Ramadan selalu datang dengan nuansa yang khas---suasana spiritual yang lebih kental, momen berbuka yang penuh kebersamaan, dan tentu saja, godaan untuk membeli segala sesuatu secara berlebihan. Aku pernah ada di fase itu, di mana Ramadan justru menjadi bulan dengan pengeluaran terbesar dalam setahun.
Padahal, kalau dipikir lagi, esensi Ramadan adalah tentang kesederhanaan dan menahan diri. Ironisnya, aku dulu justru menjadikan bulan ini sebagai ajang konsumtif---membeli makanan berlebihan, belanja baju baru meski lemari sudah penuh, dan tergoda promo Ramadan yang seolah memanggil namaku setiap kali scroll media sosial.
Tapi tahun ini berbeda. Ramadan kali ini mengajarkanku sesuatu yang selama ini kuabaikan: hidup lebih hemat dan lebih sadar akan apa yang benar-benar aku butuhkan.
Ketika Ramadan Justru Membuatku Boros
Dulu, Ramadan selalu terasa sebagai bulan "spesial" yang harus dirayakan dengan banyak hal baru. Aku tidak sadar bahwa pola pikir ini justru membuatku terperangkap dalam siklus konsumtif.
Setiap menjelang buka puasa, aku sering kalap membeli berbagai menu makanan. Padahal, saat azan berkumandang, perutku hanya mampu menampung sedikit makanan. Sisanya? Berakhir mubazir di meja makan.
Tak hanya soal makanan, kebiasaan belanja impulsif juga semakin menjadi-jadi. Setiap tahun, aku merasa wajib membeli baju baru, peralatan dapur baru, bahkan dekorasi rumah yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Semua hanya karena alasan "momen Ramadan".
Aku tidak pernah benar-benar menghitung berapa banyak uang yang keluar selama Ramadan, hingga suatu hari aku terkejut melihat laporan keuangan pribadiku. Alih-alih menghemat karena makan hanya dua kali sehari, aku justru menghabiskan lebih banyak uang dibanding bulan-bulan lainnya.
Momen Kesadaran: Ramadan Harusnya Bukan Tentang Gaya Hidup Mewah
Titik balikku terjadi ketika aku melihat seorang ibu di pasar yang dengan teliti memilih sayur dengan uang yang terbatas. Ia menawar harga demi memastikan semua kebutuhannya bisa terpenuhi tanpa berlebihan.