Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Loe Pikir Nanem Cabe Gampang?

13 Januari 2017   19:53 Diperbarui: 13 Januari 2017   19:57 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cabe (foto : merdeka.com)

Pada suatu sore yang cerah, saya bertandang ke rumah teman di lereng Gunung Slamet yang asri. Dia seorang perempuan, penyuluh pertanian, juga petani, khususnya komoditas sayur mayur. Desanya memang subur dilimpahi berkah gunung dan iklimnya cocok untuk berbagai macam jenis sayuran seperti kentang, wortel, kol, timung, terong, tomat dan tentu saja cabe. Jadi selain menjalankan pemberdayaan petani, dia juga petani beneran, tak segan turun ke lahan, bahu membahu sama suaminya mengolah tanah dan menjual hasilnya langsung ke pasar tanpa lewat tengkulak.

Perempuan berpendidikan, penyuluh, juga petani, wah sosok yang langka. Atas segala kiprahnya, saya menjulukinya ‘Srikandi Petani Dari Lereng Gunung Slamet’. “Ah, pujian yang berlebihan Mas, saya cuma menjalankan tugas sebagai penyuluh pertanian, masih honorer lagi. Selebihnya saya ingin mengabdikan ilmu saya dan kebetulan ada tanah warisan bapak dan bapak mertua, sayang lah kalau tidak diolah,” katanya merendah tapi tersipu senang waktu saya melontarkan pujian itu.

Ah, perempuan memang suka dipuji. Iya kan?

Sore itu, kebetulan sambil suaminya lagi di ladang, jadi kita bisa ngobrol lebar dan panjang sambil medang gorengan pisang. Topiknya berganti-ganti, sampai kemudian tiba pada tema yang sedang hot, soal sengkarut dunia percabean .

“Wah, kamu sedang untung besar dong, harga cabe lagi naik loh. Sampai 200 ribu per kilo di berita-berita, kemarin aku beli dipasar 120 ribu per kilo,” kataku.

Eh, tak disangka dia langsung sewot.“Bro, nggak usah dibesar-besarin napa sih kenaikan harga cabe, apalagi digede-gedein bahwa petani yang untung besar. ‘Enak yaa petani cabe, harga cabe Rp 200 ribu, untung besar dong, bla, bla..’. Woi, itu di pasar brooo, di tingkat petani paling harga sepertiganya. Cabe mahal yang untung gede tengkulak, spekulan, pedagang, petani ya memang untung dengan harga sekarang, itung-itung buat nutup kerugian yang lalu-lalu. Betewe, saat harga cabe 2 ribu perak di tingkat petani beritanya nggak heboh begini. Emang loe pikir nanem cabe gampang apa?huh! Susah tau!,” ujarnya kenceng.

Ini dia nih, dibalik kiprahnya yang kece ada sifatnya yang nyebelin, cerewet abiis. Satu lagi ding, dia suka makan jengkol sehingga selain julukan ‘Srikandi Petani’ saya sering memanggilnya ‘Dewi Jengkol’. Hmmmh, ada bau yang meruap sedap dari mulutnya saat nyerocos. Waduh, mbakyu, ayu-ayu kok mambu jengkol

“Lah emang susah nanem cabe ya? Bukanya sama kan sama sayur-sayur yang lain, gampang lah buat kamu yang sarjana pertanian?,” ujarku.

“Gampang ndasmu atos! Apalagi buat sarjana yang bisanya cuma teori doang kaya kamu, aku jamin nanem cabe belum tentu bisa. Aku kasih tahu ya, nanem cabe itu lebih susah, ribet, njlimet, butuh perhatian ekstra, udah gitu mahal lagi biayanya. Inyong kasih tahu ya bro, nanem cabe itu seperti merawat perempuan. Harus dengan penuh perhatian dan kasih sayang dan kesabaran plus ongkosnya mahal!,” sambutnya sengit.

Berjarak satu sruputan teh, Ia melanjutkan kembali. “Kamu jangan bayangin nanem cabe di polibag atau di pot depan rumah yang paling puluhan pohon cabe dengan budidaya cabe skala besar yaa. Jauh banget bedanya. Nanem cabe satu pohon dua pohon di pekarangan biasanya sukses dan jauh dari penyakit karena perhatian ekstra dan terawat dengan baik. Nandur cabe di lahan, lebih ribet, rumit dan njlimet kayak kisah cintamu,”

“Wuasu, kok kisah cintaku dibawa-bawa, disama-samain kayak nanem cabe pula, tak cipok baru tahu rasa..” kataku, cukup dalam hati.

Tak memberikan kesempatan aku menyampaikan pertanyaan lanjutan apalagi pledoi, Ia kembali nyerocos. “Gini ya, mulai dari persemaian, pemeliharaan hingga panen, cabe sudah diintai hama dan penyakit. Aneka jamur, bakteri, virus, cendawan, serangga, jangkrik, semut, keong bahkan tikus dan ayam doyan menggangu pertanaman cabe yang menyebabkan berbagai bencana bagi budidaya cabe seperti tanaman terpotong, tercabut, bulai, daun keputihan. kriting, daun menguning, kering, batang loyo, akar busuk, buah rontok kaya rambutmu dan lain sebagainya,” katanya.

“Asyem, jangan main fisik dong, kok rambutku dibawa-bawa..,” ujarku, kali ini aku sempat menyela.

Dia tersenyum. “Udah, jangan marah. Kamu boksi kok, botak seksi,” katanya terkikik.

“Aih, sialan… jangan ngerayu dong, kamu sudah bersuami, aku sudah beristri, kita cuma berdua lagi nih, jangan bangunin kucing tidur, tak garong ntar loh” ujarku sambil tersenyum. Dalam hati aku seneng juga dipuji, meski dibalut bullyan.

“Oke, ya sudah maaf ya, bercanda, kamu serius amat. Aku lanjutin yaa (nada genit), terus ya, budidaya cabe pemupukan harus rutin, semprot pestisida kudu berkala jangan sampe lengah. Malem-malem suamiku sering pamit ke kebun, nengok mbok ada gejala penyakit, subuh-subuh sudah di lahan lagi merawat cabe. Musim hujan kayak gini, hama semakin menggila. Aku sampe kurang perhatian gara-gara budidaya cabe, makanya daripada kedinginan mending aku ikut terjun ke kebun. Asyik juga kok mesra-mesraan di kebun,” ujarnya dengan nada yang lebih slow.

“Itu kali yang menyebabkan budicaya cabe mahal ya?,” kataku.

“Apa? Soal mesra-mesraan itu di kebun jadi bikin mahal? Ya bukan lah dodool! (Aku nggak sedodol itu keleuss). Budidaya cabe mahal ya karena super intensif itu. Pestisida rutin, perawatan rutin, pemupukan rutin. Aku nanem cuma 2000 meter persegi saja habis dua puluh juta. Kalau sehektar berapa? Seratus juta modalnya! Petani kecil mana ada mampu budidaya semahal itu, pikir bro.” ujarnya sewot lagi.

“Tapi kan panennya harganya bagus, mahal dan kayaknya komoditas cabe nggak ada matinya. Orang Indonesia kan doyan banget sambel,” kataku

“Eh, kamu tuh ya, harga bagus ya sekarang ini. Inyong jelasin lagi ya. Harga cabe itu sangan fluktuatif, volatilitas, labil kayak kamu (eh, bawa-bawa aku lagi nih). Iya memang sekarang mahal, ratusan ribu sekilo di pasar, ingat ya di pasar itu bukan di petani. Pertengahan tahun lalu, harga cabe 2 ribu perak per kilo di lahan. Suamiku sampe stress dan sempat ngambek nggak mau ke lahan. Harga segitu buat ongkos yang metik aja tekor. Dulu, pas harga segitu media kemana saja, kalaupun ada muncul di berita nggak pernah seheboh ini tuh. Nggak adil tauk!’’.

Saya mencoba bijak, lalu bertanya dengan pelan.“Lalu, sebagai Srikandi Petani Dari Lereng Gunung Slamet, kira-kira apa solusi untuk mengatasi sengkarut percabean ini?”

Dia mikir, dahinya sedikit berkerut dan pasang muka serius. “Jadi, pertama tama dan yang paling utama pemerintah harus turun tangan. Bela konsumen boleh, operasi pasar menurunkan harga cabe boleh, akan tetapi bantu petani juga dong, terutama kalau harga ambruk. Fasilitasi dan beri insentif kepada para petani kecil mulai dari budidaya, pasca panen, pengolahan, pergudangan atau cold storage buat nyimpen saat panen raya hingga pemasaran. Budidaya cabe sekali lagi itu super intensif dan mahal jadi petani perlu dibantu. Selain itu, pemerintah juga kudu memberesi tata niaga percabean, denger-denger banyak mafianya, siapa coba yang semena-mena naikin harga sampe ratusan ribu terus nganjlokin sampae dua ribu perak doang kalau bukan mafia.Beresi dong! Ini siapa lagi yang mau mberesi kalau bukan pemerintah. Terus, jangan lah keuntungan lebih banyak porsi di pedagang, lebih fair lah. Masa petani dapet sepertiga harga pasar, naikin lah. Kalau petani sebenarnya lebih suka harga yang realtif stabil yang penting lebih fair dan saling menguntungkan. Kalau kayak gini, harga cabe melonjak, lalu terjadi inflasi, harga-harga barang lainnya juga terkerek naik, ya kita juga kan kena dampaknya kan mas bro?,” katanya

“Aih, pinter juga kamu ya, nggak nyangka, sudah bisa nyambung-nyambungin sama inflasi segala. Sudah cantik, sholehah, pinter lagi. Terus apa lagi solusinya?,” tanyaku pendek saja.

Ia tersipu sebentar lalu pura-pura membetulkan letak jilbabnya yang tak menceng itu. “Kemudian, perlu didorong wirausaha percabean. Berdayakan kelompok tani, kelompok wanita tani dan UMKM. Bikin lah sambel botolan, cabe awetan, cabe kering, cabe bubuk dan lainnya. Kasih insentif juga mereka ini. Memang sih, masyarakat belum familiar cabe olahan tapi setidaknya bisa buat subtitusi. Ada alternative, biar kebutuhan cabe segar sedikit turun dan permintaan lebih stabil. Juga bisa membantu saat harga cabe ambruk, bisa dibuat olahan untuk meningkatkan nilai tambah dan masa simpan lebih lama,” katanya.

“Ehm, kamu pantes jadi kepala dinas pertanian sebenarnya lho, analisismu tajam,” kataku.

“Ah, kamu bisa aja,” katanya, tersipu lagi, letak jilbabnya dibetulkan lagi.

“Iya, beneran,” kataku dengan tujuan menambah dia tersipu. “Eh, kembali ke topik, lalu, apalagi?,” tanyaku.

“Hmmh, ini agak klise. Masyarakat sebenarnya bisa ikut serta dalam mengatasi persoalan ini. Apa itu? Begini, dengan manfaatin pekarangan kita sebagai sumber bahan makanan. Tanami sayuran, nggak perlu luas-luas kok kalau untuk kebutuhan sendiri. Pakai pot atau polybag juga bisa, pakai cara budidaya organik lebih sehat. Cabe itu buahnya warna-warni, bisa buat pemanis halaman juga. Itung-itungan Pak Menteri Pertanian kalau jutaan ibu-ibu di negeri ini mau memanfaatkan pekarangan dan menanami sayuran, salah satunya cabe, kelar persoalan cabe di negeri ini. Kalau ada Anies Baswedan yang sukses dengan gerakan Macan Ternak alias Mama Cantik Anter Anak ,coba untuk mengatasi ini Kementerian Pertanian mencanangkan gerakan ‘Mama Nangis’, kan oke tuh,” katanya.

“Apaan tuh Mama Nangis?, “ tanyaku penasaran.

“Ih belum tahu yaa.. telat deh. Mama Nangis itu Mama Cantik Nanem Cengis,” katanya kemudian terkekeh. (Cengis = cabe rawit).

“Hahaha…,” aku ikut tertawa. “Aku juga punya singkatan buat kamu, kamu itu CABE,” kataku.

“Apatuh CABE,” katanya.

“Cewe Alim Berhati Emas… hehe. Kamu itu udah cantik, alim, mandiri, berhati emas lagi,” kataku melanjutkan.

“Ah, aku jadi malu..,” ujarnya rada genit.

“Lalu, solusi percabean apa lagi?,” tanyaku mengembalikan ke topik diskusi.

“Lalu, lalu.. udah ah, suamiku pulang tuh… kita lanjut lain kali yaa. Aku mau berkebun, ngomong terus ama kamu ntar kebunku terbengkelai. Mumpung lagi untung nih. Udah kamu pulang sana,” katanya.

The End

Disclaimer : Cerita ini rekaan semata. Kalaupun ada kesamaan nama, tempat dan kisah itu diluar kesengajaan.

Hidup Petani Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun