Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Skandal dan Kiper Separuh Cacat, Kisah di Balik Brasil Juara Piala Dunia 2002

2 Juli 2019   06:05 Diperbarui: 2 Juli 2019   06:43 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebrasi Ronaldo di Piala Dunia 2002 | source: Goal.com/Getty Images

Di pinggir lapangan para pengisi bangku cadangan tampak tengah sibuk mengikat-ikat kain berlambang kebesaran negara Brasil di punggung. Wajah mereka tampak semringah. Mata mereka memancarkan kebahagiaan yang meletup-letup. Ledakan gembira pun meletus seiring dengan tiupan peluit akhir Pierluigi Colina dalam laga final Piala Dunia 2002 yang mempertemukan Brasil vs Jerman, 30 Juni 2002 silam.

69 ribu lebih penonton di Stadion Internasional Yokohama, Yokohama, Jepang, menitihkan air mata. Baik bagi para pendukung Jermanmaupun Brasil. Mereka tak kuasa menahan haru.

Lagu kebangsaan Brasil lirih terdengar dari mulut pendukung juga jajaran pemain dan pelatih. Maklum, empat tahun terlalu lama untuk mereka nanti momen ini---sebelumnya Brasil kandas di Paris pada Final Piala Dunia 1998.

Kepala setengah botak Luiz Felipe Scolari ramai diusap jajaran asisten pelatihnya. Para pemain seperti Rivaldo, Kleberson, Roberto Carlos, dan sang kapten Marcos Cafu lari tak jelas arah merayakan kegembiraan. Hanya Ronaldinho terlihat lebih kalem dengan senyumannya yang khas.

Ronaldo, lebih kegirangan lagi. Ia tampak lebih riang dari pemain lainnya. Orgasme terpancar dari wajahnya.

Di sisi lain, hasratnya untuk membuktikan kepada publik atas reputasinya sebagai penyerang paling produktif seantero bumi tersalurkan: berhasil membuat Oliver Kahn dua kali memungut bola di gawangnya sendiri---selanjutnya dibuktikan sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan delapan di ajang itu. Ia pun melunasi utangnya setelah apa yang terjadi di Final Piala Dunia 1998.

11 Juli 1998, ketika itu, mungkin menjadi malam yang tidak ingin dikenang Ronaldo. Malam itu ia terserang gejala aneh. Di kamar hotel ia meracau tak karuan. Badannya kejang-kejang. Roberto Carlos yang berada tak jauh berteriak sekencang-kencangnya minta tolong. Tim medis timnas Brasil memvonis Ronaldo tidak akan tampil.

Belakangan banyak menilai peristiwa itu adalah bagian dari konspirasi, yang menyudutkan timnas Brasil sendiri dan FIFA.

Kabarnya, Brasil 'menjual' pertandingan kepada FIFA dengan imbalan uang dan kemudahan meraih gelar di 2002.

12 Juli 1998, tepat pada pergeralaran pertandingan final, secara mengejutkan Ronaldo masuk ke dalam skuat utama. Rupanya, 1 jam sebelum final, ia dibawa ke klinik terdekat dan dinyatakan boleh bermain.

Namun ada juga yang mengatakan, tampilnya Ronaldo buah dari tekanan dari pihak sponsor, Nike, untuk memaksa memainkan Ronaldo agar menyaingi kompetitor mereka, Adidas, yang melekat di kaki Zinedine Zidane.

Gejala aneh yang menyerang Ronaldo malam sebelumnya memengaruhi performa Il Maestro (julukan Ronaldo). Liak-liuk tubuhnya yang biasanya licin, tak tampak. Gesitnya Ronaldo kala mencari posisi atau membuka ruang hanya tinggal angan. Para penonton dibuat tak percaya dan berharap ini hanya mimpi. Malam itu nyata mereka saksikan: pertandingan antiklimaks, tak lebih dari pertarungan antara ayam sakit dan ayam jantan.

Sehari setelah mimpi buruk itu, dilaporkan Daily Mail, skuat Brasil mengadakan makan siang di pinggir kota Paris. Sepulang dari makan siang itu, Ronaldo mencurahkan segenap perasaannya kepada Edmundo. Ia mengaku tak kuasa menahan beban harapan rakyat Brasil. Ronaldo, yang ketika itu masih berusia 21 tahun, menangis sejadi-jadinya dan kembali kejang-kejang di kamar hotel.

"Saya melihatnya waktu itu, dan merasa putus asa sekali," ujar Edmundo seperti dikutip Eurosport.

Wajar rasanya bila Ronaldo begitu antusias melakukan selebrasi usai pertandingan. Ia telah melepaskan beban berat atas kekecawaan rakyat Brasil yang selama ini menghantu dipikirannya, juga kehidupan sehari-harinya.

"Ronaldo telah menegaskan kembali statusnya sebagai pemain terbaik di dunia," kata Ian Wright, usai melihat laga itu, mengutip BBC. "Ronaldo telah bekerja sangat keras untuk mencapai final dan ia telah membuktikan semua orang salah."

Selain Ronaldo, yang tak mampu menahan kebahagiaan, adalah kiper Brasil, Marcos Roberto Silveira Reis. Ia berteriak sekencang-kencangnya di bawah mistar gawang setelah peluit tanda usai pertandingan berbunyi, sebelum kemudian berlarian ke tengah lapangan tanpa tujuan---sesekali berhenti untuk meluapkan kegembiraan.

Marcos di Piala Dunia 2002 | source: ogramadoemquealutaoaguarda.files.wordpress.com
Marcos di Piala Dunia 2002 | source: ogramadoemquealutaoaguarda.files.wordpress.com
Seperti Ronaldo, melihat ekspresi Marcos adalah wajar. Sepanjang turnamen, Marcos berjuang dengan luar biasa melawan rasa sakitnya. Dan ia pun sebenarnya hampir gagal membela Brasil, andai ia jujur kepada Scolari.

Disinggung Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam bukunya berjudul Soccernomics, usai Piala Dunia 2002, konon, Marcos pernah mendapat tawaran dari seorang manajer untuk membela klubnya---tak disebutkan nama manajer dan klub tersebut. Dan Marcos tertarik.

Marcos, yang selama kariernya hanya membela satu klub saja, Palmeiras, kemudian mengunjungi klub tersebut dan menjalankan serangkaian tes medis.

Meski hasilnya tidak terlalu mengesankan, sang manajer tetap menaruh minat kepada Marcos. Manajer tersebut punya anggapan sendiri: Marcos adalah seorang juara dunia! Kontrak pun disodorkan sang manajer.

Namun semua berubah total. Keesokan harinya, sang manajer yang begitu berminat atas jasa Marcos dibangunkan dari tidurnya oleh dering telepon.

Panggilan itu datang dari agen Marcos dan mengatakan, "Sayang sekali, Marcos harus batal menandatangani kontrak yang Anda tawarkan," ucap agen Marcos.

Sang manajer tak bisa menolak, namun butuh alasan. Si Agen mengungkapkan, Marcos sebenarnya menderita patah pergelangan tangan sejak lama. Cedera itu juga sebenarnya tak pernah pulih. Namun Marcos memaksakan dirinya tetap bermain, bahkan sepanjang turnamen Piala Dunia 2002.

Di ajang itu, agen Marcos menceritakan, ketika Luiz Felipe Scolari ditunjuk sebagai pelatih kepala Brasil dan memasukkan Marcos ke dalam tim, dan Marcos lantas begitu saja menerima panggilan itu dan berangkat ke Korsel dan Jepang. Meski nyatanya di sepanjang turnamen Marcos amat sangat menderita.

"Ia bahkan hampir tak sanggup mengikuti latihan. Di dalam pertandingan, menangkap bola pun ia hampir tak sanggup," kata agen Marcos.

Setiap hari Marcos selalu mengeluh, "Saya harus memberi tahu Scolari tentang kondisi ini," tutur agen Marcos menirukan kiper kelahiran 1973 itu.

Akan tetapi, Marcos lebih memilih bungkam. Kondisi itu urung ia ceritakan. Ia ingin menjawab kepercayaan Scolari.

Dan siapa sangka, perjuangannya yang nyaris tak terukir sejarah itu berbuah manis: pada akhirnya Brasil juara Piala Dunia 2002 dengan penjaga gawang yang setengah cacat.

sumber: Dailymail, BBC, Eurosport, Soccernomics

***

Tulisan ini sudah pernah dimuat di blog pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun