Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dan Budaya Literasi

16 Mei 2016   09:34 Diperbarui: 16 Mei 2016   09:40 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Islam adalah ajaran agama yang sangat menekankan literasi. (Ilustrasi : //mimpipejuang.files.wordpress.com/)

Oleh:

IDRIS APANDI

Ketika saat ini para pemerintah dan pegiat literasi sedang semang-semangatnya mengampanyekan pentingnya literasi, maka ajaran Islam sejak lama sudah menekankan pentingnya literasi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 atau dikenal dengan surat Iqra. Ayat pertama surat tersebut adalah Iqra! yang artinya bacalah!. Hal tersebut merupakan perintah Allah SWT melalui perantaraan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad  SAW untuk membaca atau belajar dalam arti yang lebih luas.

Pada saat menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW begitu gemetar karena merasa kaget terhadap kedatangan malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah. Nabi Muhammad SAW mengatakan “Maa ana biqaarii”yang artinya Saya tidak dapat membaca. Tetapi dengan bimbingan malaikat Jibril, akhirnya Nabi Muhammad SAW, yakin bahwa wahyu Allah tersebut memang untuknya, dan akhirnya Nabi Muhammad SAW dapat membaca. Salah satu sifat wajib bagi Nabi, yaitu fathanah yang artinya cerdas menjadi jaminan dari Allah bahwa Beliau adalah sosok yang cerdas dan cepat belajar.

Seiring dengan menyebarnya agama Islam ke berbagai belahan dunia sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah sekitar tahun 622 M, muncullah para pengumpul dan penghafal mushafAl-Qur’an dan hadist seperti para sahabat Nabi, Abu Hurairah, imam bukhari-muslim, dan ahli hadist lainnya. Saat itu Islam benar-benar mencapai puncak kejayaannya. Hal ini disebabkan karena penyebaran agama Islam selain dilakukan secara damai, melalui akhlaqul karimah,juga karena Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pendidikan untuk melepaskan manusia dari kebodohan (jahiliyah), karena kebodohan dapat menjerumuskan manusia pada kerusakan di muka bumi.

Islam adalah agama anti kebodohan. Pada sebuah kisah diceritakan, setelah terjadinya perang Badar, ada 70 orang Quraisy Mekkah menjadi tawanan, mereka akan dibebaskan jika bersedia menjadi guru bagi sepuluh orang anak dan orang dewasa Madinah. Akhirnya, 700 orang terbebas dari buta huruf. Ibarat sistem Multiple Level Marketing (MLM), mereka pun diminta untuk menjadi guru bagi yang lain sehingga seluruh penduduk madinah bebas dari buta huruf.

Dalam perkembangannya, pasca runtuhnya kerajaan Islam terakhir di Granada Spanyol tahun 1491 M, dan disambung dengan revolusi industri, banyak temuan-temuan ilmuwan Islam yang justru diklaim dan dikembangkan oleh ilmuwan barat, apalagi pasca terjadinya revolusi industri tahun 1750-1850. Revolusi Industri merupakan periode terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya  dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat,  Amerika   Utara, Jepang dan akhirnya ke seluruh dunia. Pada masa revolusi Industri, teknologi barat berkembang pesat. Banyak temuan yang dihasilkan seperti mesin uap, kapal uap, kapal kincir, mesin tenun, mesin pemintal benang, teknologi mengolah bijih besi dan batu bara, baterai, telegraf, telepon, mobil, hingga pesawat terbang. (Wikipedia).

Jika kita berkaca kepada masa kejayaan Islam. Banyak Ilmuwan Islam yang berjasa dalam pengembangan IPTEK antara lain: (1) Al Farabi (872-950 M) seorang ahli filsafat, logika, matematika,  ilmu alam, teologi, ilmu politik dan kenegaraan, (2) Al Batani (858-929 M) ahli astronomi dan ahli matematika, (3)  Ibnu Tsina (980-1037 M) ahli kedokteran, (4)  Ibnu Batutah (1304-1369) seorang pengembara dan pengarang kisah fiksi, (5) Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ahli filsafat, kedoteran, dan fiqih, (6) Muhammad Ibnu Musa Al Khawarizmi (780-850 M) ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi, (7) Umar Khayyam (1048-1131 M) ahli matematika dan astronomi, (8)  Tsabit bin Qurrah (826-901) ahli matematika dan astronomi, (9) Muhammad bin Zakaria Al Razy (825-925) ahli filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran, dan (10) Abu Musa Jabi Al Hayyan (722-804) ahli kimia.[1] Selain mereka, juga banyak ilmuwan Islam yang lain yang ikut berjasa mengembangkan IPTEK di dunia ini.

Mencari Ilmu, Melek Literasi

Mencari ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim dan muslimah. Mencari ilmu diwajibkan sejak seorang manusia lahir hingga meninggal dunia, dan umat Islam diwajibkan mencari ilmu walau harus pergi ke negeri China. Hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya agar menjadi manusia-manusia yang berilmu. Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka diharapkan dapat menjadi pelita bagi yang lain, dan dapat beramal shaleh. Kebaikannya akan terus mengalir baik di dunia maupun di akhirat, karena ajaran Islam berpesan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.

Dalam ajaran Islam, orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. Dalam QS Al Mujaadillah ayat 11 Allah SWT berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”.Lalu pada QS Az-Zumar ayat 9, Allah SWT berfirman,Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Selain kewajiban mencari ilmu, Islam juga adalah agama yang memerintahkan untuk memuliakan orang yang berilmu. Rasulullah SAW bersabda “Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka” (HR. Baihaqi).

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya menjadi ‘Alim (orang berilmu, guru, pengajar). Jika belum sanggup, jadilah Muta’allim (orang yang menuntut ilmu, murid, pelajar, santri) atau menjadi pendengar yang baik (Mustami’an), paling tidak. menjadi Muhibban atau pecinta ilmu, simpatisan pengajian, donatur lembaga dakwah dan pendidikan dengan harta, tenaga, atau pikiran, atau mendukung majelis-majelis ilmu. Dan Rasulullah  SAW menegaskan, jangan jadi orang kelima (Khomisan), yaitu tidak jadi guru, murid, pendengar, juga tidak menjadi pendukung. Celakalah golongan kelima ini.[2]

Indonesia adalah negara yang jumlah penduduk muslimnya paling besar di dunia. Dari sekitar 254,9 juta orang penduduk (Susenas BPS 2014-2015), diperkirakan sekitar 80 persen adalah muslim, dan sisanya adalah non muslim. Idealnya, Indonesia harus menjadi negara yang mempelopori bahkan menjadi basis gerakan literasi di dunia, mengingat wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah suratIqrasebagai simbol perintah membaca yang merupakan salah satu bentuk kemampuan literasi dasar, tetapi pada kenyataannya, justru negara-negara yang mayoritas berpenduduk non muslim yang memiliki tingkat literasi yang tinggi.Literasi adalah kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Kemampuan membaca dan menulis merupakan literasi paling mendasar.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan. (Kompas, 22/02/2016).

Hal tersebut di atas perlu menjadi bahan bahan evaluasi sekaligus bahan refleksi bagi umat Islam di Indonesia, hal apa yang menyebabkan umat Islam justru kualitas literasinya kalah dengan bangsa lain yang mayoritas non muslim. Ketika masyarakat Jepang lebih senang membaca buku ketika menunggu kereta di stasiun, maka banyak masyarakat Indonesia yang lebih asyik memainkan gadget¸online, atau chatting,walau mungkin saja ada diantaranya yang membaca e-book atau berita dari media Online.

Membaca adalah simbol peradaban sebuah bangsa yang haus akan ilmu pengetahuan. Membaca adalah simbol bangsa yang modern dan memiliki peradaban tinggi, bangsa yang masyarakatnya mau terus menghasilkan kreativitas dan inovasi baru.

Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan pendidikan dan khususnya literasi memacu kepada umatnya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, selalu menfaatkan waktu, dan jangan termasuk orang merugi. Dalam Islam ada ungkapan"Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama (dengan kemarin) maka dia telah lalai (merugi), barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat (binasa)." Berdasarkan kepada hal  tersebut, mari kita menjadikan ajaran Islam sebagai dasar atau semangat untuk membangun dan menggerakkan budaya literasi untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Umat Islam harus menjadi pelopor, bukan pengekor. Wallaahu A’lam.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pegiat Literasi.


[1] Sumber: http://www.munsypedia.com/2013/08/10-ilmuwan-muslim-terbesar-dan-terhebat.html (Diakses, 16/05/2016 1:15:30).

[2] Sumber: http://ddhongkong.org/jangan-jadi-orang-kelima-celaka/ (Diakses, 16/05/2016 1:44:56).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun