Mohon tunggu...
Ibrohim Abdul Halim
Ibrohim Abdul Halim Mohon Tunggu... Konsultan - Mengamati Kebijakan Publik

personal blog: ibrohimhalim.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masa Depan Penanggulangan Bencana di Indonesia

14 Mei 2020   22:08 Diperbarui: 14 Mei 2020   22:30 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bencana datang silih berganti ke Indonesia. Namun, masalah yang dihadapi masihlah tetap sama: buruknya koordinasi antar-lembaga. Di masa pandemi Covid-19, keburukan itu makin terang-benderang, dan agaknya harus segera diselesaikan.

Rezim penanggulangan bencana saat ini menggunakan UU No. 24 tahun 2007. Pada waktu itu, masalah utama dari Penanggulangan Bencana adalah tidak adanya badan khusus yang mengatur masalah ini, karena sebelumnya yang dibentuk hanyalah badan koordinasi. Sehingga inti dari UU 24/2007 adalah membangun legalisasi lembaga dan budgeting, yang kemudian diresmikan tahun 2008 dengan Perpres 8/2008 berupa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Namun, seiring berjalan waktu, kehadiran BNPB saja tidaklah cukup. Masalah yang dihadapi adalah koordinasi antara BNPB dan unsur lain seperti Pemda, TNI, dan Polri, yang dalam kejadian bencana seringkali memiliki agenda terpisah. Selain itu terdapat juga masalah alokasi anggaran dalam penanganan bencana antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tak jarang lempar tanggung jawab, sehingga azas kecepatan dalam penanggulangan bencana tidak dapat terpenuhi. Padahal, dalam situasi mendesak seperti bencana, azas kecepatan sangatlah diperlukan.

Oleh karena itu, Rezim UU 24/2007 yang telah berkontribusi dengan melahirkan BNPB, saat ini tidak lagi cukup. Kabar baiknya, DPR-RI sedang membahas RUU Penanggulangan Bencana, yang dimasukkan sebagai RUU Prioritas 2020 dan sedang dalam tahap Harmonisasi Badan Legislasi. Untuk itu, ada beberapa catatan penting.

Yang pertama, RUU Penanggulangan Bencana haruslah menguatkan fungsi kelembagaan dari BNPB, karena hanya dengan cara ini pola koordinasi satu komando dalam penanggulangan bencana bisa tercapai. Proses birokrasi harus dipangkas melalui pembentukan satuan kerja daerah, sehingga nantinya tim satuan kerja tersebut yang secara definitif bekerja dan berkoordinasi ketika terjadi bencana. Adapun unsur lain seperti TNI dan Polri harus berada dalam posisi "dikerahkan" oleh Satuan Kerja tersebut.

Yang kedua, penguatan kelembagaan akan terasa percuma jika tidak ada kejelasan dalam penetapan status bencana. Oleh karena itu, penetapan status bencana harus didefinisikan dengan baik, berisi indikator yang menyertainya dan pihak yang harus bertanggung jawab, mulai dari bencana daerah, bencana provinsi, maupun bencana nasional. Jenis bencana juga perlu ditambah mengingat ada beberapa jenis bencana yang tidak masuk dalam UU 24/2007, seperti iklim ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran kawasan pemukiman, dan kerusuhan sosial.

Yang ketiga, RUU Penanggulangan Bencana harus mencakup kepastian anggaran berupa mandatory spending, baik oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Hal ini sangat penting mengingat tren bencana yang selalu naik, sehingga tidak bisa sekedar mengandalkan dana sisa. Pemerintah Pusat dalam hal ini sudah cukup baik dengan menyiapkan dana on-call yang dipegang oleh Bendahara Negara dan bisa dicairkan oleh BNPB sewaktu ada bencana, namun itu tidaklah cukup mengingat dana on-call per tahun hanya di kisaran Rp 5-7 Triliun, sementara kerugian akibat bencana bisa mencapai minimal Rp 25-30 Triliun per tahun. Selain aspek anggaran, aspek meminimalisir kerugian juga harus ada, di antaranya dengan menyiapkan asuransi bagi aset Pemda dan penerapan dokumen risiko bencana untuk setiap pembangunan dengan risiko tinggi di kawasan bencana (harus  memiliki kekuatan "memaksa untuk membatalkan").

Pada akhirnya, kehadiran bencana memang bukan di tangan manusia, tapi penanganannya harus berada dalam usaha maksimal. Dengan penanganan yang baik, dampak negatif yang dihasilkan mungkin bisa dikurangi, dan korban jiwa yang terjadi harus diupayakan nol atau mendekati nol. Karena nyawa manusia bukan sekedar statistik di kertas hampa. Ia adalah sesuatu yang hidup, dan memberi arti bagi orang-orang di sekitarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun