Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membawa Spirit Puasa ke Dalam Kurikulum 2013

28 Mei 2017   11:20 Diperbarui: 28 Mei 2017   11:41 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini integritas adalah barang yang sangat mahal. Mudah mencari orang yang cerdas secara intelektual dan berpendidikan tinggi, tapi sangat sulit mencari orang yang memiliki integritas. Beberapa tahun yang lalu seorang korban lumpur Lapindo mengembalikan uang yang salah transfer ke rekeningnya karena takut Allah. Seorang pemulung yang mengembalikan emas yang ditemukannya di tempat penampungan sampah ke pemiliknya. Seorang cleaning service sebuah bank yang menyerahkan amplop berisi uang ratusan juta ke security bank, dan berbagai kisah inspiratif lainnya. Jika melihat kepada beberapa kisah tersebut, maka saya menyimpulkan bahwa integitas tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan atau gelar yang disandang, tetapi berkaitan dengan fondasi sikap dan kepribadian yang dimiliki oleh seseorang.

Saat ini justru terbalik, banyak orang yang berpendidikan tinggi, kaya, dengan jabatan yang mentereng justru korupsi, menilep uang negara dengan jumlah yang fantastis. Kasus yang terbaru misalnya, seorang pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK sedang menerima suap. Hal ini disebabkan oleh keserakahan mereka terhadap harta. Rasulullah Saw dalam salah satu hadits menyampaikan bahwa manusia yang serakah, jika ia telah menemukan satu ladang emas, maka ia akan mencari ladang emas berikutnya. Sikap manusia yang serakah terhadap harta ibarat meminum air laut, semakin diminum, maka ia akan semakin haus. Dan manusia akan berhenti dengan urusan dunia, manakala mulutnya telah disumpal dengan tanah (meninggal).

Kaitan antara puasa dan kemandirian misalnya, melalui puasa seorang muslim bisa mengatur waktu, melakukan beragai aktivitas sendiri, tidak merepotkan orang lain, atau bahkan jika memungkin bisa membantu orang lain. Mandiri itu nikmat, mandiri itu bahagia, mandiri itu punya martabat, serta mandiri itu punya harga diri.

Walau demikian, kemandirian bukan berarti menjurus kepada individualistis dan egoisme, tetapi bagaimana seseorang memiliki etos kerja yang baik sehingga berdampak dalam membentuk karakter yang mandiri. Seorang muslim yang berpuasa, pascaimsak dan salat subuh, sangat disarankan untuk tidak tidur, tetapi langsung bekerja dan beraktivitas. Tujuannya agar menjadi manusia yang produktif dan mandiri.

Kaitan antara puasa dan gotong royong, pada saat jelang bulan ramadan, umat Islam bergotong royong membersihkan masjid, jalan, dan gorong-gorong. Ada juga warga yang menyambutnya dengan pawai bedug atau pawai obor. Mereka pun bergotong royong menyediakan takjil bagi yang berpuasa yang notabene memiliki keutamaan yang tinggi. Pada saat sahur, ada warga yang keliling kampung membangunkan warga yang lainnya agar segera sahur.

Rasulullah Saw. bersabda “Barang siapa yang menyediakan makanan bagi yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.” Oleh karena itu, di masjid-masjid agung ada program takjil gratis bagi jamaah yang berbuka puasa bersama di masjid tersebut, atau warga kampung yang bergiliran menyediakan takjil. Selain itu, warga yang dinilai mampu dan fasih bacaannya, bergotong royong menjadi imam tarawih. Selanjutnya warga pun bergotong royong bertadarrus untuk bisa khatam atau menyelesaikan 30 juz Alquran.


Berdasarkan kepada hal tersebut, semangat puasa dapat menjiwai implementasi K-13 yang secara administratif tercantum pada Standar Kelulusan Peserta Didik, Kompetensi Inti, Standar Isi pada tiap mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan indikator ketercapaian kompetensi. Sedangkan secara teknis operasional diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran.


Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun