Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kesalahan Pemerintah Menanggapi Isu Papua

14 September 2019   07:24 Diperbarui: 14 September 2019   07:34 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Empat minggu telah berlalu sejak kejadian ujaran rasis di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Dua minggu lebih pula pemerintah terkesan gagap memberikan tanggapan yang tepat untuk kejadian yg membuat Papua Barat bergejolak. Blunder demi blunder terus dilakukan, seakan tidak belajar dari kesalahan sebelumnya.

Mari kita rekap kesalahan-kesalahan pemerintah dalam menangani isu papua:

Penanganan Kasus Ujaran Rasis yang Lambat

Penggerebekan asrama mahasiswa Papua yang diwarnai makian bernada rasis terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019, sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia. Namun, pemberitaan tentang kejadian tersebut baru ramai pada tanggal 19 Agustus, hari dimulainya aksi massa di Papua Barat.

Dengan mengetikkan kata "Papua" di pencarian berita Google dan mengatur tanggal berita 16-18 Agustus, hanya didapatkan sedikit berita tentang kejadian di Surabaya. Salah satunya adalah CNN Indonesia yang menerbitkan berita tentang dugaan hilangnya dua mahasiswa yang membantu mahasiswa Papua yang terkepung dalam asrama. 

Dalam berita tersebut, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya tidak bisa dihubungi. Belakangan, diketahui dua mahasiswa tersebut "diamankan" oleh kepolisian setempat.

Kejadian AMP Surabaya mulai ramai diperbincangkan elit politik pada 18 Agustus. Salah satunya adalah Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang mengingatkan para kepala daerah untuk menahan diri, terutama gubernur Jawa Timur, Papua dan Papua Barat.

Sayangnya, kabar ujaran rasis yang tidak banyak diberitakan di media massa menyebar cepat di media sosial. Video yang menunjukan teriakan rasis kepada mahasiswa papua akhirnya sampai ke Papua yang menyulut aksi solidaritas pada 19 Agustus di kota-kota besar.

Kepolisian baru menanggapi kejadian tersebut secara serius pada hari Senin itu. Sayangnya, pendalaman kasus oleh kepolisian dititikberatkan pada penyebar video dengan tuduhan provokasi masyarakat. Kasus "pengamanan" ke-43 mahasiswa yang terkepung di asrama seakan menjadi angin lalu.

Dengan berkelit di balik "kasus penyebaran video provokasi" yang menyebabkan kericuhan di berbagai kota di Papua, Polisi seakan abai dengan kasus ujaran rasis. Saat aksi solidaritas menyebar ke luar papua, Polisi baru bertindak. Tri Susanti, yang disebut sebagai koordinator lapangan massa pengepung asrama, baru diperiksa pada 26 Agustus dan ditetapkan sebagai tersangka dua hari kemudian.

Selain Polisi, TNI juga bertindak lambat. Dalam video yang menyebar, terlihat beberapa aparat berseragam TNI ikut meneriaki mahasiswa Papua pada saat pengepungan. Alih-alih segera mengusut pelanggaran aparat, Kodam V/Brawijaya malah tutup mata akan kejadian tersebut dan bersembunyi di balik "kasus penyebaran video provokasi" ciptaan polisi. Baru pada tanggal 25 Agustus, Kodam menjatuhkan sanksi skors kepada komandan dan anggota Koramil Tambaksari.

Kehadiran aparat pada saat kejadian pengepungan, ditambah lambatnya pengusutan kasus ujaran rasis, didukung dengan berkelitnya aparat pada awal kemunculan isu, membuat orang Papua marah kepada negara. Andai saja sejak awal polisi menghentikan pengepungan asrama (yang tentunya polisi bisa) dan mengusut pelaku ujaran rasis dengan segera (yang tentu juga polisi mampu), mungkin saja tidak akan ada eskalasi massa seperti saat ini.

Pemutusan Jaringan Internet dan Monopoli Informasi

Kesalahan terbesar dari penangan pemerintah atas isu Papua mungkin pemutusan jaringan internet. Pemutusan jaringan dimulai pada 21 Agustus ketika aksi massa di Papua makin masif. 

Sebelumnya, pembatasan jaringan sudah dilakukan sejak tanggal 19. Kominfo berdalih pembatasan internet bertujuan untuk menurunkan tensi massa di Papua dengan mengurangi akses informasi warga.

Bukan pertama kalinya pemerintah mengambil jalan pintas ini. Pada kerusuhan penetapan pemenang Pemilu 22 Mei lalu, Kominfo sempat membatasi penggunaan aplikasi WhatsApp dengan alasan penyebaran berita palsu melalui WhatsApp adalah penyebab dari kerusuhan.

Akibat dari pemblokiran tersebut, layanan publik menjadi terganggu. Selain itu, masyarakat yang kebutuhan ekonominya bergantung pada internet tidak mampu melaksanakan aktivitasnya. Pemutusan internet terbukti tidak berhasil menenangkan aksi massa, malah memperluas aksi ke berbagai kota kabupaten lain di Papua.

Salah satu pihak yang paling merugi dari pembatasan akses internet adalah jurnalis. Jurnalis media nasional yang bertugas di Papua kesulitan untuk memberi kabar aktual dari sana. Apalagi pada tanggal 25 Agustus, Kominfo ikut memutus jaringan internet fiber optik IndiHome yang membuat akses informasi hampir putus.

Sulitnya jaringan komunikasi di Papua membuat keran informasi utama Papua bersumber dari pemerintah yang ditangani oleh aparat TNI dan Polri. Sayangnya, informasi yang datang dari aparat tidak selalu akurat. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi antara aparat dan warga di Deiyai.

Pada kerusuhan yang terjadi pada tanggal 28 Agustus tersebut, media lokal Papua melaporkan enam warga dan satu prajurit TNI meninggal. Jumlah tersebut berdasarkan laporan saksi mata dan diliput oleh wartawan dari lokasi kejadian. 

Berita tersebut dikutip oleh berbagai media asing termasuk Reuters dan Al Jazeera. Namun, Polri membantah tuduhan tersebut. Akun Twitter Pusat Penerangan TNI bahkan mencap pemberitaan Reuters merupakan hoaks.

Petisi yang diinisiasi oleh Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet untuk membuka kembali akses internet di Papua tidak diindahkan. Sampai hari ini, Jumat (6/9), internet Papua berangsur normal setelah pemerintah menyatakan Papua sudah mulai "kondusif" (yang masih harus dipertanyakan). Namun, Kominfo menyatakan pemutusan internet bisa kembali terjadi apabila konflik kembali muncul.

Pendekatan Militeristik a la Orde Baru

Tuntutan warga untuk mengadili pelaku rasisme terhadap orang Papua ditanggapi dengan cara a la Orde Baru. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena pemimpin penanganan keadaan di Papua, Menkopolhukam Wiranto memiliki pengalaman manajemen konflik a la Orde Baru. 21 tahun reformasi memang belum berhasil mengubah pendekatan para jendral eks Orba.

Dimulai dari pengiriman pasukan tambahan ke Papua yang dinyatakan untuk "mengamankan objek vital nasional". Dilanjutkan dengan penanganan ricuh di Deiyai yang sampai menelan korban jiwa. Hal tersebut diperparah lagi dengan penangkapan mahasiswa dan aktivis pro-Papua dengan tuduhan makar dan provokasi.

Untuk yang terakhir, tidakkah kita ingat akan pembungkaman gerakan pro-demokrasi di zaman Soeharto dengan tuduhan tindak pidana subversi?

Selain itu, aparat menggunakan organisasi masyarakat pro-pemerintahan untuk mengintimidasi dan menciptakan konflik horizontal di masyarakat seperti yang terjadi di Jayapura dan beberapa kota lainnya. Pembiaran aparat terhadap ormas-ormas tersebut mengingatkan pada ormas-ormas peliharaan orba yang bertugas "menjaga kondusifitas" masyarakat.

Sikap Presiden

Di balik keributan dan kekacauan yang terjadi di Papua, Presiden Jokowi seakan tutup mata. Secara langsung, melalui perkataan dan tindakan, tidak banyak yang telah dilakukan Jokowi untuk menangani konflik yang terjadi. Presiden hanya berpangkutangan pada menterinya yang terlalu dia percaya.

Di tengah keributan dan kericuhan tersebut, presiden masih sempat mengikuti kegiatan fun pemerintahan seakan tidak terjadi apa-apa di negara yang dia pimpin. 

Walau pada akhirnya presiden bertemu dengan "tokoh Papua", pertemuan tersebut tidak menyentuh akar masalah dari kompleksnya problematika yang terjadi di ujung timur Nusantara.

Pentandakutipan "tokoh Papua" agaknya bisa diperdebatkan karena yang diundang adalah pemenang lomba "Gapura Cinta Negeri" dan para eks timses pro-Jokowi.

Lalu Bagaimana?

Siapa lah saya yang berhak memberikan masukan kepada yang terhormat presiden Indonesia. Tapi, sedikit saran dari saya, tolong dengarkan apa kata peneliti LIPI yang telah meneriakkan problematika Papua kepada pemerintahan sejak lama.

Ada empat masalah Papua yang harusnya segera diselesaikan: 1) Sejarah dan status politik integrasi Papua-Indonesi; 2) Kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua; 3) Perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan akibat pembangungan pro-pendatang, dan; 4) Kegagalan pembangunan SDM.

Sebagai rakyat yang masih punya optimisme terhadap masa depan negeri, saya yakin pemerintah (entah kapan tapi yang pasti bukan pemerintahan sekarang) dapat menyelesaikan permasalahan Papua dengan sebaik-baiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun