Kepicikan kita semakin hari semakin mengharukan, mulai dari saling menipu, menindas bahkan menumpahkan darah menjadi tontonan unik bagi masyatakat asing. Kita saling sibuk mencari kesalahan, kelemahan serta kekurangan, selalu sibuk dengan urasan-urusan yang semestinya tidak perlu di urus.
Kita Picik, saking piciknya kita lupa akan apa yang sedang dirancang asing untuk kita. Picik menghujat dan terlena dengan pujian negeri kita itu subur, kaya dan melimpah ruah.
Dengan begitu kita selalu bangga akan kekayaan alam, hasil bumi dan segala macam lainnya. Hingga suatu saat kita akan sadar dari kepicikan bahwa kita sedang kritis sumberdaya alam, kita sebenarnya miskin, dan terpuruk namun karna selalu di puji maka kita terlena.
Ijin-ijin tambang layaknya kebutuhan primer bagi bangsa asing, surat kepemilikan tanah menjadi rebutannya lantas apa yang kita miliki saat ini?
Sepotong tanah? Atau menjadi penduduk kolong langit?, pengemis?. Bung !, Stoplah menjadi orang yang picik, mulailah berpikir tentang arah bangsa, mulai berpikir tentang keutuhan bangsa dan mulailah berpikir tentang kehidupan kita dimasa mendatang. Ini tanah kita bukan?, rumah kita?, disini terbaring ribuan bahkan jutaan jasad para pejuang, yang mungkin diantara mereka terbaring leluhurmu. Lantas haruskan kita merelakan tanah ini di kuasai asing?
 Bung Stoplah mencari kesalahan orang lain, mari kita mulai membenah diri seraya mengharapkan masa depan bangsa yang lebih baik.
Oleh : Ibnu Rusid, S.Pd