Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguatkan Pendidikan Karakter dan Memajukan Budaya Literasi

30 April 2018   16:37 Diperbarui: 1 Mei 2018   03:51 7407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: countrydetail.com

Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei 2018 adalah "Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan." Hal ini relevan dengan hal yang memang menjadi tupoksi Kemdikbud, yaitu mengurusi pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Pendidikan untuk mewujudkan manusia yang berbudaya, dan kebudayaan dalam konteks yang positif adalah produk manusia yang terdidik.

Pendidikan merupakan pintu gerbang mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sedangkan SDM yang berkualitas merupakan kunci untuk mewujudkan negara yang makmur, sejahtera, dan kompetitif. Menurut Ki Hajar Dewantara (1962) dalam Komalasari dan Saripudin (2017 : 15) hakikat pendidikan adalah upaya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk manusia yang berbudi pekerti, berpikiran pintar, cerdas, dan bertubuh sehat.

Fundamental pendidikan Indonesia diatur dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Selanjutnya pada pasal 3 dinyatakan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum dilakukan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, semakin dinamis, dan semakin kompetitif. 

Implementasi kurikulum 2013 (K-13) bertujuan untuk membekali siswa dengan kompetensi abad 21, seperti kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif.

Ada dua hal yang menjadi isu utama dalam implementasi K-13, yaitu Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan budaya literasi. PPK digulirkan sejalan dengan salah satu poin dalam Nawacita presiden Joko Widodo, sedangkan budaya literasi digulirkan sebagai upaya meningkatkan minat baca siswa yang masih rendah.

PPK mendesak dilaksanakan karena saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter. Menurut (Kunandar, 2014 : 17-18), setidaknya, ada 10 (sepuluh) kecenderungan masyarakat yang saat ini terjadi, yaitu (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) membudayanya ketidakjujuran, (3) sikap fanatik terhadap kelompok, (4), rendahnya rasa hormat terhadap guru, (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk, (6) penggunaan bahasa yang memburuk, (7) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, (9) menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga, dan (10) kurangnya kepedulian diantara sesama.

Menurut Komalasari dan Saripudin (2017:16), pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham (kognitif) tentag mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (psikomotor). 

Pendidikan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, terus menerus, dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan.

Karakter terdiri dari dua bagian. Pertama, karakter moral, sesuatu yang sering kita bicarakan. Karakter moral itu antaralain adalah nilai Pancasila, keimanan, ketakwaan, integritas, kejujuran, keadilan, empati, rasa welas asih, sopan santun. Yang kedua dan tak kalah pentingnya adalah karakter kinerja. Diantara karakter kinerja adalah kerja keras, ulet, tangguh, rasa ingin tahu, inisiatif, gigih, kemampuan beradaptasi, dan kepemimpinan. 

Kita ingin anak-anak Indonesia menumbuhkan kedua bagian karakter ini secara seimbang. Kita tak ingin anak-anak Indonesia menjadi anak yang jujur tapi malas, atau rajin tapi culas. Keseimbangan karakter baik ini akan menjadi pemandunya dalam menghadapi lingkungan perubahan yang begitu cepat.

PPK sudah diterapkan di sekolah baik dalam kegiatan pembiasaan, kegiatan pembelajaran (intrakurikuler), maupun kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena sebelum digulirkannya PPK pun, sekolah-sekolah sudah banyak yang menerapkan hal tersebut, hanya istilah dan fokusnya saja yang berbeda. PPK saat ini fokus pada 5 (lima) nilai, yaitu, (1) religius, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong.

Masing-masing nilai tersebut memiliki sub-sub nilai. Nilai religius memiliki subnilai; cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antarpemeluk agama dan kepercayaan, antibully dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.

Nilai nasionalis memiliki subnilai; mengapresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keberagaman budaya, suku, dan agama. Nilai integritas memiliki subnilai; kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, antikorupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama pengandang disabilitas).

Nilai mandiri memiliki subnilai; etos kerja (kerja keras), tangguh, tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Nilai gotong royong memiliki subnilai; menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, antikekerasan, dan sikap kerelawanan. (Komalasari dan Saripudin, 2017 : 9-10).

Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan semakin kompleks seiring dengan perkembangan IPTEK dan globalisasi, serta HAM, tentunya upaya yang dilakukan oleh sekolah harus semakin sungguh-sungguh. Tantangan lain dalam implementasi PPK adalah kurangnya keteladanan baik dari pemimpin, tokoh politik, pendidik, masyarakat, termasuk orang tua, sehingga PPK kurang berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, perlu kepedulian semua pihak dalam implementasinya. Bukan hanya mengandalkan sekolah.

Untuk mempertegas implementasi PPK, maka presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Saat ini dikenal PPK berbasis keluarga, PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, dan PPK berbasis masyarakat. Apapun istilahnya, itu hanya semacam pembagian peran saja dalam PPK. PPK dilakukan mulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), lembaga pendidikan formal (kelas/sekolah), dan lingkungan masyarakat secara umum.

Kaitannya dengan budaya literasi, sejak tahun 2015 Kemdikbud telah meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai bagian kegiatan Penumbuhan Budi Pekerti. Dasar hukumnya adalah Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pembiasaan membaca buku non teks dilakukan selama 15 menit dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Tujuannya untuk meningkatkan minat baca siswa. Setelah minat baca, diharapkan daya bacanya pun meningkat.

Berdasarkan pengamatan saya di beberapa sekolah di Jawa Barat dan diskusi dengan sesama pegiat literasi, pelaksanaan GLS di sekolah saat ini ada yang sudah berusaha untuk konsisten, tapi ada juga yang mulai redup seiring dengan "kelelahan" guru penggeraknya. Ditambah pelaksanaan GLS dihadapkan pada kendala baik kendala sarana dan prasarana maupun komitmen atau dukungan baik dari pemerintah daerah, kepala sekolah, dan guru-gurunya. Selain itu, diakui atau tidak, GLS masih banyak dilaksanakan secara seremonial, formalistik, serta berparadigma "proyek", sehingga ketika berbagai kegiatan pelatihan GLS selesai dilaksanakan, maka selesai pula gema GLS.

Implementasi GLS dihadapkan pada beberapa tantangan, baik kaitannya dengan komitmen, kondisi SDM, dan kondisi sarana dan prasarana. Selain itu, juga godaan gawai dan TV yang banyak menghadirkan hiburan yang lebih menggoda untuk dimainkan atau ditonton daripada membaca buku. 

Komisioner Bidang Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agatha Lily menyampaikan bahwa waktu yang dihabiskan anak-anak menonton TV lebih lama dari waktu belajarnya. Jumlah jam anak menonton, naik dari 35 sampai 46 jam dalam seminggu, bahkan kalau dikalkulasikan sampai 1.600 jam setahunnya. Ini kalau dibandingkan dengan jam belajar dia disekolah hanya 800 jam," kata Agatha Lily, di Kantor KPAI Jakarta Pusat, Jumat (Republika, 26/9/2014).

Kegiatan GLS diharapkan akan melahirkan generasi-generasi bangsa yang literat. Mereka bukan hanya melek membaca, berhitung, dan menulis, tetapi melek juga jenis literasi lainnya, seperti literasi sains, literasi teknologi, literasi finansial, dan literasi budaya.

Membiasakan aktivitas membaca memang perlu dilakukan sejak dini. Kegiatan literasi harus diawali dari rumah. Orang tua harus menjadi teladan dalam kegiatan literasi. Menyadari hal tersebut, maka Kemdikbud membuat program Gerakan Nasional Membacakan Buku (Gernas Buku dimana orang tua diharapkan menyediakan dan membacakan buku bagi anak-anaknya di rumahnya masing-masing.

Program tersebut pada dasarnya baik, tetapi pertanyaannya adalah berapa persen orang tua yang sadar terhadap pentingnya membaca buku? Kalau sadar, berapa persen yang menyediakan waktu untuk membacakan buku kepada anak-anaknya? Belum lagi urusan penyediaan buku. Dari mana orang tua mendapatkan buku bacaan bagi anak-anaknya? Apakah orang tua memiliki dana khusus untuk membeli buku? Kalau bagi orang tua yang kondisi ekonominya menengah ke atas mungkin tidak terlalu jadi masalah, tetapi kalau bagi yang kondisi ekonominya menengah ke bawah, tentunya akan lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok daripada membeli buku.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka perlu ada langkah-langkah nyata dari pemerintah untuk semakin mendekatkan orang tua atau masyarakat dengan buku, misalnya dengan menyediakan layanan perpustakaan keliling, mengoptimalkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan perpustakaan desa. Dengan mengacu kepada data UNESCO tahun 2012 dimana minat baca bangsa Indonesia hanya 0,001 atau diantara 1000 orang hanya 1 orang yang suka membaca, maka orang yang suka membaca di Indonesia bisa dikatakan sebagai orang yang langka dan istimewa.

Dari pengondisian dan pembiasaan, maka diharapkan membaca berkembang menjadi kebutuhan dan menjadi budaya. Untuk mencapai ke hal tersebut, memang diakui masih jadi sebuah perjalanan panjang ketika minat baca masih rendah, apalagi kalau dikaitkan dengan daya baca, masih butuh perjuangan keras berbagai pihak terkait.

Peringatan Hardiknas merupakan momentum yang tepat untuk kembali merenungkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU Sisdiknas. PPK dan gerakan literasi merupakan dua hal yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut. PPK fokus membangun watak generasi muda berdasarkan kepada Pancasila dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sedangkan gerakan literasi membentuk generasi yang cinta ilmu pengetahuan, cinta membaca, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, dan memiliki daya saing dalam persaingan global. Selamat Hari Pendidikan Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun