Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jadikan Inderamu sebagai Antena Idemu saat Menulis

22 Desember 2017   21:49 Diperbarui: 24 Desember 2017   18:33 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: muda.kompas.id

Oleh:

IDRIS APANDI

(Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat/KPLJ)

 Bagi peminatnya, menulis merupakan aktivitas yang sangat menantang sekaligus menyenangkan. Dia asik berjam-jam duduk di depan laptop atau gawainya untuk menuliskan idenya. Saking asiknya, kadang dia lupa dengan dirinya sendiri. Kopi atau cemilan yang dibuatnya keburu dingin. Ada yang menulis dalam kesunyian, tapi ada juga yang menulis ditemani alunan musik favoritnya.

Bagi Anda yang yang ingin memasuki dunia menulis, maka silakan asah kepekaan anda. Jadikan indera-indera tubuh anda sebagai "antena" ide anda. Manusia memiliki beberapa indera, seperti mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah. Ketika melihat, mendengar, membau, dan meraba sesuatu, seseorang yang memiliki kepekaan yang tinggi akan menulisnya.

Setiap waktu, banyak peristiwa yang dialami oleh indera manusia. Hanya masalahnya, tidak setiap manusia memiliki kepekaan untuk menuliskannya. Hanya sekedar mengalaminya saja, dan setelah itu hilang dari ingatannya. Baginya tidak ada hal yang istimewa atau menarik untuk dituliskan.

Suatu hari, saya berkesempatan melaksanakan salat Jumat di sebuah masjid di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Jelang datangnya salat Jumat, jamaah berdatangan. Mereka ada yang langsung menuju ke dalam masjid dan ada yang menuju ke toilet atau tempat wudhu untuk mengambil wudhu. Sekelompok anak menawarkan koran untuk alas salat Jumat, sedangkan petugas penitipan sandal sibuk menerima, menyimpan, dan merapikan sandal.

Waktu salat Jumat pun tiba. Azan berkumandang. Setelah itu, khatib naik mimbar. Jamaah ada memperhatikan khutbah, dan ada pula yang tampak terkantuk-kantuk. Saya pun mengantuk, tapi saya berusaha menyimak khutbah yang disampaikan oleh khatib. Sang khatib menyampaikan tentang cara meneladani Nabi Muhammad Saw. Saya pun terinsirasi oleh isi khutbah tersebut, lalu setelah salat Jumat, saya tulis jadi sebuah puisi yang berjudul MENELADANI NABI MUHAMMAD SAW. Puisi tersebut saya jadikan kenang-kenangan bagi saya yang pernah mengunjungi masjid tersebut.

Setelah salat Jumat, saya pun memperhatikan jamaah yang sibuk makan siang dan belanja. Masjid selain dijadikan tempat ibadah juga sebagai lahan bagi pedagang untuk mencari nafkah dan bagi jamaah untuk mencari kebutuhannya. Hampir di setiap masjid-masjid besar dan banyak didatangi jamaah, maka pedagang pun ikut-ikutan datang. Ibaratnya ada gula dan ada semut. Beragam dagangan disediakan. 

Mulai dari makanan, minuman, pakaian, Alquran, buku-buku agama, obat-obatan, perkakas, pulsa HP, dan sebagainya. Mereka adalah pedagang musiman. Hanya datang di hari Jumat, dan setelah itu biasanya mangkal lagi di tempat lain.

Jamaah yang sedang makan siang, tampak begitu lahap memakan makanannya. Pada pedagang makanan berderet. Mulai dari pedagang bakso, mie ayam, batagor, gado-gado, hingga gorengan. Rata-rata lapak-lapak mereka dipenuhi pembeli. Begitu pun para pedagang yang lainnya dikerubuti oleh pembeli. Suasana begitu hiruk pikuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun