Bulan Ramadhan hampir usai. Bulan di mana di sepanjang hari doa-doa terus terdengar. Bulan dimana umat Islam tiada henti beribadah. Bulan dimana pada siang dan malam tak lelah menengadahkan tangan berharap rahmat dan ridho Ilahi. Hingga tiba dipenghujung bulan dimana semua siap pesta merayakan kemenangan. Kemenangan yang sebetulnya (menurut saya) sulit diukur.
Apakah jika tuntas berpuasa sebulan penuh (yang disempurnakan dengan zakat fitrah) bisa dimaknai sebagai sebuah kemenangan hingga layak untuk dipestakan ?
Pada Ramadhan kali ini ada Olimpiade 2012, Olimpiade yang (tanpa mengecilkan semangat para atlit yang sudah berjuang habis-habisan) tak menghasilkan satu medali emas pun, padahal sejak Olimpiade 1992, 1996, 2000, 2004, 2008, selalu ada medali emas yang berhasil diraih. Medali kemenangan yang (semua orang) bisa mengukurnya.
Dengan kerendahan hati tak urung saya jadi mempertanyakan, apa makna ‘kemenangan’ Ramadhan jika sebagai sebuah bangsa kita justru mengalami ‘kekalahan’ (dalam Olimpiade)?
Beberapa orang pasti akan reflex menjawab, ”buat apa mengejar kemenangan duniawi, bukankah yang penting mencari ridho Allah, meraih kemenangan di hari akhir?”
Sekali lagi, tanpa mengecilkan arti kehidupan setelah mati, sebagai seorang ibu, saya sangat mencintai negeri ini. Negeri yang begitu indah dan maha kaya. Negeri yang rakyatnya layak untuk bisa berdiri gagah bersanding dengan bangsa-bangsa lain. Negeri yang banyak anak mudanya sangat berpotensi dan mampu ber’main’ dalam skala dunia. Namun, status FB seorang teman menggelitik hati saya,
“Sekarang rasa kebanggaan sebagai WNI sudah mulai terkikis...melihat atlet2 negara tetangga berjuang memperebutkan medali...timbul dalam hati pertanyaan "nie atlet Indonesia pada kemana ya..????"....Cina begitu superiornya di cab Bulutangkis...semua medali mereka sapu bersih...fantastis...!!...bahkan di cab renang yg sebelumnya tidak diperhitungkan Cina mempersembahkan 2 emas...hebat...!!...Cina adalah sebuah negara besar yang sesungguhnya....”
Status Fb yang lain malah menulis,
Separah itukah? Artinya, di satu sisi bangsa kita adalah bangsa yang paling getol melaksanakan ibadah ritual. Shalat, ngaji, puasa, seolah tiauda henti. Sementara di sisi lain (seperti sudah diberitakan dimana-mana) prestasi olah raga bangsa kita terus terpuruk ditengah percaturan dunia
Saya lantas teringat, kompasiana seorang teman. Iran, sebagai bangsa yang di embargo ekonomi, di’zalimi’ oleh negara-negara super power, namun tetap kuat hingga bisa meraih 12 medali (4 emas, 5 perak, 3 perunggu). Mereka tak lelah berusaha, dengan sikap tegas, mempertahankan harga diri, membuat musuh musuh pun belum mampu menaklukan Iran. Sekarang, di bidang Olahraga, di ajang paling bergengsi dunia, Iran berperan aktif dan jadi juara dengan mengondol medali emas. Kemenangan yang dirayakan oleh seluruh rakyat Iran dengan suka cita.
Ini menunjukan bahwa Iran, yang juga mayoritas beragama Islam, dengan penuh keterbatasan karena embargo ekonomi, ternyata olahraganya bisa bergerak maju? Kenapa kita malah sebaliknya?
Maraknya segala bentuk ibadah bukankah idealnya harus ter-refleksikan dalam wujud yang lebih bisa diukur? Kemenangan harus di hadirkan dalam bentuk yang lebih nyata, tidak hanya untuk diri pribadi, tapi bisa juga 'menang' sebagai sebuah bangsa (17 Agustus kali ini, begitu dekat dengan Idul Fitri). Istilah ‘kemenangan’ yang selalu hadir usai ramadhan, semoga bukan karena kita tidak bisa menunjukan ‘kemenangan’ yang kasad mata.
Rindu rasanya untuk merasakan “Kemenangan” yang sesungguhnya. Kemenangan yang tidak diukur per individu, tapi bisa dinikmati secara kolosal oleh semua anak bangsa.
Bilakah saat itu tiba? Saat dimana ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, bisa berefek sosial, tak hanya sebatas kata-kata normatif belaka. Mampukan kita meraih ‘kemenangan’ itu? Semoga!