Ku turuti semua haus ambisiku dengan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, Ketua BEM Fakultas, Sekretaris sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, dan deretan jabatan yang menurutku bisa menjawab semua ingin tahuku.
Ku luapkan semua haus penasaranku dengan selalu bertanya dan berdiskusi, berdialektika, bertesis dan anti tesis, di warung kopi, di kantor sekretariat, hingga pagi menjelang petang, petang menjelang malam. Untunglah Ibu tidak menyuruhku ikut kakak, dan memperbolehkan kos, sehingga jam berapapun aku pulang, tidak ada yang protes.
Tentu saja, di depan keluarga aku masih tetap anak yang patuh dan manis, mereka tidak tahu sepak terjangku di kampus, terutama dengan keikut sertaanku pada sebuah organisasi yang sangat mengunggulkan konsep free market idea, pasar bebas berpikir, dimana anggotanya sangat menuhankan rasionalitas. Akibatnya, 'kami' cenderung berpikir ala barat, ala sekularisme.
Dan ketika aku lulus kuliah, Ibu meninggal dunia, 'dipaksa' pulang dan harus kerja menjadi guru, maka datanglah bencana itu!!!
Laki-laki dalam foto yang dibawa Paklik, sangat culun, dan....kampungan. Parahnya lagi, dia tidak pernah sekolah, hanya jebolan pesantren. Ah, aku yakin, pasti perilaku orang ini patriarkhi, anti emansipasi dan sangat membosankan. Tidak paham filsafat, politik, kapitalisme, sosialisme, gagap teknologi, dan tentu saja tidak bisa diajak diskusi. Paling bisanya cuma mengaji. Duh, mana mungkin aku menghabiskan separuh hidupku dengan laki-laki skeptis macam ini???
"Kamu jangan hanya melihat dari fisiknya Ul. Tapi pandang latar belakang keluarganya. Dia itu Gus, putra salah satu Kyai besar di kota ini. Yusuf itu anaknya sopan, pintar dan andap ashor. sangat cocok dengan keluarga kita, apalagi kamu juga lulusan pesantren dan sudah S1." Paklikku, mak comblang dari perjodohan ini, trus bersemangat mengkomporiku. Hahaha, ingin aku tertawa keras dengan persepsi orang di sekitarku yang masih memandangku dengan kecamata kuda. Tapi sekali lagi, tenggorokanku serasa tersedak, hanya diam yang ada.
"Iya Ul. Apalagi yang kamu tunggu? Lagian, sejak dulu sebenarnya kamu kan sudah kami beri kesempatan untuk mencari calonmu sendiri, tapi mana? Yang ada malah kamu tidak laku-laku dan selamanya jadi perawan tua. Mau kamu seperti itu!!!" Mas Faisal kakakku, semakin menekanku. Terus terang, saat kuliah, teman laki-lakiku sangat banyak, tapi untuk menjalin hubungan spesial, aku memang belum pernah. Dan sungguh, aku paling tidak tahan kalau setiap hari, tidak pagi, siang, malam, tidak di rumah, di sekolah, di jalan, aku harus mendengar sindiran-sindiran pedas yang selalu diakhiri dengan pertanyaan yang sama, 'Kapan menikah'! (Hufftt, mungkin akan beda ceritanya jika aku hidup di kota besar!!!)
**********
Dan akupun pasrah. Penentuan hari, ijab Kabul pernikahan, hingga resepsi kecil-kecilan, tak terasa sudah aku lewati. Entahlah ada dimana pikiranku saat itu. Yang jelas, ketika hari ini, hari dimana aku resmi menjadi istri Yusuf, maksudku si Culun, tiba-tiba perasaan muak itu kembali menyeruak. Aku sangat menyesal telah mengambil keputusan yang sangat bodoh.
Untung saja, hingga 1 minggu pasca resepsi, 2 dari 3 kakak dan keponakanku yang lucu-lucu, masih tinggal di rumah. Sehingga aku punya alasan untuk tidak perlu menginjakkan kaki di kamar yang menurutku settingnya sangat lebay itu.
"Eh masak manten anyar kok tidur sama keponakan. Sana masuk kamar. Nggak usah malu-malu."