Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Indonesia Darurat "VPN"!

5 Mei 2020   15:07 Diperbarui: 6 Mei 2020   07:50 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penempelan stiker berwajah Bupati Klaten, Sri Mulyani, pada hand sanitizer (Sumber foto: Twitter/mahasiswaYUJIEM)

Jika anda kemari setelah mencari VPN untuk mengganti alamat IP komputer, silahkan cari di tempat lain. VPN yang akan saya bahas di sini tidak ada hubungannya dengan komputer dan internet. Kategori tulisan ini saja termasuk ke "pemerintahan", bukan "teknologi".

VPN di tulisan ini adalah singkatan dari visualisasi pejabat negara. Singkatan ini muncul dari keresahan atas perilaku pejabat negara yang tidak peduli terhadap keindahan visual lingkungannya sendiri. 

Beberapa hari yang lalu, sempat viral di media sosial tentang kelakuan Bupati Klaten, Sri Mulyani, yang hobi menempelkan gambar dirinya di berbagai media. Mulai dari selebaran sosialisasi program pemkab, bantuan pemkab untuk masyarakat, sampai bantuan pemerintah pusat untuk masyarakat tidak luput dari tempelan wajah bupati narsis ini.

Media sosial mulai dibanjiri dengan meme Bupati Klaten. Aksi lucu-lucuan netizen juga dibarengi sejumlah kritik keras atas kelakuan narsis bupati. Salah satunya datang dari pengguna Twitter @mahasiswaYUJIEM.

Sayangnya, kelakuan narsis pejabat negara tidak hanya menjangkiti Klaten. Kebetulan saja penyakit narsis Sri Mulyani dibarengi penyakit kronis dinasti politik Klaten yang sudah 5 periode jabatan dipegang oleh dua pasang suami istri. Kelakuan narsis pejabat selalu dipertontonkan oleh mayoritas pemangku jabatan di Indonesia.

Entah dari mana dan sejak kapan kebiasaan nampangin muka pejabat menjadi tren. Namun, semenjak teknologi percetakan digital mudah diakses, sejak itu pula pejabat makin mudah untuk menampakkan wajahnya di berbagai medium publikasi. Sebut saja baliho dan spanduk.

Sebelum menjadi pejabat, mereka mengotori visualisasi daerah pemilihan mereka dengan baliho kampanye di setiap pojok jalan dan stiker muka mereka di segala dinding.

Tapi "sayangnya", jumlah stiker dan spanduk yang disebar kadang memberikan dampak positif pada hasil pemilihan mereka. Merasa visualisasi wajah mereka dapat mempertahankan jabatan, selama menjabat mereka tetap menyebar citra mereka di berbagai kesempatan.

Sebut saja sosialisasi program pemerintah. Muka pejabat, tidak lupa dengan atribut jabatan mereka, mampang di spanduk-spanduk program pemerintah. Silahkan cari spanduk sosialisasi Covid-19 terdekat yang dikeluarkan pemda, hampir pasti anda akan melihat wajah pejabat di sana.

Masalah pejabat tampil di spanduk program pemerintahan sebenarnya tidak terlalu darurat karena tidak ada orang yang akan sengaja melihat spanduk tersebut.

Pihak yang akan protes terhadap kelakuan pejabat tersebut adalah para desainer. Beberapa desainer yang bekerja untuk pejabat sering mengeluh soal penolakan desain spanduk karena wajah pejabat tidak hadir di desain awal.

Masalah visualisasi pejabat menjadi pelik saat berhubungan dengan kebutuhan masyarakat. Contoh kecilnya, ketika saya mengunjungi Semarang tahun lalu, saya mencoba naik BRT Trans Semarang.

Setelah membayar tarif, petugas bus memberikan selembar karcis. Ukuran karcis Trans Semarang lebih besar dibanding karcis BRT sejenis di Jogja. Besarnya karcis disebabkan oleh gambar wajah Walikota Semarang, Hendrar Prihadi, yang memenuhi hampir setengah permukaan karcis.

Muka Hendrar di karcis bus secara tidak langsung memberikan pesan bahwa program bus murah yang menghubungkan Semarang adalah program dirinya. Sebuah kampanye terselubung yang disponsori oleh anggaran negara.

Masalah muka pejabat di kebutuhan masyarakat menjadi makin runyam saat dihubungkan dengan keadaan bencana. Pagebluk Covid-19 menjadi panggung kenarsisan para pejabat. Sri Mulyani menjadi terdakwa pertama. Setelah Sri viral, orang-orang mulai mengangkat suara soal kelakuan pejabat mereka.

Darurat RUU VPN

Kelakuan pejabat narsis ini melukai demokrasi. Program pemerintahan yang seharusnya bermanfaat untuk rakyat justru ditunggangi kepentingan pencitraan. Para pejabat narsis akhirnya hanya bekerja demi pencitraan diri semata. Mereka mendahulukan citra mereka di atas kemaslahatan masyarakat.

Saat ini, kelakuan narsis pejabat negara menggunakan anggaran negara hanya diatur dalam pasal 71 UU Pilkada. Sayangnya, UU tersebut dibatasi oleh waktu penyelenggaraan Pilkada. Jika pejabat narsis beraksi di luar tahun pemilihan, mereka aman dari jerat pidana.

Dibutuhkan sebuah undang-undang khusus untuk mengatur kelakuan pejabat ini. Oleh karenanya, saya sangat berharap suatu saat nanti parlemen akan menggolkan Rencana Undang-Undang Visualisasi Pejabat Negara. RUU tersebut akan berisi pedoman penempatan muka pejabat publik dan militer di ruang publik.

Sayangnya, hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Selama kampanye pemilihan umum masih masif menggunakan spanduk bergambar calon pejabat, selama itu pula RUU VPN hanya menjadi imajinasi kita semua.

Lagi pula, para pejabat merasa terpilih karena usaha narsis mereka selama kampanye. Kalau sistem yang ada berhasil memberikan mereka jabatan, kenapa harus diubah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun