Mohon tunggu...
Ida Raihan
Ida Raihan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga yang suka menulis

A Blogger | A Writer | A Mother | http://www.idaraihan.com | Email: idaraihan@gmail.com | Twitter/Instagram: @idaraihan | Sempat menulis di beberapa buku Antology keroyokan, duet dalam buku Motovasi "TKW Menulis". Juga sempet menulis Solo di Novel, "Cintaku di Negeri Jackie Chan"

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kongkalikong antara Pejabat Kecil dan Pedagang Kaki Lima

10 November 2015   15:26 Diperbarui: 10 November 2015   16:31 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar diambil dari Kompas"][/caption]“Bagaimana negara kita akan maju ya, jika dari pejabat terkecilnya saja pada mau kongkalikong begitu?” Pertanyaan itu muncul dari salah satu sahabat yang tinggal di lingkungan Kramat Jati – Jakarta Timur. Pertanyaan yang muncul setelah dia mendengar jawaban dari salah satu penjual minuman yang saya tanyai mengenai statusnya berjualan di pinggir jalan.

“Saya bayar ke Pak RT, Mbak.” Begitu mbak-mbak penjual minuman itu menjawab pertanyaan saya.
“Bukannya nggak boleh ya Mbak jualan di pinggir jalan?”

“Ya terkadang kita harus berhenti berjualan kalau mau ada petugas keliling. Biasanya Pak RT memberi tahu kami, jika mau ada operasi. Jadi sementara ada operasi kami tidak jualan dulu.” Lanjutnya.

Saya bertanya itu bukan sekadar iseng semata. Tetapi karena saya benar-benar ingin tahu apakah mereka menyewa atau tidak. Karena saya tahu di wilayah tersebut ada larangan berjualan di pinggiran jalan. Juga karena malam sebelumnya saya sempat menjatuhkan barang dari motor di jalan tersebut dan itu menyebabkan kemacetan karena saya tidak bisa minggir untuk membetulkan motor dan bawaan. Saya harus membetulkannya di tengah jalan juga, sementara jalan tersebut termasuk ramai oleh lalu lalang kendaraan roda dua dan empat. Bahkan sering sekali macet. Saya tidak bisa minggir karena trotoarnya telah dipenuhi pedagang.

Tinggal di sebuah kota yang padat penduduknya, terkadang memang membuat aktivitas sehari-hari terasa jauh lebih melelahkan di bandingkan tinggal di kota yang penduduknya masih sedikit. Di Jakarta setiap pagi, warga yang berangkat kerja memenuhi hampir seluruh jalanan. Padat merayap. Kecepatan perjalanan tidak pernah bisa diprediksi karena jarak yang harusnya bisa ditempuh selama tiga puluh menit, terkadang bisa sampai satu jam ataupun lebih sehingga ketika sampai di tujuan, kondisi badan sudah lelah duluan.

Belum lagi pulangnya. Setelah delapan jam bekerja, masih harus berdesak-desakan dengan kemacetan lalu lintas. Dan lelah bukan lagi hanya di tubuh. Tetapi batin juga akan merasa sangat capek. Wajar jika akhirnya tidak sedikit orang yang ketika di perjalanan kendaraannya tersenggol kendaraan lain, emosinya langsung tersulut dan terjadi keributan.

Sayangnya, di antara kemacetan jalanan itu, masih ada saja pihak yang belum puas menyaksikan penderitaan pengguna jalan, yang harus melawan lelah dalam mengarungi kemacetan. Masih banyak jalan-jalan, baik itu jalan besar maupun kecil, dihiasi oleh pedagang-pedagang, khususnya para penjual makanan di sisi kanan-kiri jalan. Yang sedikit banyak menambah macet laju lalu lintas.

Mungkin sebagian trotoar memang diperkenankan untuk aktivitas tersebut, tetapi ada banyak jalanan yang akhirnya berhasil menghambat laju kendaraan akibat menyempitnya ruang gerak karena terhimpit oleh penjual dan pembeli. Padahal setahu saya, Satpol PP telah berkali-kali melarang. Dan tidak sedikit pula yang akhirnya mengangkut paksa peralatan dagang mereka. Tetapi sepertinya hal itu tidak membuat jera para penjual di pinggir-pinggir jalan tersebut.

Jika kita berpikir kejam, mungkin memang kejam jika melarang para pedagang itu untuk berjualan di pinggir-pinggir jalan karena di sanalah pintu rizki mereka. Tetapi jika kita mau berpikir terbuka, tidak sedikit pengguna jalan yang merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka. Sayangnya, upaya pemerintah (Satpol PP) untuk mencegah banyaknya penjual di pinggiran jalanan ini tidak selalu peroleh dukungan dari pimpinan daerah setempat. Kepala Rukun Tetangga (RT) seperti yang saya sebutkan di atas misalnya. Sebagiannya justru sengaja melakukan kongkalikong dengan para pedagang di pinggir-pinggir jalan. Entah mereka peduli atau tidak, bahwa aktivitas jalanan juga dapat terganggu dengan adanya para penjual tersebut.

Semoga ke depannya, pemerintah memiliki program yang bagus untuk mengatasi permasalahan seperti ini. Dengan menambah fasilitas untuk berdagang sehingga para pengguna jalanan tidak merasa terganggu, dan para pedagang tetap bisa melakukan aktivitasnya dalam meraih rizki.


Ida Raihan
Kramatjati, Selasa, 10 November 2015 (14:05)

 

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun