Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Prangko, Makin "Langka" Makin "Mahal"

24 April 2018   17:28 Diperbarui: 25 April 2018   00:00 3160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prangko Seri Dilan 1990 (sumber: ANTARA)

Jujur saja, siapa yang masih sering salah menuliskan nama benda kecil yang digunakan untuk mengirim surat ini? Menurut KBBI, ejaan yang tepat adalah 'prangko', bukan 'perangko'. Ejaan tersebut berasal dari teraan cap bertuliskan 'Franco' pada masa kolonial yang menandakan bahwa kiriman sudah dibayar oleh pengirim sehingga penerima tidak perlu membayar lagi. Ketika prangko pertama kali diluncurkan tahun 1864 oleh pemerintah kolonial, cap 'franco' masih digunakan sehingga masyarakat menyebut secarik kertas yang ditempel di sampul surat atau kartu pos dengan prangko.

Kini, 154 tahun setelah prangko pertama diluncurkan, keberadaan prangko mulai tersisih. Penggunaannya terbatas pada kebutuhan surat-menyurat institusi atau perusahaan. Masyarakat umum sudah mulai meninggalkan kegiatan korespondensi. Bahkan, Pos Indonesia sendiri seperti 'menganaktirikan' kiriman pos tidak tercatat seiring berkurangnya volume surat tersebut.

Akan tetapi, prangko tidak akan pernah mati. Walau penggunanya makin sedikit, kolektornya akan selalu ada. Para filatelis (pecinta prangko) seakan memaksa Pos Indonesia untuk tetap mencetak prangko. Pengiriman surat perusahaan bisa saja beralih ke sistem pre-paid mail, tapi prangko selalu menjadi benda koleksi yang bernilai tinggi.

Prangko yang Makin 'Langka'

Dari judul, saya memberikan tanda kutip pada kata langka karena secara umum, kita masih bisa menemukan prangko mint (belum terpakai/baru) dijual di kantor pos. Walau petugas posnya, terutama di kantor pos kecil, selalu memastikan apakah kita benar-benar ingin membeli prangko atau salah mengerti kalau sebenarnya kita ingin membeli meterai tempel. Terkadang, seperti saya alami, kantor pos kecil tidak menjual prangko. Entah karena kehabisan atau memang sudah lama tidak menjual.

Tapi, ketidaktersediaan prangko di beberapa kantor pos tidak bisa menjadi indikasi kelangkaan prangko itu sendiri. Adapun yang saya maksud dengan langka adalah jumlah penerbitan yang makin tahun sepertinya makin berkurang. Di tahun 2017, Pos Indonesia hanya menerbitkan 11 seri dari 12 seri yang dijadwalkan (Jadwal penerbitan prangko 2017, minus seri Mata Uang Republik Indonesia). Bandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang di tahun 2017 berhasil menerbitkan 24 seri prangko, termasuk prangko definitif seri anggrek.

Oh, ya. Prangko definitif adalah prangko yang bisa dicetak ulang bila stoknya habis. Indonesia terakhir kali menerbitkan prangko definitif di tahun 2015 dengan seri layanan pos. Kini, prangko yang dijual di kantor pos kebanyakan adalah penerbitan istimewa atau peringatan yang dicetak terbatas. Walau sepertinya tidak pernah habis karena pembelinya sedikit.

Prangko yang Makin 'Mahal'

Sama seperti 'kelangkaan' yang saya maksud di atas, prangko Indonesia sendiri memang tidaklah mahal. Nominal paling kecil yang masih bisa dibeli di kantor pos saat ini adalah Rp 2.500, walau pun jarang. Yang masih umum ditemukan adalah nominal Rp. 3.000 dan Rp 5.000. Nominal tersebut menyesuaikan kebutuhan pengiriman surat tidak tercatat dalam negeri yang tarifnya, sesuai Permen Kominfo nomor 29 tahun 2013, Rp 3.000 untuk kiriman di bawah 20 gram. Selain itu, ada juga nominal Rp 4.000, Rp 7.000, Rp 8.000 dan Rp 10.000.

Yang saya maksud dengan mahal adalah karena jumlahnya yang tidak terlalu banyak. Selain itu, setiap seri tidak selalu tersedia di kantor pos di setiap kota. Biasanya pada hari terbit pertama, prangko baru tersedia di kantor pos besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Yang lebih menyebalkan, prangko khusus dari satu seri (mini sheet, souvenir sheet, sampul hari pertama) justru tidak tersedia di hari pertama penerbitan. 

Kasus yang terkini adalah terlambatnya penerbitan souvenir sheet dan mini sheet prangko seri tahun anjing, walau full sheet-nya telah terbit duluan. Gosipnya, sih, Peruri (Percatakan Uang Republik Indonesia, perum yang mencetak prangko) kehabisan bahan untuk mencetaknya karena kertas prangko harus diimpor dari Eropa.

Keberagaman prangko yang berpusat di kantor pos besar di suatu provinsi membuat prangko, terutama seri terbaru, menjadi lebih mahal untuk dimiliki jika kita menghitung biaya yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan satu keping prangko tersebut. Terutama untuk para kolektor atau pengguna yang tinggal di luar kota besar.

Namun, Pos Indonesia tidak semudah itu menghilangkan prangko dari peredaran. Demam Dilan 1990 yang mewabah di kalangan pemuda-pemudi Indonesia dijadikan momentum untuk mengkampanyekan prangko kembali. Pidi Baiq, penulis buku Dilan 1990 yang juga desainer beberapa seri prangko, mendesain prangko Prisma Dilan 1990. Bahkan, Pos Indonesia membuat alamat khusus bagi fans Dilan untuk berkirim surat kepada Dilan dan Milea.

Semoga saja prangko bisa menjadi pilihan masyarakat umum untuk kembali berkorespondensi. Karena dengan sekeping prangko, kita bisa memberikan kabar yang tidak bisa disampaikan oleh sentuhan jari di layar ponsel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun