Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Milenial Menabunglah, atau Kamu Ingin Tidur di Warung Kopi?

7 Juli 2019   18:37 Diperbarui: 7 Juli 2019   22:53 1597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi milenial | Gambar hasil olahan pribadi dari Pixabay

Generasi pekerja milenial punya label 'miring': pemalas, tidak loyal atau kutu loncat, narsis atau hanya mementingkan diri sendiri, dan candu teknologi. Sementara di berbagai negara, termasuk Indonesia, pekerja Millenial perlahan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Menurut survei yang dilakukan oleh JobStreet, sebesar 66 persen generasi milenial gemar berpindah kerja kurang dari dua tahun. Sebab musababnya, mereka hidup di tengah era teknologi dan lebih mahir menggunakannya ketimbang generasi sebelumnya. Sehingga mereka lebih dapat banyak mengakses mencari informasi.

Tak cuma masalah loyalitas, survei National Institutes of Health juga menyebutkan, tingkat narsis milenial pada tahun 2009 melonjak hingga 58 persen dibandingkan tahun 1982. Sudah gitu, 40 persen milenial merasa dirinya mesti naik jabatan dua tahun sekali, tanpa harus menghasilkan prestasi. Sudah tak loyal narsis pula.

Tapi benarkah sekonyol itu?

Perusahaan konsultan Human Resource asal Amerika, ManpowerGroup, seperti dilansir Tirto.id (2017), mencoba menjawab dengan melakukan riset mendalam. Riset tersebut menggunakan metode kuantitatif dan dilakukan di 25 negara dengan melibatkan 19.000 milenial (berusia 20 hingga 34 tahun).

Hasil riset mengejutkan. Semua tudingan 'miring' tentang milenial terbantahkan. Misalnya, 12 persen milenial di Amerika dan Inggris mengira akan bekerja sampai mati.

Kemudian di China sebanyak 18 persen berpendapat serupa. Sedangkan di Jepang (ini jumlah tertinggi) sebanyak 37 persen memperkirakan akan bekerja sampai mati. (Gas pol!)

Untuk usia pensiun, 27 persen para milenial akan berhenti bekerja hingga 70 tahun.

Dari sisi jam kerja, 73 persen milenial bekerja 40 jam seminggu, dan sisanya bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Lalu sebanyak 26 persen di antaranya bekerja lebih dari satu pekerjaan.

Dalam riset itu juga terungkap, 93 persen milenial melihat bekerja sebagai proses pengembangan diri. Dan menganggap pengembangan kemampuan diri sebagai investasi penting dalam karier.

Menariknya, para milenial bersedia membayar mahal dan memberi waktu lebih banyak lagi demi menguasai kemampuan baru.

Dalam hasil survei lain, yang dilakukan JobStreet, milenial sangat memperhatikan keuntungan bekerja di sebuah perusahaan yang akan dilamarnya. Misal, fasilitas atau kenyamanan bekerja.

Milenial juga memang menginginkan gaji yang tinggi, tetapi, di sisi lain, mereka juga ingin tempat bekerja yang menyediakan pelatihan dan pengembangan diri bagi karyawannya. Bahkan, milenial tidak peduli dengan embel-embel perusahaan asing, di mana cukup menjadi kebanggaan bagi generasi sebelumnya.

Menabunglah, milenial!
Riset ManpowerGroup sudah menjawab keraguan atas apa yang sering disematkan kepada milenial. Namun, bukan berarti milenial tidak punya catatan.

Dalam gaya hidup milenial kerap dilabeli memiliki konsumtif (kalau terlalu berlebihan menggunakan hedonis) ketimbang generasi sebelumnya. Bisa jadi itu juga merujuk apa yang sempat disinggung sebelumnya, milenial lebih narsis!

Itu terlihat dari sebuah laporan jajak pendapat melalui aplikasi Acorns, hampir setengah generasi milenial menghamburkan uangnya untuk ngopi.

Survei yang dilakukan Acorns bernama "Money Matters" ini mengamati lebih kepada kebiasaan pengeluaran lebih dari 1,900 milenial berusia 18 hingga 35 tahun, laki-laki dan perempuan. Dari hasil itu, rupanya perempuan cenderung lebih boros.

"Angka tersebut 10 persen lebih besar daripada laki-laki," kata Acorns, seperti dikutip Vice Indonesia.

Ngopi di warung kopi bareng temen ngalor-ngidul melepas penat, emang asik, sih. Tapi coba mulailah berpikir untuk menabung dan berinvestasi.

Kenapa?

Sebuah penelitian Resolution Fondation menemukan fakta bahwa pendapatan generasi milenial sebenarnya lebih rendah dari generasi sebelumnya. Sekaligus menjadikan kalian generasi pertama yang berpenghasilan lebih rendah dari generasi sebelumnya. Eaaa...

Di balik itu, ini yang paling bikin ngeri, ada ancaman laten yang mesti disadari oleh para milenial, yakni berupa ketidaksanggupann milenial untuk memiliki rumah sendiri dari jerih payah mereka.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan World Bank, harga properti di Indonesia saat ini lebih 'akrab' untuk penduduk dengan penghasilan Rp 12 juta ke atas.

(Terus, gaji kamu berapa? ... Resign, gih)

Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung menyoroti kemampuan membeli rumah untuk generasi milenial atau generasi muda di Jakarta. Penghasilan milenial yang masih berkutat di level bawah kelas menengah--46 persen generasi milenial di Jakarta penghasilannya masih di bawah Rp 4 juta---terancam tidak sanggup membeli rumah.

"Ini membuat milenial yang berpenghasilan Rp 4 juta terancam akan kehilangan daya beli rumah," kata Ignatius seperti dikutip Detik.com (2017).

Riset ManpowerGroup di atas menjadi gambaran, generasi milenial di dunia kerja. Hanya saja tinggal bagaimana meningkatkan kesadaran dari pentingnya menabung, mengingat adanya ancaman laten yang mengintai: kehilangan daya beli rumah.

Emang mau tidur di warung kopi?

(2017)

**

sumber lainnya: BBC, CNN Indonesia, Bisnis Indonesia, Delloitte

***

Tulisan ini sudah digubah ulang penulis dan pernah dimuat di blog pribadi dan sebuah situs lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun