(Teh Hijau; Sumber : Idris Prsetyo)
Kali ini saya tertarik untuk menulis kultur ataupun tradisi minum teh dalam masyarakat Tionghoa berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan kawan dekat saya yang nenek moyangnya dari negri Tiongkok ini. Entah kenapa sejak dari masa kanak-kanak hingga telah berkeluarga saat ini, saya selalu saja memiliki sahabat karib yang berasal dari etnis Tionghoa. Meskipun saya pribadi bukan dari etnis yang sama, akan tetapi saya merasa nyaman saja bergaul dengan mereka. Pun demikian juga dengan mereka, yang ‘asyik-asyik aje’ bergaul dengan saya.
Dahulu sewaktu masih kanak-kanak, saya sekedar bergaul dan bermain saja dengan mereka tanpa memperhatikan kebiasaan mereka. Tapi semenjak di Sekolah Menengah Atas, ketika saya sedang tergila-gila belajar ‘martial art’ yang para pelatihnya dan murid-muridnya kebanyakan dari etnis ini, saya mulai memperhatikan kebiasaan dan tradisi mereka. Ditambah saat ini, saya memiliki banyak kawan dekat yang asli berasal dari Hongkong, Taiwan, Beijing, ataupun provinsi lainnya di China.
Ada salah satu kultur yang saya ‘notice’ dan itu sangat menonjol ketika saya bergaul dengan mereka adalah tradisi minum teh nya. Akan tetapi berbeda dengan kebiasaan saya yang sangat menggemari es teh manis, apalagi kalau sedang makan di Warteg, es teh manis selalu tak ketinggalan untuk dipesan. Mereka memiliki tradisi minum teh hijau, teh merah, teh hitam ataupun ‘scented tea’(teh dengan harum bunga ataupun buah tertentu). Meskipun masing-masing daerah tidak sama dalam pilihan teh nya, seperti masyarakat di daerah sebelah timur Cina sangat menggemari minum teh hijau, kemudian teh hitam sangat popular di daerah Guangdong dan Fujian. Namun secara umum, mereka sangat menyukai minum teh tersebut dan mereka menikmatinya dengan tanpa menambahkan gula. Salah seorang kawan saya menyampaikan, menambahkan gula dalam teh hanya akan merusak cita rasa teh tersebut.
Ada sebuah pepatah tua di Cina yang menyebutkan ‘kayu bakar, nasi, minyak, garam, saus, cuka dan teh adalah 7 kebutuhan pokok untuk memulai hari’. Meskipun teh disebutkan belakangan, akan tetapi minum teh adalah bagian dari tradisi yang sangat penting untuk masyarakat Tionghoa. Sehingga masih menurut kawan saya juga, bila selesai makan tanpa minum teh terasa belum sempurna. Apapun hidangannya, minum teh akan menyempurnakannya. Biarpun hidangannya sangat sederhana, namun bila diakhiri dengan minum teh, akan menjadi istimewa. Tak heran bila persediaan teh asli dari Cina ini mulai menepis, saya melihat rona kegelisahan yang mendalam di wajah kawan-kawan saya. Biasanya keluarga mereka yang ada Cina lah yang rutin mengirimkan teh tersebut.
Saya sering diundang oleh mereka untuk sekedar menikmati teh asli dari Cina tersebut. Biasanya pagi hari dan malam hari adalah waktu yang ideal buat mereka untuk berkumpul dan minum teh. Memang menurut saya pribadi, teh asli dari Cina ini memiliki cita rasa tersendiri. Aromanya sangat memikat, harum tapi tidak agresif, pun rasanya sangat berkarakter. Pertama kali mencobanya, agak sedikit terkejut dengan aroma dan rasanya, akan tetapi lama-kelamaan sudah seperti ketagihan saja. Karena saya merasakan manfaatnya juga bagi kesehatan, khususnya teh hijau yang memiliki khasiat untuk menjaga kebugaran tubuh dan bagus untuk kesehatan pencernaan juga.

Mengutip perkataan kawan dekat saya, Qiang Gao, minum teh juga memiliki makna filosofis. Beliau memisalkan persahabatan adalah seperti secangkir teh. Dengan secangkir teh di tangan sambil menikmati daun teh hijau dan memegang cangkir porselen putih, maka hati terasa tentram dan damai. Pun demikianlah juga dengan persahabatan yang nilai-nilainya selalu mendamaikan dan menentramkan hati. Di masa Dinasti Tang, ada seorang guru yang dikenal dengan sebutan Guru Zen. Beliau dihadapan 3 biksu yang memiliki status yang berbeda mengatakan : ‘pergilah kalian dan minumlah teh bersama’. Apa yang beliau sampaikan memiliki makna filosofis yang sangat mendalam, karena ketika mereka duduk bersama untuk minum teh , maka kedudukan mereka adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari antara mereka. Lebih jauh lagi, manusia itu dilahirkan sejajar. Human beings are born equal, hanya ketakwaan dan amal ibadah mereka saja yang membedakannya di hadapan Tuhan, demikian Al Quran menyebutkan.
Pada saat minum teh bersama, mereka biasa juga mendiskusikan banyak hal. Dari obrolan ringan sampai kepada masalah yang pelik. Disanalah tempat mereka untuk mendengar dan mengemukakan pendapat. Dan tak jarang banyak ide-ide brilian yang muncul diantara mereka saat sedang minum teh. Tak heran pula bila diantara mereka itu rata-rata berhasil dan sukses dalam usaha dan bisnisnya karena mereka saling memberikan masukan positif. Minum teh bersama juga dijadikan ajang untuk rileks dan melepaskan kepenatan setelah seharian mereka sangat sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Dalam bahasa Arab ada sebuah peribahasa yang menyebutkan “Al-Hikmatu dhollatul Mu’miniin” (hikmah adalah sesuatu yang hilang dari orang-orang yang beriman). Jadi hikmah dan pelajaran hidup itu harus dicari untuk mendapatkannya seperti barang yang hilang. Sedangkan mencari hikmah bisa dimana saja dan kapan saja. Demikianlah pengalaman saya bergaul dengan kawan-kawan etnis Tionghoa dalam rangka mencari hikmah hidup sebagaimana Rasulullah (saw) pernah bersabda tuntutlah ilmu sampai ke negri Cina. Karena saya belum sanggup kesana, ya setidaknya pergaulan dengan mereka adalah salah satu upaya untuk mencari pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah (saw).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI