Sumber referensi - di antaranya dengan berpijak pada cerita Kuda Laleyan dan Naskah Kiai Adipati Manggala - seperti yang dikutip Sir Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java, menyebutkan kisah Raja Pajajaran yang bergelar Brawijaya Mahisa Tandreman (1112 Masehi). Raja itu dikenal sebagai sosok pemimpin besar yang membawa Pajajaran maju dan berkembang pesat.
Dalam catatan yang dikutip Raffles tersebut, dikisahkan Raja Pajajaran mempunyai dua orang putra. Putera yang tertua Munding Wangi tidak senang tinggal di istana dan menolak tahta. Ia suka mengembara sampai ke seberang lautan. Oleh karena itu, adiknya yang bernama Munding Sari yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi Raja Pajajaran.
Setelah tujuh tahun, Sang Kakak kembali dalam keadaan sudah berubah keyakinan menjadi muslim dan dikenal dengan nama baru Haji Purwa. Dia datang bersama dengan seorang Arab dari Negeri Kouje yang merupakan keturunan Sayyed Abbas. Haji Purwa berusaha untuk meng-Islamkan adiknya dan keluarganya, namun tidak berhasil.
Ia kemudian memilih untuk meninggalkan Pajajaran sebab tidak ingin berkonflik dengan keluarga dan rakyat Pajajaran karena perbedaan keyakinan. Haji Purwa dan Sang Mubaligh dari Tanah Arab menyingkir ke sebuah daerah yang dikisahkan saat itu masih jarang dihuni oleh manusia.
Sejalan dengan Raffles, J. Hageman dalam bukunya Geshiedenis der Soendalanden atau Sejarah Negara Sunda (1867) juga menyebut Haji Purwa adalah nama lain Pangeran Munding Wangi. Pada artikel berjudul Muslim Pertama di Tatar Sunda di laman Historia, peneliti sejarah berkebangsaan Belanda itu mendasarkan pada hikayat Islam di Barat Jawa. Ia menulis orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam adalah putra Prabu Kuda Lalean yang mendapat julukan Haji Purwa.
Kemudian, Profesor Sugeng Priyadi dalam hasil kajian berjudul Perdikan Cahyana di Jurnal Humaniora Universitas Gajah Mada (2001) dengan mendasarkan pada naskah Cariyosipun Redi Munggul yang merupakan rujukan utama sejarah mengenai Perdikan Cahyana juga menyebutkan kisah itu. Naskah tersebut memberikan keterangan sebagai berikut :
"Punika Cariyosipun Redi Munggul Satengahing Nusa Jawi Wektu Medal Cahya Pethak Umancur Sundhul ing Ngawiyat Ngawontenaken Pepundhen ing Cahyana"
Isi teks di atas menceritakan tentang asal-usul Pengeran Jambu Karang mulai dari melihat cahaya putih memancar ke langit dalam pertapaannya lalu di-Islamkan oleh Syekh Atas Angin.
Berdasarkan manuskrip Cariyosipun Redi Munggul pula, Ahmad Soetjipto dalam bukunya Sedjarah Singkat Pangeran Wali Sjeh Djambukarang atau Hadji Poerwa dan Wali Sanga (1969) menceritakan bahwa setelah memeluk agama Islam, Syekh Jambu Karang melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari Tanah Suci, Ia mendapatkan gelar atau terkenal dengan sebutan Haji Purwa/Purba, yang berarti Orang Jawa pertama yang menunaikan ibadah haji.
Haji Purwa alias Syekh Jambu Karang kemudian menyebarkan Agama Islam setelah pulang dari Tanah Suci. Hal ini dijelaskan dalam sebuah wasiat dari Syekh Atas Angin kepada Syekh Jambu Karang, yang berbunyi :