Bayangan sosok wanita yang telah melahirkannya enam belas tahun lalu itu kini hadir. Duduk bersandar pada anyaman bale yang terbuat dari bambu. Dalam pangkuannya, tertidur pulas seekor kucing berbulu putih dengan bercak hitam diujung ekornya, 'Moli 'namanya. Seekor kucing yang telah dirawatnya sejak kecil. Semuanya nampak begitu nyata.
"Ibuuuuu... !" Ia meratap. " maafkan aku, Ibuuuuu ... !"
Terisak-isak. Bulir-bulir air mata mengalir deras, berderai membanjiri setiap inci wajahnya. Tak ada yang bisa diperbuat, hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua mata yang terpejam--penuh penyesalan.
"Eh, malah mewek ... !"
Pria berkumis tebal melintang itu kian meradang. Bola matanya terbelalak, merah padam mukanya seperti kerasukan. Secepat kilat tangan kekarnya meraih rambut lurus sebahu itu lalu menyeretnya, membuat tubuh mungil itu hilang keseimbangan. Gadis itu pun tersungkur, menyusur tanah.
"Cepet! Balik...!"  Bentaknya bengis. Tangan kanan yang  terlukis gambar Jangkar yang terlilit Bunga Mawar itu mengayun di udara, menunjuk ke arah sebuah bangunan.
"Buruan ... !"
Gadis malang itu mencoba berdiri dengan sisa-sisa tenaga, lalu mengusap air mata dengan kedua punggung tangannya. Ia melangkah dengan gontai, tertatih-tatih menapaki tiap jengkal takdir yang sudah ditetapkan menjadi garis hidupnya.
Sepuluh menit begitu cepat berlalu. Angga masih terpaku, mematung ditempat yang sama. Ia bergegas memarkir sepeda motornya, lantas melepas helm yang melekat dikepala. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang--mengamati sekeliling. Terlihat normal, seperti sedang tidak terjadi sesuatu.
"Aneh! tidak ada satu orang pun yang mencoba melerai" bisik hati kecilnya.
Orang-orang disekitarnya terlihat acuh tak acuh. Mereka terlalu disibukan oleh urusan perutnya masing-masing.