Mohon tunggu...
Iftahiyatunnisa
Iftahiyatunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka tantangan, tapi tidak suka disuruh-suruh. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal dan Menghindari Bid'ah di Era Artificial Intelligence (AI) dalam Perspektif Akidah Aswaja An- Nahdliyah

29 Juni 2025   11:27 Diperbarui: 29 Juni 2025   11:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Iftahiyatunnisa

Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Sosial, Ekonomi dan Humaniora

Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto

Kehidupan yang telah ada di era disrupsi ini telah membawa perubahan besar dalam seluruh aspek kehidupan manusia yang termasuk dalam ranah keagamaan. Dalam hal ini umat islam dihadirkan dengan keberagaman perspektif dan perubahan pola pikir mengenai kebiasaan, tradisi bahkan mengomentari adanya teks hadis. Sehingga sulit untuk menentukan kebenaran jika dibarengi juga dengan sifat egosentris oleh seseorang. Ulama terdahulu telah menyadari bahwa dalam beberapa kasus, terdapat hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan satu sama lain. Bahkan para sahabat Nabi pun memahami hal ini. Sebagai contoh, meskipun Nabi Muhammad pernah melarang penulisan hadis, terdapat sahabat yang tetap menuliskan hadis yang mereka dengar langsung dari beliau, dan Nabi tidak menegur tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya toleransi antar sesama untuk meminimalisir perpecahan, mencerminkan adab yang baik dalam toleransi yang ilmiah (Maula Khilda Minhatul et al., 2023).

Metodologi perspektif hadis pada zaman Nabi tidaklah sesulit sekarang , karena pada zaman Nabi sebagian besar mengetahui asbab al-wurud (sebab disabdakannya hadis oleh Nabi) akan tetapi setelah berlalunya generasi, sebagian hadis-hadis Nabi mulai nampak sulit dipahami (musykil), karena kata-kata dalam redaksi itu sulit dipahami lantaran asing atau juga karena sulit dipahami ketika berada dalam konteks tertentu (gharib) maupun karena dipandang bertentangan satu dengan yang lainnya (mukhtalif) (Maula Khilda Minhatul et al., 2023).

Pertentangan pemahaman di kalangan umat Islam ini dalam realitas sosial dan sejarah kekhalifahan Islam yang berlangsung setelah wafatnya Rasulullah SAW. Saat Baginda Nabi meninggal, terjadi pertentangan antar kelompok yang hendak mencari penerus kepemimpinan dengan kelompok yang ingin menguburkan nabi yang nantinya terbelah menjadi kelompok Syiah dan Ahlussunah Wal-jamaah (Kajian Al-Quran et al., n.d.)

Konsep yang saat ini menjadi pertentangan bahkan di era disrupsi adalah konsep "Bid'ah" yang memunculkan perselisihan jika bid'ah ekstrim (ta'ashub) dalam masyarakat sehingga dikhawatirkan akan lebih dalam meningkatkan konflik dan menimbulkan gerakan rasisme. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji ulang konsep bid'ah dalam perspektif akidah Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah (Aswaja NU) yang memiliki prinsip moderasi, toleransi, dan pemahaman yang kontekstual terhadap syariat. Pandangan Aswaja menawarkan pendekatan yang tidak tekstual kaku, namun mendalam secara metodologis dan relevan terhadap tantangan zaman, termasuk dalam menyikapi realitas keagamaan yang semakin kompleks akibat penetrasi teknologi AI. Maka, memahami dan menghindari bid'ah secara tepat di era modern adalah upaya penting untuk menjaga harmoni dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Hal ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh AI dalam menghindari maupun dalam menyikapi AI yang hampir menyamai semua informasi berdasarkan dasar hukum Al-Qur'an dan Hadis maupun informasi tanpa dasar keduanya. Hal ini akan merujuk pada sorotan Bid'ah.

Pengertian Bid'ah

Secara etimologis, kata bid'ah berasal dari bahasa Arab () yang berarti mengada-adakan sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Kata ini juga berkaitan dengan kata ibda' () yang berarti menciptakan sesuatu tanpa meniru sebelumnya. Dalam Al-Qur'an, kata ini digunakan misalnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 117:

"Badi'u as-samawati wal-ard" (Dialah Allah, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya).

Sementara itu, dalam konteks istilah syariat (terminologi keagamaan), bid'ah diartikan sebagai suatu perilaku atau praktik keagamaan yang tidak memiliki landasan atau tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat beliau (Nikmah Choirin, 2020). Artinya, jika suatu amalan tidak ditemukan dalam tradisi ibadah Nabi dan sahabat, maka berpotensi dikategorikan sebagai bid'ah. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa tidak semua hal baru langsung dianggap menyimpang atau sesat. Bid'ah diartikan juga sebagai:

"Segala sesuatu yang baru dalam agama yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', maupun Qiyas."

Imam Asy-Syathibi dalam Al-I'tisham menyatakan:

"Bid'ah adalah suatu jalan dalam agama yang dibuat menyerupai syariat, padahal sebenarnya tidak berasal dari syariat, dan dimaksudkan untuk menambah dalam beribadah kepada Allah."

Imam Syafi'i membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Pendapat ini juga dipegang oleh para ulama Aswaja, termasuk ulama-ulama besar NU, yang mengedepankan konteks, maksud, dan maslahat dalam menilai sebuah amalan keagamaan. Dasar hukum bid'ah secara tekstual sering merujuk pada hadis Nabi SAW yang berbunyi:

"Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim).

            Namun, para ulama Aswaja tidak serta-merta memahami hadis ini secara literal. Mereka melihat pentingnya pendekatan maqashid syariah (tujuan syariat) dan 'urf (kebiasaan lokal) dalam menilai suatu amalan. Oleh karena itu, tidak semua hal baru dalam agama otomatis dihukumi sebagai sesat, melainkan perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan dalil, maslahat, dan konteks sosialnya (Studi et al., 2024).

Macam-Macam Bid'ah

  • Berdasarkan Pandangan Ulama Salaf (Klasik)
  • Beberapa ulama klasik cenderung menyebut semua hal baru dalam agama sebagai bid'ah dhalalah (yang sesat), merujuk pada hadis:
  • "Setiap bid'ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
  • Namun pemahaman ini tidak dimutlakkan oleh para ulama Aswaja.
  • Berdasarkan Pendapat Imam Syafi'i dan Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
  • Imam Syafi'i (w. 204 H) menyatakan: "Bid'ah ada dua: yang bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, atsar, dan ijma', maka itu bid'ah dhalalah. Tapi jika mengandung kebaikan yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil tersebut, maka itu bid'ah hasanah (baik)."

Berdasarkan itu, para ulama seperti Imam Nawawi, Imam Ibn Hajar, dan ulama Aswaja Nahdlatul Ulama membagi bid'ah menjadi lima macam hukum taklifi, sama seperti hukum dalam fiqih:

  • Bid'ah Wajibah (Wajib) : Inovasi yang hukumnya wajib karena menjadi kebutuhan dalam pelaksanaan agama. Contohnya: Penyusunan ilmu Nahwu untuk memahami bahasa Arab dan Al-Qur'an; kodifikasi Al-Qur'an di masa Abu Bakar.
  • Bid'ah Mandubah (Sunnah) : Hal-hal baru yang disunnahkan dalam agama. Contoh: Menyusun kitab tafsir, membuat sekolah agama (madrasah), shalawat Nariyah.
  • Bid'ah Mubahah (Boleh) : Hal baru yang sifatnya netral, boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat. Contoh: Penggunaan pengeras suara saat adzan, menulis mushaf dalam bentuk digital.
  • Bid'ah Makruhah (Makruh) : Hal baru yang tidak dianjurkan, tapi tidak sampai haram. Contoh: Berlebihan dalam menghias masjid hingga mengganggu kekhusyukan.
  • Bid'ah Muharramah (Haram) : Hal baru dalam agama yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam, merusak aqidah dan ibadah. Contoh: Mengubah rukun ibadah, menambah rakaat shalat wajib, ritual keagamaan yang menyesatkan (Mokhtar et al., 2023).

Dalam hal ini, Imam Syafi'i membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Pendapat ini juga dipegang oleh para ulama Aswaja, termasuk ulama-ulama besar NU, yang mengedepankan konteks, maksud, dan maslahat dalam menilai sebuah amalan keagamaan. Bid'ah secara umum dalam pandangan para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

  • Bid'ah Hasanah ( )

Bid'ah hasanah adalah perkara baru dalam urusan agama yang tidak dilakukan Nabi SAW secara langsung, tetapi tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah, menjaga kemaslahatan umat, dan memperkuat syiar Islam (Nikmah Choirin, 2020).

Selain itu, bid'ah hasanah digunakan untuk menyesuaikan dalil Al Qur'an dan Hadis yang pada zaman Rasulullah disesuaikan dengan zaman saat ini yang sudah dengan teknologi yang sangat maju. Hal ini diperlukan untuk disesuaikan dengan kehidupan manusia yang terus berubah sesuai dengan dinamika sosial dan dinamika teknologi. Seperti adanya belanja online yang dulu hanya ada belanja ke pasar-pasar, kini belanja ada online. Maka, para ulama perlu adanya inovasi ataupun ijma' dan qiyas mengenai hukum berbelanja online supaya dapat menimbulkan akad baik tanpa sikap yang buruk.

Contoh lainnya adalah:

  • Pengumpulan dan kodifikasi mushaf Al-Qur'an di zaman Abu Bakar dan Utsman.
  • Adzan dua kali pada hari Jumat oleh Khalifah Utsman bin Affan.
  • Penulisan kitab fiqih, tafsir, dan ilmu kalam.
  • Perayaan Maulid Nabi.
  • Penggunaan pengeras suara untuk adzan dan ceramah.

Sabda Rasulullah SAW:

"Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam, maka baginya pahala dari amal itu dan dari pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun."

(HR. Muslim, no. 1017)

Hadis ini menjadi dasar bahwa membuat suatu amalan baru yang baik dan bermanfaat dalam Islam akan berpahala dan tidak otomatis dianggap sesat. Namun, hal ini didasarkan pada kebutuhan dan dasar amalan ini apakah masih sesuai dengan aturan dan anjuran Islam. Lalu, adanya proses ijtihad dari mujtahid yang berhati-hati dalam membuat keputusan ataupun meneliti suatu dasar hukum seperti Al-Qur'an dan Hadis supaya hasil yang menjadi kesepakatan ulama yang bisa menjadi amal jariyah dan memberikan manfaat bagi orang banyak.

Perkataan Imam Syafi'i:

"Bid'ah ada dua: Bid'ah Mahmudah (yang terpuji) dan Bid'ah Madzmumah (yang tercela). Segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, atsar, atau ijma' maka itu adalah bid'ah madzmumah. Sedangkan sesuatu yang baik dan tidak bertentangan maka itu adalah bid'ah mahmudah." (Imam Syafi'i, dalam kitab "Manaqib Asy-Syafi'i", karya Al-Baihaqi)

  • Bid'ah Dhalalah ( )

Bid'ah dhalalah adalah perkara baru dalam agama yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam, tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an, Hadis, ijma', atau qiyas, serta dapat merusak kemurnian akidah dan syariat.

Contoh:

  • Menambah rukun shalat (misalnya shalat lima rakaat untuk Zuhur).
  • Meyakini adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW.
  • Melakukan ritual tertentu yang tidak berdasar dan diklaim sebagai ibadah wajib.
  • Menghalalkan yang haram atau sebaliknya, atas nama agama tanpa dalil syar'i.

Sabda Rasulullah SAW:

"Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya)

Namun, penting dicatat bahwa hadis ini dipahami secara kontekstual, bukan secara tekstual kaku. Maksud "setiap bid'ah" dalam hadis tersebut adalah bid'ah yang dhalalah, yakni yang menyesatkan dan bertentangan dengan syariat.

Dalam Pemahaman Aswaja yaitu seperti Imam Nawawi, Imam As-Suyuthi, Imam Al-Ghazali, dan para ulama NU masa kini, tidak menganggap semua hal baru sebagai bid'ah yang sesat, selama hal itu: (1) Tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Islam, (2) Tidak merusak akidah dan syariat Islam yang sudah berjalan sebelum-sebelumnya, dan (3) Dilakukan dengan niat ibadah dan mendatangkan maslahat.

Tantangan Konsep Bid'ah di Era Artificial Intelligence (AI)

Di tengah kemajuan teknologi yang sangat pesat, khususnya dengan munculnya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), umat Islam menghadapi tantangan baru dalam memahami ajaran agama. Era digital telah mempermudah akses terhadap informasi keagamaan melalui berbagai platform, termasuk aplikasi berbasis AI yang dapat menjawab pertanyaan agama, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, menyusun khutbah, bahkan memberi "fatwa" secara otomatis. Kemudahan ini memang memberikan manfaat besar, namun di sisi lain juga membawa risiko yang signifikan (Hikmatullah & Sy, 2021).

Salah satu bahaya yang mengintai adalah munculnya pemahaman agama yang instan dan dangkal. Banyak konten keagamaan yang dihasilkan AI tidak melalui proses ilmiah yang sah, tidak memiliki sanad keilmuan, dan sering kali tidak mempertimbangkan konteks sosial, historis, maupun maqashid syariah (tujuan syariat). Misalnya, ketika AI menafsirkan ayat Al-Qur'an tanpa memperhatikan tafsir klasik, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), atau perbedaan mazhab, maka pengguna yang tidak memiliki pemahaman agama yang memadai bisa menerima hasil tersebut sebagai kebenaran mutlak. Inilah bentuk penyimpangan modern yang perlu diwaspadai dan bisa tergolong bid'ah dalam makna kontemporer: yaitu pengaburan makna syariat melalui medium teknologi (Kajian Al-Quran et al., n.d.).

Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan bahwa bid'ah di era AI tidak hanya berbentuk amalan ritual baru, tapi juga muncul dalam bentuk pemikiran, narasi, dan otoritas keagamaan palsu. Ketika AI menggantikan peran ulama sebagai sumber fatwa tanpa verifikasi keilmuan, maka umat bisa tersesat dalam praktik beragama yang tidak berdasar.

Respons Aswaja NU terhadap Bid'ah dan Teknologi AI

Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah (Aswaja NU) sebagai manhaj (metode berpikir) keagamaan moderat memiliki prinsip penting dalam menyikapi perubahan zaman, termasuk dalam menghadapi perkembangan teknologi modern. Aswaja dikenal dengan pendekatannya yang moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh). Pendekatan ini sangat relevan dalam menyikapi fenomena AI dan kemunculan amalan baru atau pemahaman baru yang berpotensi menyimpang dari akidah dan syariat.

NU tidak serta-merta menolak semua hal baru, termasuk teknologi. Namun, NU menekankan bahwa segala sesuatu, termasuk pemanfaatan AI dalam agama, harus melewati tiga pendekatan keilmuan utama:

  • Bayani yaitu pendekatan tekstual, yakni memahami agama berdasarkan teks-teks Al-Qur'an dan Hadis.
  • Burhani yaitu pendekatan rasional, menggunakan logika dan ilmu pengetahuan untuk memahami hukum.
  • Irfani yaitu pendekatan spiritual dan hikmah batin, yang mengedepankan akhlak, adab, dan intuisi ruhaniyah.

Dalam konteks penggunaan AI untuk urusan agama, NU menekankan pentingnya otoritas keilmuan dan sanad yaitu rantai keilmuan yang bersambung dari ulama ke ulama, hingga sampai kepada Rasulullah SAW. AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti ulama. Oleh karena itu, umat Islam perlu diarahkan untuk tidak menjadikan AI sebagai satu-satunya rujukan dalam beragama, tetapi tetap menjadikan ulama sebagai pemandu.

Ijtihad jama'i (ijtihad kolektif oleh para ulama) juga menjadi penting dalam merumuskan batasan pemanfaatan AI. Melalui forum-forum bahtsul masail, NU dapat merespons tantangan-tantangan baru termasuk menyaring penggunaan teknologi agar tidak mengarah pada penyimpangan dan bid'ah yang menyesatkan (Nikmah Choirin, 2020).

Strategi Menghindari Bid'ah melalui Literasi Keagamaan Digital

Untuk melindungi umat dari bahaya bid'ah yang muncul melalui perkembangan teknologi, perlu dilakukan penguatan literasi keagamaan digital. Literasi ini mencakup kemampuan umat Islam untuk:

  • Mengenali sumber keagamaan yang otoritatif dan terpercaya.
  • Membedakan antara konten keagamaan yang sah dan yang menyesatkan.
  • Memahami dasar-dasar keilmuan Islam, seperti ilmu fiqih, ushul fiqh, tafsir, dan hadis.
  • Menilai apakah suatu pendapat keagamaan memiliki sanad dan konteks ilmiah yang kuat.

Pesantren, madrasah, dan lembaga keagamaan lainnya memiliki peran strategis dalam mendidik generasi muslim agar tidak mudah tertipu oleh informasi keagamaan yang menyesatkan dari internet maupun AI. NU sendiri sudah memulai langkah-langkah digitalisasi melalui platform dakwah online, kanal YouTube santri, kajian kitab live, dan pengembangan aplikasi islami yang mengedepankan manhaj Aswaja.

Di sisi lain, para dai dan tokoh agama juga harus melek teknologi dan mampu masuk ke ruang-ruang digital tempat umat mencari ilmu. Narasi Islam rahmatan lil 'alamin harus diperkuat di dunia maya agar dapat menjadi penyeimbang terhadap paham-paham yang ekstrem, dangkal, dan menyimpang dari prinsip Aswaja (Studi et al., 2024).

Kesimpulan

Konsep bid'ah di era Artificial Intelligence (AI) menghadirkan tantangan baru dalam beragama. Teknologi digital dapat menjadi sarana dakwah yang bermanfaat, namun juga berpotensi menyesatkan jika tidak disertai pemahaman agama yang benar dan otoritas keilmuan yang sah. Dalam menyikapi hal ini, Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah (Aswaja Nahdlatul Ulama) mengedepankan pendekatan moderat, kontekstual, dan rasional.

Bid'ah tidak selalu berarti sesat, melainkan dibedakan menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat), bergantung pada kesesuaian dengan dalil dan tujuan syariat. Karena itu, penting bagi umat Islam untuk memperkuat literasi keagamaan digital, menjadikan ulama sebagai rujukan, serta memanfaatkan teknologi dengan bijak agar tidak terjerumus pada penyimpangan agama yang dibungkus dalam kemasan modern.

Sumber:

Hikmatullah, M., & Sy. (2021). FIQH MUNAKAHAT (Pertama). Edu Pustaka (Anggota IKAPI).

Kajian Al-Quran, J., Jurnal Kajian Al-Quran, A., Ruslan, R., & Zainuddin, R. (n.d.). Al-MUBARAK MEMBEDAH KONSEP BID'AH. 6(1), 2021. http://journal.iaimsinjai.ac.id/indeks.php/al-mubarak

Maula Khilda Minhatul, Muthi'ah Anisatul, Nurkholidah, Lutfi Ahmad, & Sanusi Anwar. (2023). Kontradiksi Pemahaman Hadis Nabi mengenai Khurafat, Takhayul, dan Bid'ah: Studi Kitab Mafahim Yajibu an-Thussohah Karya Abuya Sayyid 'Alawi al-Maliki. Gunung Djati Confrence Series, 21. Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs

Mokhtar, A. I., Osman, K., Qarni, A., & Amran, M. (2023). Cabaran Guru Pendidikan Islam Dalam Menangani Ajaran Yang Menyeleweng Daripada Manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah. https://www.researchgate.net/publication/372682978

Nikmah Choirin. (2020). Konsep Bid'ah Dalam Perspektif Al-Quran (Kontekstualisasi Perbedaan Pemahaman Bid'ah Pada Kelompok- Kelompok Islam ). Skripsi. Surabaya

Studi, J., Dan Tafsir, A., Shadiq Sandimula, N., Abdullah Otta, Y., & Djamalullail, U. (2024). BASHA'IR KONSEP BID'AH DALAM TAFSIR AL-QURTHUBI (Telaah Atas Tafsir Surah al-Hadid Ayat 27). https://ejournal.staindirundeng.ac.id/index.php/bashair/article/view/3201

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun