Pernyataan Wakil Menteri Sosial (Merdeka, 18 Juni 2025) Â menyebut bahwa "kalau orang tuanya miskin, anaknya sudah dipastikan miskin" sempat mengundang pro dan kontra. Banyak yang menyayangkan pernyataan tersebut karena dianggap pesimistis dan melemahkan semangat perubahan. Padahal, di tengah upaya besar menekan angka kemiskinan, semangat optimisme dan kepercayaan terhadap masa depan anak-anak bangsa justru harus diperkuat.
Kemiskinan memang nyata. Tapi menjadikannya sebagai takdir yang diwariskan tanpa syarat adalah narasi berbahaya. Anak-anak dari keluarga miskin bukanlah generasi yang pasti gagal. Mereka hanya butuh kesempatan yang adil, lingkungan yang mendukung, serta negara yang benar-benar hadir memberi jalan keluar.
Miskin Itu Masalah, Bukan Takdir
Hingga Maret 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada lebih dari 25 juta warga Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah tertinggal, terpencil, atau padat kota besar. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi ini menghadapi tantangan ganda: ekonomi keluarga yang terbatas dan akses layanan dasar yang jauh dari memadai.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa kemiskinan bisa diputus. Banyak tokoh publik, pemimpin muda, wirausaha sukses, hingga pejabat tinggi yang dulunya berasal dari keluarga sederhana. Mereka membuktikan bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya.
Data dari Bank Dunia bahkan menyebutkan bahwa dengan dukungan pendidikan yang merata dan perlindungan sosial yang tepat sasaran, peluang mobilitas sosial alias naik kelas ekonomi semakin terbuka. Anak dari keluarga miskin bisa memiliki masa depan yang lebih baik asalkan diberi akses dan kepercayaan.
Pendidikan Jalan Keluar dari Kemiskinan
Pendidikan menjadi kunci utama dalam memutus rantai kemiskinan antar generasi. Anak-anak dari keluarga miskin yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi memiliki peluang kerja dan penghasilan yang jauh lebih baik dibanding yang hanya tamat SMP atau SMA.
Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), serta bantuan beasiswa lainnya sudah cukup membantu. Namun masih banyak pekerjaan rumah. Di lapangan, anak-anak dari keluarga miskin masih menghadapi keterbatasan akses: sekolah yang jauh, fasilitas yang kurang, atau biaya tak langsung seperti transportasi dan seragam yang tak sanggup mereka tanggung.
Di sinilah peran pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Membangun ekosistem pendidikan yang adil, aman, dan memberdayakan bisa menjadi langkah besar. Pendidikan harus tidak hanya murah, tapi juga berkualitas dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Bantuan Sosial Menuju Pemberdayaan
Program bantuan sosial seperti PKH dan BLT selama ini cukup membantu daya beli masyarakat miskin. Tapi jika hanya berhenti pada bantuan, maka efeknya tidak akan jangka panjang. Yang dibutuhkan adalah program pemberdayaan.
Contohnya, pelatihan keterampilan untuk ibu rumah tangga, pendampingan usaha mikro, atau pelatihan kerja bagi pemuda putus sekolah. Pendekatan ini bukan hanya memberi makan hari ini, tapi juga memberi alat untuk mencari makan di masa depan.
Beberapa daerah sudah mulai menerapkan hal ini. Di Banyuwangi ada program pelatihan wirausaha berbasis desa mulai menjangkau keluarga-keluarga prasejahtera. Di Nusa Tenggara Timur, sekolah asrama berbasis komunitas tumbuh menjadi harapan baru anak-anak miskin di daerah perbatasan.
Membangun Lingkungan Anak Bertumbuh
Anak-anak dari keluarga miskin sering tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan: keterbatasan ekonomi, konflik keluarga, hingga lingkungan sosial yang tidak sehat. Maka, pendekatan yang hanya berfokus pada anak saja tidak cukup. Keluarga dan lingkungan sekitar juga harus dibenahi.
Misalnya, memperkuat peran guru dan sekolah sebagai pusat bimbingan karakter. Atau membentuk forum komunitas di tingkat RW dan desa yang menjadi ruang aman anak-anak berekspresi dan belajar. Organisasi keagamaan dan komunitas lokal bisa terlibat aktif memberi motivasi dan pembinaan.
Anak-anak ini butuh lingkungan yang memberi harapan, bukan menambah beban. Ketika mereka tumbuh dengan rasa percaya diri dan dukungan sosial, maka mereka akan lebih siap menata masa depan mereka sendiri.
Kita boleh saja bicara data dan realitas, tapi jangan sampai kehilangan harapan. Anak-anak dari keluarga miskin bukan pewaris kemiskinan, mereka pewaris semangat bertahan hidup. Tugas negara dan masyarakat adalah memastikan mereka mendapat kesempatan yang setara.
Alih-alih mengatakan "anak miskin pasti miskin", mari kita ubah narasi itu menjadi "anak siapa pun berhak sukses". Dengan pendidikan yang adil, bantuan sosial yang memberdayakan, dan lingkungan yang positif, anak-anak dari keluarga miskin bisa menjadi generasi unggul yang membawa perubahan.
Mereka bukan beban, mereka adalah potensi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI