Untuk yang terakhir, tidakkah kita ingat akan pembungkaman gerakan pro-demokrasi di zaman Soeharto dengan tuduhan tindak pidana subversi?
Selain itu, aparat menggunakan organisasi masyarakat pro-pemerintahan untuk mengintimidasi dan menciptakan konflik horizontal di masyarakat seperti yang terjadi di Jayapura dan beberapa kota lainnya. Pembiaran aparat terhadap ormas-ormas tersebut mengingatkan pada ormas-ormas peliharaan orba yang bertugas "menjaga kondusifitas" masyarakat.
Sikap Presiden
Di balik keributan dan kekacauan yang terjadi di Papua, Presiden Jokowi seakan tutup mata. Secara langsung, melalui perkataan dan tindakan, tidak banyak yang telah dilakukan Jokowi untuk menangani konflik yang terjadi. Presiden hanya berpangkutangan pada menterinya yang terlalu dia percaya.
Di tengah keributan dan kericuhan tersebut, presiden masih sempat mengikuti kegiatan fun pemerintahan seakan tidak terjadi apa-apa di negara yang dia pimpin.Â
Walau pada akhirnya presiden bertemu dengan "tokoh Papua", pertemuan tersebut tidak menyentuh akar masalah dari kompleksnya problematika yang terjadi di ujung timur Nusantara.
Pentandakutipan "tokoh Papua" agaknya bisa diperdebatkan karena yang diundang adalah pemenang lomba "Gapura Cinta Negeri" dan para eks timses pro-Jokowi.
Lalu Bagaimana?
Siapa lah saya yang berhak memberikan masukan kepada yang terhormat presiden Indonesia. Tapi, sedikit saran dari saya, tolong dengarkan apa kata peneliti LIPI yang telah meneriakkan problematika Papua kepada pemerintahan sejak lama.
Ada empat masalah Papua yang harusnya segera diselesaikan: 1) Sejarah dan status politik integrasi Papua-Indonesi; 2) Kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua; 3) Perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan akibat pembangungan pro-pendatang, dan; 4) Kegagalan pembangunan SDM.
Sebagai rakyat yang masih punya optimisme terhadap masa depan negeri, saya yakin pemerintah (entah kapan tapi yang pasti bukan pemerintahan sekarang) dapat menyelesaikan permasalahan Papua dengan sebaik-baiknya.