DEEP TEACHING DAN DEEP LEARNING; DUA SISI DARI SATU KOIN PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA
Oleh Idris Apandi, Penulis Buku Memahami Deep Learning Tanpa Pening
Pendahuluan
Bayangkan seorang guru masuk kelas, menyalakan spidol, menulis definisi di papan tulis, lalu menyuruh murid menghafal. Sepuluh tahun lalu mungkin cara ini masih dianggap lumrah. Tetapi hari ini, di era digital di mana informasi berlimpah hanya dengan sekali klik, apakah cara itu masih cukup?
Jawabannya: tidak. Murid kita tidak butuh sekadar definisi. Mereka butuh bimbingan agar bisa memahami, menghayati, dan mengaitkan ilmu dengan hidupnya. Inilah yang disebut dengan deep teaching.
Ki Hajar Dewantara sudah lama mengingatkan kita lewat falsafahnya: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
(Guru di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang memberi dorongan.) Kalimat ini seperti peta jalan. Guru bukan sekadar "pemberi materi", tetapi "pemberi arah".
Apa Itu Deep Teaching?
Deep teaching bisa disebut sebagai seni mendidik dengan hati, mengajar dengan rasa, untuk memanusiakan manusia. Di sini, guru tidak hanya fokus menyelesaikan silabus, tetapi berusaha membuat ungaian benar-benar hidup. Kalau surface teaching hanya mentransfer informasi, deep teaching mentransformasi murid. Bedanya seperti memberi ikan dengan mengajarkan cara memancing---bahkan mengajak murid memahami ekosistem ungai tempat ikan hidup.
Albert Einstein pernah berkata: Â "Pendidikan bukan soal menghafal fakta, tapi melatih pikiran untuk berpikir". Nah, deep teaching persis ke situ arahnya: membuat murid berpikir kritis, merasakan nilai, lalu bertindak dengan kesadaran.
Guru dan Penghayatan Tugas
Lalu apa kaitannya dengan profesionalisme guru?