Mohon tunggu...
Muhammad Idrisman Mendefa
Muhammad Idrisman Mendefa Mohon Tunggu...

Pengembara Spiritual. PD. JPRMI Kab. Padang Lawas. Lembaga Al-Mahabbah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendidik dengan Masjid dan Salat Berjamaah

14 Desember 2018   14:09 Diperbarui: 14 Desember 2018   14:21 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenalkan dan mengajak anak-anak shalat berjamaah sejak dini adalah bagian dari pendidikan anak Islam. Harapannya, ketika kelak mereka sudah besar dan dewasa, bahkan sudah menjadi pejabat negara, hal pertama dan utama yang perlu mereka perhatikan adalah shalat berjamaah. Sebab, mereka sudah merasakan, bahwa dengan shalat berjamaah yang berkelanjutan, ruhiyah semakin terbangun, fikriyah semakin tersegarkan, dan ukhuwah semakin tereratkan. Sekat-sekat kesibukan profesi mengkoneksi. Pernak pernik hubungan keduniaan yang seringkali membuat gejolak emosional yang tidak stabil, merekat dan bertemu kembali dengan suasana yang lebih sejuk dan harmonis.

Karena itu, mereka pun akan sangat sensitif kepada masjid atau mushalla sebagai tempat dilaksanakannya shalat berjamaah. Saat melihat masjid, hatinya melembut dan terpanggil untuk singgah sejenak menghilangkan letih dengan berbagai bentuk ibadah. 

Saat mendengar kata masjid hatinya menyeksama dan responsif untuk membicarakan keutamaan-keutamaannya. Saat mengetahui ada masjid yang hendak atau sedang dibangun, hatinya langsung menyambut untuk turut membantu. Saat ia berada di suatu tempat yang ternyata disana belum ada masjidnya, dengan cekatan ia berimajinasi lalu menginisiasi penyegeraan pembangunan masjid di tempat itu.

Saat di tengah kesadarannya akan urgensitas masjid dan shalat berjamaah bagi pembangunan spiritual, ia pun benar-benar mengalami bahwa di tempat ia sedang berusaha mengaktualisasikan profesionalismenya, di lokasi tempat ia berkarir dan mengabdi pada negaranya, ternyata tidak ada masjid atau mushalla, atau mungkin ada tapi kurang layak dan tidak optimal didirikannya shalat berjamaah, maka hatinya akan prihatin dan teriak, "saya perlu masjid, kami butuh masjid, kami harus bangun masjid, kita mesti punya masjid."

Jika tidak, firasatnya membisik, "bagaimana caranya kinerja yang dilahirkan dari keprofesionalan semakin terbukti, jika asupan gizi profesionalisme itu tidak tercukupi? Bagaimana ceritanya, visi dan misi pembangunan akan tercapai, bila nilai-nilai pengungkit produksi mesin pembangunan tidak up to date? Jangan-jangan, ia khawatir, ke depan akan semakin amburadul ini wilayah. Akan kian kacau ini kehidupan, akibat masjid semakin dihiraukan, Tuhan semakin ditinggalkan, dunia semakin dituhankan."

Akhirnya, dengan segala kemampuannya, terlebih dengan segala kewenangan besar yang diberikan kepadanya, ia pun bertindak cepat mengambil kebijakan yang bijaksana, ia membangun masjid yang layak. Di mana di setiap waktunya ada suara adzan berkumandang dan ada jamaah yang berduyun memasukinya. Begitu diperhatikan, rupanya yang adzan adalah dia sendiri. Sedangkan orang-orang yang berdatangan ke dalam masjid itu adalah anak buah, anggota, pegawai, atau karyawannya sendiri. Subhanallah...

#AyokeMasjid
#MenjadiPemudaBerpendidikan

Muhammad Idrisman Mendefa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun