Bekasi - Pada 19 Juni 2025, warga Perumahan Irigasi, Bekasi Timur, dikejutkan oleh sebuah peristiwa memilukan: seorang anak laki-laki bernama Mochamad Ichsan Ezra Candra (23 tahun) tega menganiaya ibu kandungnya, Meilani (46 tahun), hanya karena persoalan sepele. Kejadian ini bermula ketika Meilani menolak permintaan anaknya untuk meminjamkan sepeda motor kepada tetangga. Penolakan itu langsung disambut emosi oleh Ichsan yang kemudian memukul kepala dan punggung ibunya hingga memar.
Namun, kejadian ini bukan yang pertama. Sebelumnya, di awal tahun 2025, Ichsan sudah menunjukkan perilaku kasar terhadap ibunya. Dalam salah satu insiden, ia bahkan mengancam menggunakan pisau dan sempat ingin menyerang paman dari pihak korban. Aksi tersebut berhasil dicegah oleh anggota keluarga lainnya dan petugas keamanan lingkungan. Meski saat itu tidak dilaporkan ke pihak berwajib, peristiwa ini menjadi sinyal awal bahwa ada potensi kekerasan serius dalam rumah tangga Meilani.
Sayangnya, kondisi psikologis dan ekonomi keluarga yang terus memburuk tidak kunjung mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar maupun lembaga perlindungan. Meilani, sebagai ibu tunggal, bahkan terpaksa menggadaikan rumah satu-satunya demi membantu usaha anaknya, namun hasilnya nihil. Ketika pengorbanan itu tak dihargai dan malah dibalas dengan kekerasan, tragedi pun tak terelakkan. Saat ini, pelaku telah ditahan dan dijerat Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?
Peristiwa penganiayaan yang dilakukan seorang anak terhadap ibu kandungnya ini tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Salah satu penyebab utama adalah tekanan ekonomi yang mendera keluarga. Meilani, sebagai ibu tunggal, berjuang keras memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus menanggung beban psikologis dan finansial yang luar biasa. Dalam upayanya mendukung anaknya agar mandiri secara ekonomi, Meilani bahkan rela menggadaikan rumahnya untuk dijadikan modal usaha bagi Ichsan. Namun ketika usaha tersebut gagal dan tidak membuahkan hasil, beban mental justru semakin berat. Alih-alih memicu rasa tanggung jawab pada diri pelaku, tekanan ekonomi justru membuatnya kehilangan empati dan menjadi mudah marah, terutama ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Selain faktor ekonomi, gangguan emosi dan minimnya kemampuan pelaku dalam mengelola kemarahan turut memperburuk situasi. Ichsan menunjukkan perilaku yang impulsif dan agresif, bahkan terhadap hal-hal yang sepele. Ini menunjukkan adanya masalah psikologis atau emosional yang tidak tertangani dengan baik sejak dini. Lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman dan penuh kasih justru berubah menjadi ruang ketegangan yang terus-menerus. Tidak hanya itu, norma dalam keluarga tampaknya sudah mengalami pergeseran: rasa hormat kepada orang tua dan nilai kebersamaan mulai luntur, tergantikan oleh hubungan yang penuh tuntutan, ketimpangan, dan ketegangan emosional.
Kurangnya pengawasan dan kepedulian sosial dari lingkungan sekitar juga menjadi penyebab yang tak bisa diabaikan. Kasus kekerasan sebelumnya yang dilakukan Ichsan tidak ditindaklanjuti secara serius, baik oleh keluarga maupun pihak lingkungan, sehingga memberi ruang bagi kekerasan lanjutan. Ketiadaan sistem perlindungan dini atau intervensi sosial yang responsif memperbesar risiko kekerasan rumah tangga berulang. Jika masyarakat sekitar bersikap lebih peka terhadap tanda-tanda awal konflik dalam keluarga, mungkin peristiwa ini bisa dicegah lebih awal. Dengan demikian, penyebab kasus ini adalah kombinasi dari faktor ekonomi, psikologis, nilai keluarga yang rapuh, serta lemahnya respons sosial terhadap kekerasan domestik yang terjadi secara berulang.
Pencegahan yang Harus Diperkuat
Pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan anak dan orang tua, harus dimulai dari akar persoalan, yaitu pembentukan karakter dan penguatan relasi emosional di dalam keluarga. Pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah; orang tua juga memiliki peran utama dalam membentuk empati, rasa hormat, dan tanggung jawab pada anak sejak usia dini. Anak perlu diajarkan bahwa perbedaan pendapat dan kekecewaan bukanlah alasan untuk bertindak kasar atau memaksakan kehendak. Manajemen emosi, kemampuan mengendalikan amarah, serta komunikasi yang sehat harus menjadi bagian dari kebiasaan keluarga sehari-hari. Ini bisa dimulai dari hal kecil seperti memberi contoh menyelesaikan masalah tanpa kekerasan atau memberikan ruang bagi anggota keluarga untuk mengungkapkan perasaannya secara aman.
Di sisi lain, negara dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan sistem pendukung bagi keluarga yang rentan. Pemerintah daerah perlu memperluas akses terhadap program pemberdayaan ekonomi keluarga, seperti bantuan modal usaha, pelatihan kerja, atau koperasi berbasis komunitas, agar beban finansial tidak menjadi pemicu utama konflik rumah tangga. Selain itu, lingkungan sosial seperti RT, RW, tokoh masyarakat, dan tetangga harus lebih proaktif dan berani bertindak ketika melihat adanya tanda-tanda kekerasan di sekitar mereka. Budaya “tidak ingin ikut campur” harus diubah menjadi budaya peduli, karena kekerasan dalam keluarga bukan lagi urusan pribadi ketika nyawa dan keselamatan seseorang terancam.
Pemerintah juga harus memperkuat infrastruktur layanan konseling dan pendampingan keluarga. Layanan psikologi gratis di tingkat kelurahan atau puskesmas, serta penyuluhan tentang cara mengelola konflik dalam rumah tangga, harus diperluas dan dipermudah aksesnya. Masyarakat juga perlu diberi edukasi bahwa mencari bantuan psikologis bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap kesehatan mental dan keselamatan bersama. Melalui pendekatan pencegahan yang menyeluruh—baik dari sisi pendidikan nilai, dukungan ekonomi, kesadaran sosial, hingga layanan psikologis—kita bisa mencegah kasus kekerasan keluarga seperti yang terjadi di Bekasi tidak terulang kembali di masa depan.
Penanggulangan Setelah Kekerasan Terjadi
Penanggulangan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi, tidak hanya berhenti pada penegakan hukum terhadap pelaku, tetapi juga mencakup pemulihan korban dan pemantauan jangka panjang terhadap kondisi keluarga. Dalam kasus Meilani, tindakan cepat aparat kepolisian dengan menahan pelaku dan menerapkan Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menunjukkan komitmen hukum terhadap perlindungan korban. Langkah ini penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai sinyal bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana serius, bukan sekadar urusan internal keluarga. Namun, penanganan tidak cukup hanya sampai pada proses hukum, karena trauma korban sering kali membekas lebih lama dari luka fisik yang tampak.
Pemulihan psikologis terhadap korban menjadi aspek penting dalam penanggulangan. Meilani, yang mengalami kekerasan berulang dari anak kandungnya sendiri, memerlukan pendampingan intensif agar tidak mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). Dalam hal ini, kehadiran psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Bekasi, serta bantuan dari pemerintah provinsi melalui Gubernur Dedi Mulyadi, menjadi bentuk kehadiran negara yang nyata. Tidak hanya memberikan layanan medis seperti CT scan untuk mengevaluasi dampak luka fisik, tetapi juga menyelesaikan masalah utamanya, yaitu menghindarkan Meilani dari ancaman kehilangan rumah akibat gadai. Bantuan pelunasan rumah tidak hanya menyelamatkan tempat tinggal korban, tetapi juga memulihkan rasa aman dan martabatnya sebagai ibu yang telah berkorban untuk keluarganya.
Selain itu, penanggulangan jangka panjang memerlukan keterlibatan lintas sektor, termasuk tokoh masyarakat, aparat desa, dan lembaga sosial. Pemerintah daerah dan pusat perlu membangun sistem pemantauan pasca-kasus agar keluarga yang pernah mengalami kekerasan mendapat pendampingan berkelanjutan. Program rehabilitasi bagi pelaku juga penting, karena hukuman penjara saja belum tentu menyadarkan atau mengubah perilaku. Diperlukan pendekatan pemulihan berbasis keadilan restoratif, seperti konseling keluarga, rekonsiliasi yang dikawal lembaga profesional, dan pemberdayaan individu agar tidak kembali menjadi pelaku kekerasan. Dalam jangka panjang, sinergi antara penegakan hukum, pendampingan psikososial, dan pemulihan ekonomi menjadi fondasi penting untuk memutus siklus kekerasan dalam keluarga, serta menciptakan lingkungan yang lebih aman, beradab, dan bermartabat.
Melihat kompleksitas kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami Ibu Meilani, sangat penting bagi semua pihak-baik pemerintah, masyarakat, maupun keluarga itu sendiri-untuk tidak lagi bersikap pasif atau menunggu hingga tragedi terjadi. Pemerintah harus secara serius memperkuat sistem perlindungan sosial melalui regulasi yang berpihak pada korban, memperluas layanan konseling gratis, memperbanyak rumah aman (shelter) bagi korban KDRT, dan memastikan program pemberdayaan keluarga rentan benar-benar sampai ke lapisan masyarakat terbawah. Aparat juga harus diberikan pelatihan khusus agar mampu menangani kasus kekerasan dalam keluarga dengan pendekatan yang peka terhadap trauma korban, bukan semata penegakan hukum.
Sementara itu, masyarakat tidak boleh lagi menganggap kekerasan rumah tangga sebagai urusan pribadi semata. Setiap individu memiliki peran untuk peduli dan bertindak, mulai dari melaporkan kekerasan yang terlihat, memberi dukungan moral dan praktis kepada korban, hingga ikut serta dalam gerakan edukasi dan pencegahan berbasis komunitas. Sekolah, lembaga keagamaan, dan organisasi kemasyarakatan perlu dilibatkan dalam menyuarakan pentingnya relasi keluarga yang sehat dan adil. Di sisi lain, keluarga harus menjadi ruang yang aman, bukan ladang kekuasaan atau tekanan psikologis. Pendidikan karakter, nilai empati, dan komunikasi yang sehat harus ditanamkan sejak dini dalam relasi anak dan orang tua. Jika kita ingin memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga, maka kita harus berani memulai perubahan dari rumah, dari lingkungan sendiri, dan dari kesadaran kolektif bahwa melindungi satu nyawa berarti menjaga martabat seluruh kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI