Mohon tunggu...
Idrus Malawie
Idrus Malawie Mohon Tunggu... Author

Seorang penulis yang berfokus pada kajian sosial, budaya, politik, pendidikan dan komunikasi. Karyanya mengangkat isu-isu kontemporer dengan pendekatan analitis dan bahasa yang lugas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Negara Tak Hadir, Kiai Tetap Berdiri : Kisah Nyata di Balik Pembangunan Pesantren

16 Oktober 2025   16:54 Diperbarui: 16 Oktober 2025   16:54 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kiai Tetap Berdiri : Kisah Nyata di Balik Pembangunan Pesantren (Idrus Malawie)

Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pesantren memiliki peran yang sangat penting. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak dan berjiwa sosial tinggi. Namun di balik berdirinya pesantren-pesantren yang kini dikenal luas, ada kisah panjang penuh perjuangan yang sering kali luput dari perhatian publik.Banyak orang mengira pesantren tumbuh karena kucuran dana besar atau dukungan pemerintah yang kuat. Padahal, sebagian besar pesantren berdiri atas dasar keikhlasan, pengorbanan, dan tekad kuat para kiai serta masyarakat sekitar. Prosesnya tidak mudah, dimulai dari bangunan sederhana, keterbatasan fasilitas, hingga perjuangan panjang menjaga keberlangsungan pendidikan di tengah segala tantangan zaman.

Jangan kemudian kita punya gambaran bahwa seorang kiai membangun pusat pendidikan pesantren dengan uang berlimpah. Tidak. Banyak dari mereka justru memulai dari nol, mencicil pembangunan dari satu kotak semen ke kotak yang lain, dari satu lantai ke lantai berikutnya. Semua dilakukan dengan kesabaran, kerja keras, dan niat tulus untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bermanfaat bagi umat.

Saya tersenyum getir melihat beberapa serangan terhadap produk atau lembaga pendidikan yang dibangun oleh para kiai. Seolah-olah pesantren itu berdiri karena limpahan dana yang besar, atau karena ada donatur besar di belakangnya. Padahal kenyataannya jauh berbeda. Mengapa tidak kita lipatkan rasa hormat kepada para arsitek sejati, para kiai, ustaz, santri, dan operator lapangan yang benar-benar terlibat langsung dalam proses pembangunan itu?

Banyak orang di luar sana tidak tahu suasana sebenarnya di balik pembangunan sebuah pusat pendidikan pesantren. Para kiai berjuang dengan segala keterbatasan. Bahkan, tidak jarang tanah milik pribadi mereka dihibahkan untuk keperluan pembangunan lembaga pendidikan tersebut. Mereka tidak menunggu kehadiran negara, karena sering kali memang negara tidak hadir secara nyata dalam proses tumbuhnya pesantren-pesantren ini.

Banyak pesantren yang tumbuh dari keikhlasan masyarakat dan perjuangan kiai tanpa dukungan besar dari pemerintah. Karena itu, kita seharusnya tidak mudah menghujat ketika ada kekurangan di dalamnya. Kita perlu memahami konteks, memahami perjuangan, dan menghargai semangat pengabdian yang ada di balik setiap tembok, ruang kelas, dan asrama pesantren itu.

Sebagai mantan santri, saya merasakan betul bagaimana perjuangan itu nyata. Kami, para santri, ikut menimba semangat dan ketulusan dari kiai kami. Kami ikut memikul bata, menimba pasir, dan ikut dalam kerja bakti. Kami tahu betapa tidak mudahnya membangun lembaga pendidikan Islam di tengah keterbatasan ekonomi dan sumber daya.

Bahkan, ketika biaya pembangunan sudah habis, para kiai sering mengadakan haul atau pengajian akbar, bukan semata-mata sebagai acara seremonial, tetapi juga untuk menggalang dana pembangunan. Mereka mengetuk hati umat agar ikut menyumbang, bukan untuk kemewahan, tetapi untuk kelangsungan pendidikan agama bagi generasi berikutnya.

Sayangnya, sebagian masyarakat kota sering kali menilai pesantren dengan kacamata yang keliru. Mereka membandingkannya dengan boarding school modern yang berfasilitas lengkap, berpendingin ruangan, dan berbiaya jutaan rupiah per bulan. Padahal, pesantren tradisional dibangun dengan semangat gotong royong, dengan niat ibadah, bukan komersialisasi.

Maka, sebelum kita menilai, marilah kita pahami terlebih dahulu suasana dan perjuangan di balik berdirinya pesantren. Jangan hanya melihat dari luar. Di balik setiap bangunan sederhana itu, ada air mata, doa, dan pengorbanan para kiai dan santri yang berjuang tanpa pamrih.

Mereka tidak mengharap pujian. Mereka hanya ingin satu hal: ilmu tetap hidup, dan umat tidak kehilangan arah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun