Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajar, Sepeda Motor dan Orang Tua “Nyaah Dulang”

1 Agustus 2016   23:09 Diperbarui: 2 Agustus 2016   16:56 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pelajar mengendarai sepeda motor ke sekolah. (Foto: nyunyu.com/)

Di berbagai daerah, baik di kota maupun di desa, penggunaan sepeda motor sudah sangat memasyarakat. Satu rumah minimal memiliki satu sepeda motor, bahkan ada yang lebih. Jika sekian belas tahun silam sepeda motor masih dianggap sebagai barang yang mahal, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memlikinya, tetapi saat ini sepeda motor dianggap sebagai barang yang biasa saja. Tukang cendol pun sudah dagang menggunakan sepeda motor.

Mudahnya kredit sepeda motor semakin menggoda masyarakat untuk memilikinya. Selain itu, sepeda motor dianggap sebagai sarana transportasi yang murah ekonomis, dan anti macet karena bisa sulap-selip di tengah kemacetan. Walau demikian, sepeda motor justru saat ini menjadi bagian dari kemacetan karena setiap hari, ratusan ribu sepeda motor baru memadati jalan yang ruasnya tidak bertambah, akibatnya lalu lintas semakin macet. Pengguna sepeda motor yang tidak menaati rambu-rambu lalu lintas membuat arus lalu lintas semakin semrawut.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui karakter sebuah bangsa, maka lihatlah perilakunya di jalan raya. Menurut saya, ungkapan tersebut ada benarnya juga, karena di jalanan kita akan melihat karakter seseorang. Ada yang sabar, ada yang ingin menang sendiri, ada yang hati-hati, dan ada yang sembrono. Saat ini dapat kita lihat pelanggaran lalu lintas masih banyak terjadi seperti tidak membawa SIM, melanggar lampu merah, tidak menggunakan helm, menggunakan knalpot yang tidak standar, dan sebagainya.

Salah satu kalangan yang banyak menggunakan sepeda motor adalah pelajar. Bak showroom, di halaman-halaman sekolah terparkir ratusan sepeda motor berbagai merk dan tipe. Berjejer. Beragam alasan disampaikan pelajar, antara lain jarak yang jauh dari rumah ke sekolah, masih jarangnya sarana transportasi umum, supaya cepat sampai ke sekolah, ongkos lebih murah, dan sebagainya.

Ketika pulang sekolah, mereka seperti capung yang bergerombol memenuhi jalan, bahkan di antaranya ada yang mengendarainya secara ugal-ugalan sehingga di samping membahayakan diri sendiri juga membahayakan orang lain.

Bukan hanya pelajar SMP dan SMA/SMK saja yang mengendarai motor ke sekolah, anak SD pun sudah belajar mengendarai sepeda motor, dan ironisnya dibimbing oleh orang tuanya. Anaknya berada di depan, dan orang tuanya membimbingnya dari belakang.

Orang tua yang memberikan atau mengizinkan anaknya yang belum berusia 17 tahun dan belum memiliki SIM bisa ikut disalahkan. Kalau dalam Bahasa Sunda disebutnya nyaah dulang¸yang artinya seolah sayang sama anak padahal mencelakakan. Kadang kala sang anak merayu, memaksa, bahkan mengamuk kepada orang tuanya minta dibelikan motor. Mereka ingin seperti teman-temannya memiliki sepeda motor, mengancam tidak mau sekolah atau kabur kalau tidak dibelikan sepeda motor.

Menyikapi keinginan anaknya tersebut, ada orang tua yang tegas, tapi ada juga yang pada akhirnya memenuhi keinginan anaknya atau kalau dalam Bahasa Sunda disebutnya éléh déét. Daripada anaknya ngamuk, minggat, tidak mau sekolah, ya dibelikan saja sepeda motor.

Bagi orang yang memiliki uang tidak masalah, tetapi bagi bagi orang tua yang tidak memiliki uang, mereka bela-belain nganjuk ngahutang alias meminjam ke sana dan ke sini untuk uang muka motor. Setelah dibelikan sepeda motor, sang anak riang gembira. Motornya digunakan ke sekolah, tidak menggunakan helm, dipakai ugal-ugalan. Bahkan biar terlihat gaul, sepeda motornya dimodif, kanlpot motornya diganti dengan yang suaranya keras dan memekakkan telinga kalau motor digas. Bahkan banyak pelajar masuk menjadi anggota geng motor.

Pelajar yang mengendarai sepeda motor jelas melanggar undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 81 ayat (2) huruf (a) disebutkan bahwa syarat usia paling rendah seseorang memiliki SIM C (sepeda motor) adalah 17 tahun, sementara pelajar banyak yang belum berusia 17 tahun, belum lagi mereka banyak yang suka tidak menggunakan helm.

Sudah banyak kasus kecelakaan yang menimpa pelajar yang menggunakan yang berakibat luka atau bahkan meninggal dunia. Kasus yang paling baru terjadi di Purwakarta. Seorang siswa SMK menabrak lima orang siswa SD. Satu orang tewas dan empat orang siswa mengalami luka-luka. Menanggapi kejadian ini, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi cepat tanggap. Kang Dedi, biasa Beliau dipanggil mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun