Sabtu, 28 April 2018, Mas Budi mengundangku untuk bincang pagi dan sarapan sebelum pergi ke sebuah event. Saya bersama teman memesan sepiring Pirozhki dengan salad, seharga 5 dolar ausi. Ga mahalkan...
Pemilik cafe Pirozhki lumayan lama hidup di Adelaide. Seperti cafe berciri negaranya, mereka menawarkan originalitas makanan bangsanya. Sebagaimana pengusaha sukses umumnya, ia berjuang keras guna eksis di kota kaya budaya ini. Kegigihan bapak dan anak terlihat dari kesigapan penyajian makanan dan minuman yang diracik sendiri tanpa karyawan.Â
Meski tidak penuh, pengunjung cafe selalu hadir silih berganti. Pernah, saya berkunjung saat siang menjelang Sabtu sore hari untuk belanja mingguan -- dimana banyak barang yang dijual dengan harga satu dolar di akhir pekan, salah satunya adalah salad pelengkap Pirozhki yang selalu ludes. Artinya, penggemar makanan ini lumayan ngantre. Karena setahuku, sajian Piroszki lebih nikmat disantap di pagi hari lengkap dengan sayuran segar (salad).Â
Cafe Pirozhki adalah cerminan lain dari imigran yang menolak tumbang di negeri orang. Ia juga miniatur keragaman budaya yang turut membangun Adelaide.
Sementara itu di tengah central market ada The Latvian Lunchroom. Jum'at malam, 18 Mei 2018 merupakan malam indah bagi warga Adelaide. Awal musim dingin bersahabat, cerah tanpa hujan jadi idaman warga.Â
Keramaian pecah saat senja petang menjelang di sentral market. Semua bangku cafe dan restorant terisi. Riuh tawa membahana di semua sudutnya. Selepas mengajar, Mas Budi mengajakku ngobrol di restorant Latvia bernama The Latvian Lunchroom.
Restoran menyediakan masakan negeri Republik Latvia. Sebuah negara di kawasan Baltik, Eropa Utara. Republik ini berbatasan di utara dengan Estonia, di Selatan dengan Lithuania, di timur dengan Rusia dan di Tenggara dengan Belarus. Pemilik sekaligus penyajinya, imigran Latvia, seperti cafe dan kedai lain berciri negaranya. Letaknya di tengah pasar.
Petang itu, bangku restoran terisi penuh. Kala saya hadir di sana, Mas Budi sedang menikamti sup. Sup Latvia menjadi menu andalan restauran. Sambil menengok kiri dan kanan, saya menyaksikan hampir semua pengunjung "menyeruput" sup.Â
Sayang, malam dingin yang menerpa kota, tidak menggodaku untuk mencobanya. Pasalnya, saya telah makan malam di apartemen. Saya pun menyesal. Gantinya, saya memesan teh khas Latvia dan kentang goreng yang tak kalah nikmat. Aroma berbeda dengan teh biasa dan gorengan kentang pada umumnya. Sepertinya aneka rempah dan ramuan khusus menunjang perbedaan antara antar masakan di sejumlah kedai.
Dinginnya awal musim dingin dan lezatnya sup serta secangkir teh menambah keramaian obrolan malam itu. Informasi situasi politik, sosial dan budaya Indonesia tersaji beserta kuliner negara perbatasan Baltik menambah kehangatan malam.Â