Saya lupa berapa kilo panjang bibir sungai yang menampung sandaran kapal nelayan. Di salah satu sudut, berdiri kapal kayu besar dalam proses pengerjaan para pengrajin. Tali pengikat menahan goncangan angin yang menerpanya tertancap ke tanah di beberapa sudut.
Semakin saya dalam menelusuri sungai tersebut, makin ramai deretan kapal berjejer di bibir sungai. “Dari mana kapal-kapal ini bersandar ? Bagaimana para nelayan mengokerpasikan kapal tersebut? Bagaimana mungkin sungai sekecil itu mengatur lalu-lalang kapal yang hendak menuju laut ?”, pikirku sepanjang perjalanan.
Yang mengagetkanku, berdiri jembatan tegak penghubung antara jalan di sebalah kiri sungai dengan seberangnya. Postur jembatanya pendek dan lebarnya hanya muat untuk lewat satu mobil dan motor serta sepeda. Otomatis kapal-kapal nelayan yang bersandar ke dalam sungai tidak mungkin berlabuh karena terhalang jembatan. Itu tebakan pikiran kosongku.
Saya penasaran dengan jembatan tersebut. Bagaimana mungkin kapal nelayan dari laut masuk jauh ke dalam sungai untuk bersandar, sementara jembatan menghadangnya. Kala mobil gocarku mendekat, dan saya turun merapat ke jembatan bercat merah, ternyata ada rantai baja menempel di ujung jembatan. Jembatan terbelah dua dan rantai baja menyatukannya. Sehingga bila kapal hendak berlayar dan bersandar ke dalam sungai, Jembatan membelah diri melaui rantai baja yang ditarik petugas.
Perjalanku berlanjut menuju pantai Karangsong. Terlihat keluarga nelayan sibuk mempersiapkan peralatan kerjanya siang itu. Di pojok kapal kayu, para awak kapal dengan telanjang dada, merangkai jaring-jaring untuk menangkap hasil laut. Badannya tegap dan berotot dengan tatapan penuh tantangan. Siklus hidupnya – menurutku – terbatas sungai, pelabuhan, dan laut lepas.
Terik panas terus meranggas. Kepalaku rada pening karena sinar matahasi siang. Kami bergegas pergi meninggalkan Karangsong menuju ke sungai lain yang juga menjadi sandaran kapal. Dalam perjalanan itulah, kami melewati luasnya lahan kilang minyak pertamina (Perusahaan Minyak Nasional) di Indramayu. Supir mobil berujar bahwa areal minyak dan gas Pertamina di sini merupakan lahan terluas se Asia Tenggara. Kini, kegelisahanku sedikit terjawab, kenapa pelabuhan besar belum terbangun disana. Kemungkinan, pelabuhan besar akan “mengusik” keberadaan” asset strategis nasional…