Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

R80, sebuah catatan kecil

30 September 2017   20:43 Diperbarui: 1 Oktober 2017   00:21 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Kitabisa.com/Regio Aviasi Industri

Tampaknya para perancang R80 mengharapkan pemakaian sistem kendali Fly By wire akan membuat kerangka R80 relati ringan, hal ini terlihat di besarnag Operating Empty Weight (OEW) yang sekitar 7% lebih ringan daripada Q-400 base. Hali ini berarti R80 berpotensi untuk membawa muatan lebih banyak. (Harus dicatat kalau lalkulasi maksimum muatan mencakup bahan bakar. Besaran yang lebih tepat adalah maksimum payload yang tidak disediakan oleh RAI. Ada kemungkinan R80 dirancang untuk memiliki berat total yang relatif ringan sehingga memubuthakna gaya angkat yang lebih sedikit (konsekuensinya gaya hambat yang lebih sedikit pula) sehingga bersamam dengan kecepatan jelajah yang 3% lebih rendah akan memberikan daya jelajah yang 12.5% lebih tinggi daripada Q-400 base. Namun sekali lagi harus dicatat bahwa R80 adalah pesawat kertas dan di kasus N250 dulu, target beratnya tidak terpenuhi. 

Q-400 max adalah kasus menarik karena menujukan kepercayan diri Bombardier akan kebutuhan turboprop untuk penerbangan mendekati 3 jam. Memang pasar ini dapat terbentuk sendirinya apabila daerah seperti Indonesia timur mulai menunjukan pertumbahan ekonomi sehingga kebututahn tarsporatsi udara meningkat namaun tidak cukup besar untuk menggunakan peswat bermesin turbofan. Apakah RAI bermaksud untuk membuat versi max R80 dihari depan?

CRJ-900 yang merupakan pesawat regional dengan kapasitas 90 oenumpang namun bermesin turbofan saya gunakan sebagai pembanding disni. Sekedar memberitahu, msin turbofan diukur dengan gaya dorong bukan daya mesin SHP. Dengan melihat data CRJ-900, menarik untuk dilihat adalah pesawat turboprop jelas memiliki kecepatan dan daya jelajah yang lebih rendah. Kecepatan jelajah CRJ-900 adalah 42 persen lebih tinggi daripada R80, maka keungulan darim segi efisiensi bahan bakar akan dengan mudah dikalahkan oleh frekuensi penerbangan apabila jarak antara bandara keberangkatan dan tujuan lebih dari 600Nm. Untuk kasus penerbangan Singapura-Denpasar, CRJ-900 hanya membutuhkan 2jam 15 menit sementara R80 akan membutuhkan 3 jam. Disinilah kelemahan utama turbopop. Namun untuk jarak pendek seperti Suarbaya-Semarang, Surabaya-Denpasar, maka peswat sekelas R-80 kan jauh lebih efisien daripada yang dipakai oleh banyak maskapai Indonesia saat ini yang mengandalkn Boeing 737 seri tua (seri 100/200 yang masih menggunakan mesin turbijet ataupun 300/400/500 yang lebih cocok untuk penerbangan jarak jauh. Tahukan anda kalau penerbangan Suarabaya-Jakarta yang menggunakan Boeing 737 dan A320 saat ini hanya sekedar menanjak, menjelajah selama 15 menit untum kemudian turun lagi ? Surabaya-Jakarta adalah contoh dimana keungulan turbofan terhadap turboprop atau sebaliknya memang tidak terlalu jelas.

Rekan kompasioner pernah menulis persoalan prasarana airport di Indonesia yang menarik. Di situ ditunjukan kalau R80 hanya dapat beroperasi di bandara 3C (perintis namun sudah memiliki fasilitas cukup bagus) yang hanya berjumlah 16% dan kelas 4 (bandara non perintis). Artinya R80 tidak akan dapat mencakup banyak wilayah di Indonesia. CN235 dan calon turunannya, N245, dapat dioerasikan di bandara kela 2B ditambah dengan lapngan rumput sehingga dapat beroperasi lebih luas di Indonesia. Hal ini mungkin bukan permasalahan besar karena R80 memang diperntukan bagi high end pasar regional yang bisa disevis oleh turboprop.

Sebenarnya, untuk saat ini, pertanyaannya adalah akankah R80 menjadi kenyataan ?

Apabila kita melihat data aktifitas ekonomi seperti tercantum di survey GDP 2016 yang diterbitakan oleh BPS, maka sektor dirgantara Indonesia sebenarnya masih mati suri. Walaupun R80 dicantumkan sebagai proyek nasional, data di situs RAI dengan jelas mencantumkan bahwa R80 tidak akan mendapat bantuan dana langsung dari pemerintah. Hal ini sudah tepat karena Pemerintah melalui PT DI sudah punya fokus tersendiri, ayitu N219. (Saya harap N245 tidak dimulai sampai dengan N219 benar-benar memuki proses produksi untuk mencegah kehilangan fokus). Namun bagi PT RAI, ini bukanlah pekerjaan mudah, apalagi kalau RAI memang jujur dalam memasang label pesawat Indonesia. Yang tidak boleh dilupakan tentu saja program purwarupa N250 yang secara langsung atau tidak adalah penyebab bunyinya lonceng kematian bagi program tersebut. Kenyataanya Embraer dari Brazil membutuhkan bantuan dari modal dan tenaga ahli AS untuk dapat bersaing dengan Bombardier. Bombardier sendiri saat ini mecoba mencari dukungan dari Korea dan Cina untuk meluncurkan program pesawat terbang baru mereka.

Secara pribadi, saya sangsi kalau R80 memang sudah mendapatkan komitemen untuk menjual 150 pesawat terbang dari maskapai Indonesia. Angka ini lebih mungkin sebagai ukuran minat untuk membeli sebagaimana halnya Sukhoi Superjet 100 dahulu memiliki minat pembeli namun hingga saat ini tidak ada satu pun yang benar-benar dibeli oleh maskapai penerbangan Indonesia. Apabila konatrak pembelian memang ada, maka RAI wajib membuat peswat tersebut sesuai kontrak, namun pemberitaan yang ada dalam minggu ini lebih mengacu ke proses penggalangan dana bagi detail design. masih jauh dari komitmen untuk menyuplai pesawat tersebut ke maskapai satupun.

Apakah saya akan bergabung ke program crowd funding ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun