Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hinua, Desa Tengah Perkebunan Nan Indah di Sulbar

10 Oktober 2023   09:34 Diperbarui: 10 Oktober 2023   17:56 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pegunungan sekitar Gandang Dewata dikelilingi kabut jelas terlihat dari desa Hinua (Dok. Pribadi)

Darinya kulihat gunung Gandang Dewata gagah, berdiri kokoh. Semburan hujan deras, sore 17 Juni 2023 baru mereda. 

Sedari pukul 13.00 WIT (Waktu Indonesia Timur) hingga sore, air tumpah sejadi-jadinya. Terpal penutup kursi panjang kayu – tempat kami bermalam dan ngobrol—berhamburan. Kesegaran udara paska hujan menyergap suasana sore. Berangsur awan yang menyelimuti desa di tengah belantara hutan lenyap.

Begitu langit bersih dari awan, muncullah pemandangan segar areal hutan tropis penuh rimbunan pohon. Aliran anak sungai dari kec. Kalumpang, daerah kaki bukit Sandapang, mengalir deras paska hujan. 

Saya berdiri di samping cerobong penyulingan minyak dari tanaman lokal, milik tuan rumah yang kusinggahi. Nun jauh di sana kemegahan gunung Gandang Dewata kokoh menantang mata.

Beberapa jam diskusiku berlalu bersama penduduk desa tentang tata kelola sumber kehidupan berkelanjutan. Desa ini sarat cerita. Dari sejarah berdiri, kekayaan alam tak bertepi, keragaman etnis, hingga profil unik penduduk, menyimpan pembelajaran hidup. 


Saya tinggal di salah satu kediaman warga. Rumahnya minimalis, dengan satu kamar tidur dan ruang tamu seadanya. Otomatis, saya bersama teman tidur di samping rumah, satu areal dengan cerobong penyulingan minyak dari tanaman lokal. Pengalaman hidup tak terlupakan. Berikut ceritaku.

Rumah Pinggir Jalan Hutan

Tiba-tiba saya ingat penggalan bait lagu “Huma Diatas Bukit” dari God Bless.

…… Di sana kutemukan bukit yang terbuka

Seribu cemara halus mendesah

Sebatang sungai membelah huma yang cerah…

Itulah persinggahanku di kampung Naoan Bulo, desa Hinua, kac. Benahau, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat. Ia persis di pinggir jalan menanjak berbelok, membelah hutan yang sepi. Jalan itu penghubung antar kecamatan di tengah rerimbunan hutan. 

Pasangan muda dengan dua anak kecil baru menempati rumah itu setahun lewat. Sebelumnya mereka menetap di kab. Palopo, Sulawesi Selatan. 

“Keberanian yang tanpa tanding,” gumanku kala berbincang dengannya.

Rumah pinggir jalan di tengah hutan lokasi peristirahatan sejenak pengendara (dok. pribadi)
Rumah pinggir jalan di tengah hutan lokasi peristirahatan sejenak pengendara (dok. pribadi)

Kehadiran kami selama 3 malam meramaikan suasana. Biasanya kesunyian menyergap malam. Hanya bila hari penyulingan minyak, tuan rumah menemani warga pemilik daun dan ramailah suasanya.

Sore pukul 17.00 WIT, setelaH hujan mereda, kabut putih turun menutupi pemandangan indah pegunungan sekitarnya. Udara pun berubah segar. 

Kami berbincang santai bareng tuan rumah seputar tata laku hidup seperti lokasi tempat tidur, jemuran pakaian, dan lokasi sungai kecil sebagai tempat mandi, buang air kecil, besar, serta mencuci pakaian. Eh, tiba-tiba, saya berkeinginan kencing di tengah obrolan.

Secepatnya, saya ngacir ke sungai kecil seberang jalan depan rumah. Pikirku, “Mumpung gelap belum hadir, saya mesti ke sungai”. Benar saja, saya menemukan air sungai jernih nan bersih. Tak ada kotoran menggenang. Airnya mengalir deras dari dataran atas hutan – mungkin dari mata air pegunungan -- ke bawah dan bergemercik lirih. Suasananya mirip kehidupan kampungku yang dekat sawah dan sungai.

Batu-batu berjejer di tengah dan pinggir sungai. Salah satunya menjadi tempat sandal, pakaian, alat mandi, sabun dsb. Rimbunan pohon memagari sungai, dan lereng bukit sebagai atapnya. Saya was-was dengan gerakan daun pohon, pertanda orang atau binatang muncul darinya.

Sepi dan suara burung hutan nyaring terdengar. Kala kusentuh airnya, “Wuih segarnya. Dingin sejuk dan bening sekali. Bebetuan dasarnya jelas terlihat dari atas air.” Di sini, kami mandi, mencuci dan membuang hajat selama 4 hari.

Air sungai ini mengalir melewati bawah jalan – berfungsi jembatan -- hingga beberapa meter dari rumah yang kutempati. Pemilik rumah mengalirkan ke kamar mandi keluarga nuntuk keperluan hidup. Karena air sungai tak pernah surut, maka kebutuhan air keluarga juga tak kekurangan.

Sungai mungil dengan aliran air jernih menghidupi warga kampung Naoan Bulo (dok. pribadi)
Sungai mungil dengan aliran air jernih menghidupi warga kampung Naoan Bulo (dok. pribadi)

Malam berangsur gelap. Jalan raya nampak sepi. Kami duduk diatas dipan-panjang samping rumah yang berfungsi sebagai ranjang tidur. 

Karpet digelar dan bantal dihamparkan. Kami mengobrol bareng tuan rumah hingga jam 21.00 malam. Iseng-iseng saya bertanya apakah masih ada binatang berkeliaran ke areal rumah. 

Menurutnya, dulu monyet dan babi hutan tiba-tiba muncul seberang jalan arah sungai. Mungkin karena asal muasal daerah ini adalah lokasi hunianya. Manusia membuka lahan dan menempati belakangan.  

Waktu tidur tiba. Udara tidak begitu dingin. Mataku perlahan lelap. Suasana hutan pegunungan nan sepi, membuatku khawatir. Lalu lalang kendaraan di jalan mulai tak terlihat. Tenang dan senyap.  

Motor melintas sesekali. Sorot lampunya mengagetkantku dan terjaga. Awalnya, saya kesulitan memejamkan mata. Tertidur dua jam, kelopak mata terbuka kembali. Begitu seterusnya. Saya berkhayal yang bukan-bukan, kalau-kalau ada monyet mencari makanan dan mendekat rumah.

Dur.. dur… grek.. grek….”, telingaku mendengar  suara berisik di atap yang terbuat dari seng. Kekhawatiranku membuncah kala itu. Kulihat jam tanganku pukul 02.00 malam. Kupandang langit-langit tempat tidurku. 

Saya memperhatikan seksama, binatang apa gerangan yang bersemanyam diatas seng. 

Saya duduk dan kupandangi sekelilingku yang sepi dan gelap. Sekuat tenaga, saya memejamkan mata. Akhirnya, saya tertidur pulas hingga pagi. Saat kutanya tuan rumah bunyi di atas seng paginya, ternyata ayam berlari-lari mencari lokasi tidur.

Keindahan Alami Kampung Tengah Perkebunan

Jam 04.30 kami terjaga dan segera ke sungai membawa senter untuk membuang air kencing dan membasuh muka. Jalan raya gelap dan sungai pun sunyi. Bunyi jangkrik bersautan. Gemercik air makin jelas terdengar kala saya mendekat sungai. Saya berharap cemas, semoga tidak ada binatang buas (seperti kera, ular, dan babi hutan) mendekat.

Bulu kulitku berdiri, kala air sungai menyentuhnya. Selesai menunaikan hajat, saya hengkang menuju dipan-kayu samping rumah. Gelap berangsur pergi dan matahari pagi muncul. Beberapa warga berjalan membawa gendongan. Satu persatu kendaraan lalu lalang di jalan raya.  

Sambil menikmati pagi, saya berdiri sebelah cerobong memandang jauh. Panorama bukit dan gunung yang dilalui sungai indah sekali. Kabut pagi turun perlahan menambah kecantikan panorama kampung. Dua aliran sungai lain membentang jauh mempercantik kelokan bawah pegunungan. Penduduk menggunakannya sebagai transportasi untuk menggapai kebun sawit dan karet. Ikan mas dan mujair hidup beberapa jenis tersisa disana.

Deretan gunung muncul setelah hilangnya kabut setelah hujan (dok.pribadi)
Deretan gunung muncul setelah hilangnya kabut setelah hujan (dok.pribadi)

Diantara barisan gunung berjejer indah, gunung Gandang Dewata terlihat gagah. Biasanya gunung tertinggi di Sulawesi itu terselimuti kabut, sehingga menghilang dari pendangan mata. Kala kabut tersingkap, wujud indahnya muncul megah.

Naoan Bulo berarti aliran deras air di bambu. Tahun 1980 an, kakek tuan rumah, seorang pendeta, bersama omnya membuka hutan penuh alang-alang sembari menyebarkan agama. Lokasi penambangan emas berjarak 64 kilometer dari kampung, menarik pendatang luar. Seiring waktu, omnya menikahi perempuan lokal dan berketurunan hingga kini.

Kesuburan tanah dan kelimpahan sumber alam mempercepat pertumbuhan kampung. Kakeknya menginisiasi menanam tanaman pangan bagi warga. Penduduk desa tetangga mendengar kemunculan kampung baru di wilayah kaya sumberdaya alam, mendorongnya menyambangi sesekali. Puncaknya, kala perusahaan besar masuk desa untuk mengambil hasil-hasil perkebunan.

Untuk menunjangnya, perusahaan sawit membangun jalan yang memunculkan keramaian dan mengundang orang luar. Penduduk asli dan pendatang berbondong bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Belakangan perusahaan hasil bumi mengambil minyak dari tanaman lokal warga. 

Rutinitas kehidupan warga, terbatas antara wilayah kebun – baik milik pribadi dan perusahaan – untuk bertani dan mencari ikan di sungai. Kini, kampung ramai dan jalanannya menjadi askes penting warga yang menuju kecamatan tetangga, Kalumpang.

Cuaca tak menentu. Awalnya langit cerah. Namun kala kami berkegiatan bersama warga sore jam 15.00, tiba-tiba hujan turun lebat. Bagai air bah tumpah ke bumi. Angin kencang menggoyangkan atap seng ruang pertemuan hingga berdenyit cit…cit…. Begitu hari-hari berikutnya. Pernah hujan tak henti dari siang hingga malam hari, menjadikan malam terasa dingin.

Jalan di tengah perkebunan dan hutan menjadi askes satu-satunya warga. Dokpri
Jalan di tengah perkebunan dan hutan menjadi askes satu-satunya warga. Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun