Di tengah derasnya wacana globalisasi, istilah seperti "rantai pasok global," "perdagangan bebas," atau "dominasi korporasi transnasional" kerap terdengar sebagai konsep-konsep besar yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, globalisasi bukanlah realitas yang hanya bersemayam di gedung WTO, perundingan G20, atau laporan IMF. Ia hadir di meja makan, rak dapur, hingga kantong belanja kita. Salah satu representasi paling konkret dari globalisasi dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia adalah mie instan.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mie instan adalah makanan sehari-hari yang mudah, cepat, dan murah. Ia tersedia di hampir semua warung, toko kelontong, dan rak dapur rumah tangga. Namun jarang disadari, sepiring mie instan yang tampak sederhana menyimpan jejak kompleks globalisasi ekonomi. Dalam artikel ini, saya mengajak pembaca untuk melihat bagaimana konsumsi sehari-hari seperti mie instan tidak hanya berkaitan dengan soal gizi atau kebiasaan, tetapi juga menjadi representasi konkret dari relasi kuasa dalam sistem ekonomi politik internasional.
Dalam konteks pembahasan ekonomi politik internasional, globalisasi sering dibicarakan melalui kerangka besar: liberalisasi perdagangan, dominasi korporasi multinasional, atau ketegangan antarnegara dalam rantai pasok global. Namun, jika kita perbesar lensa ke ranah domestik dan mikro, terlihat bahwa manifestasi globalisasi sebenarnya sangat dekat dengan kita, bahkan di dalam piring makan.
Anatomi Global dalam Sepiring Mie Instan
Mari kita telusuri satu bungkus mie instan rasa ayam bawang, salah satu produk favorit di pasar Indonesia. Produk ini mungkin diklaim sebagai buatan lokal, diproduksi oleh perusahaan dalam negeri, dan dijual dengan harga yang terjangkau. Namun jika kita uraikan komposisi produksinya, akan terlihat jelas bahwa produk tersebut adalah hasil dari jejaring ekonomi global yang sangat kompleks.
Bahan baku utama mie instan adalah tepung terigu, yang sebagian besar berasal dari impor gandum dari Australia, Kanada, atau Rusia. Negara-negara ini memasok sekitar 80% kebutuhan gandum Indonesia. Artinya, fluktuasi iklim, perang, atau kebijakan ekspor dari negara-negara tersebut bisa langsung mempengaruhi ketersediaan bahan baku dan harga mie instan di Indonesia.
Minyak sawit yang digunakan untuk menggoreng mie sebagian besar memang diproduksi secara domestik. Namun, pengolahan dan ekspornya dikendalikan oleh sejumlah korporasi multinasional yang memiliki afiliasi global. Mesin-mesin pengolahan dan pengemasan, dari mixer industri hingga pencetak kemasan, sebagian besar diimpor dari Jepang, Jerman, atau Tiongkok. Bahkan pilihan rasa, seperti carbonara, bulgogi, atau tom yum, mencerminkan strategi glokalisasi, adopsi rasa global yang disesuaikan dengan pasar lokal Indonesia.
Dari sini, terlihat bahwa sepiring mie instan adalah representasi dari arsitektur produksi global, di mana komoditas menjadi titik temu antara kebutuhan lokal dan dinamika kapitalisme global.
Ketimpangan Struktural dan Ketergantungan
Studi kasus mie instan membuka ruang refleksi terhadap bagaimana negara berkembang seperti Indonesia menempati posisi struktural yang rentan dalam sistem ekonomi global. Ketergantungan terhadap bahan baku dan teknologi dari luar negeri menjadikan Indonesia terikat dalam arsitektur global yang tidak setara. Dalam konteks ekonomi politik internasional, ini menggambarkan bagaimana perdagangan bebas tidak serta-merta berarti relasi setara, tetapi sering kali memproduksi ketimpangan struktural antara negara pusat (penghasil bahan baku dan pemilik teknologi) dan negara pinggiran (konsumen dan perakit akhir).
Ketika pasar dunia terguncang oleh konflik atau krisis ekonomi, negara-negara berkembang sering kali tidak punya kontrol atas kondisi tersebut, tetapi tetap harus menanggung dampaknya. Ketika harga gandum naik karena perang atau perubahan iklim di Eropa Timur, produsen mie instan di Indonesia tidak punya alternatif selain menaikkan harga atau menurunkan kualitas. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kedaulatan pangan.