasi manusia. Dalam terminologi hak asasi manusia, prinsip kesetaraan dan anti diskriminasi merupakan ciri khas dari hak asasi manusia. 

Prinsip kesetaraan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai berikut : “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. 

Dalam ketentuan Pasal 1 UDHR tersebut dapat dipahami tentang prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya setiap orang mempunyai kedudukan yang setara satu dengan yang lain. 

Sedangkan prinsip antidiskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights, dengan tegas dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang diatur dalam Deklarasi tanpa adanya kekecualian atau perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan. 

Dengan kata lain dalam perspektif hak asasi manusia tidak boleh ada perlakuan diskriminatif yang ditujukan kepada kelompok masyarakat tertentu.

Penegasan mengenai prinsip kesetaraan dan antidiskriminasi dalam pelaksanaan hak asasi manusia dapat juga dicermati dalam instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia antara lain adalah The International Covenant on Economic, Social and Culture Right yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20054 dan juga The Internasional Covenant on Civil and Politic rights yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Uraian-uraian a quo yang menegaskan mengenai prinsip kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dan antidiskriminasi sebagai ciri khas dari hak asasi manusia, menunjukkan bahwa dalam terminologi hak asasi manusia segala bentuk tindakan/perlakuan diskriminatif merupakan pelanggaran hak asasi manusia. 

Suatu perilaku ageisme ini secara perlahan agan menjadi problematik besar dan menjadi paradoks dalam pelaksanaan nilai-nilai demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun