Mohon tunggu...
Ibnu Budiman
Ibnu Budiman Mohon Tunggu... Konsultan - Earts

Environment, sustainability, arts

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pikiran Malam Takbiran: Keyakinan dan Kebenaran

4 Juni 2019   16:08 Diperbarui: 4 Juni 2019   16:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Besok mungkin adalah Idul Fitri ke 28-ku dan di beberapa tahun terakhir: perayaan hari H nya selalu tak bersama keluarga kandung. Hal ini kadang membuat ritual Ramadan dan Idul Fitri menjadi berbeda karena aroma silaturahmi yang tak sama. Mungkinkah ritual-ritual ini lebih berbau kultural? Tapi kadang ku juga takjub dengan semangat ibadah (dunia akhirat) orang-orang di bulan Ramadan. Di titik ini, ku melihat konfigurasi multi dimensi dari agama: spiritual, sosio-kultural, ekonomi (zakat), dan lingkungan (responsible consumption-should be).

Tapi sayang, tak banyak yang melanjutkan semangat Ramadan pasca lebaran. Giat ibadah, berbagi, dan menjaga konsumsi-semua kembali pada business as usual di sebelas bulan berikutnya.

Sekian tahun ber-Islam, di 2016 ku meraih puncak kesadaran bahwa Islam hanya 'salah satu' guide for sustainable life. Di Vietnam saat itu, usai berkenalan di tempat wisata, seorang teman dari Jerman bertanya, "so you are raised by your parents as muslim?". Yes, I am.

Pertanyaan tersebut terus terngiang hingga sekarang dan mengingatkanku pada sejumlah titik di perjalanan spiritualku.

--

Lahir dan besar di Minangkabau ayal membuatku dibalut sarung dan tembok keislaman. Saat berusia sepuluh tahun, ku bahkan bercita cita sekolah ke Gontor, Kairo, hingga jadi Ulama. Hal ini tak lepas dari pengaruh sang ayah bersama Jamaah Tabligh.

Kendala ekonomi menggagalkan rencanaku ke Gontor, masa remaja pun akhirnya kembali ke sekolah konvensional. Namun di Sumbar-adat basandi syarak, sehingga Islam tetap menjadi benteng.

Masa merantau pun akhirnya tiba, kuliah ke ibu kota membuka wawasanku lebih lebar pada dunia, termasuk agama. Perkenalan pada Muhamadiyah, Nahdiyin, Islam liberal, sunni, syiah, atteis, agnostic membuka mata dan pikiranku menggali life diluar benteng Islam minangkabau. Rasanya terlalu prematur untuk merasa jadi yang paling benar, tanpa pernah mengenal ragam keyakinan atas semesta.

Semangatku belajar keyakinan berlanjut usai kuliah di Jakarta. Di Kanada, ku mencoba ikut ritual ibadah suku natif Mi'kmaq yang memanaskan diri di dalam pondok untuk berkomunikasi dengan spirit leluhurnya. Hal ini membuatku saat itu marah pada mereka yang biasa memberi label kafir pada non-muslim, tanpa tahu ragam upaya berbagai umat menuju Tuhan.

Di Kanada, ku juga diberi hadiah Bibel oleh seorang teman. Di dalam bibel, kubuktikan dari sejumlah kisah, himbauan dan pesannya yang serupa dengan Al Quran: berarti memang Christianity bersaudara dengan Islam sebagai agama samawi.

Pulang dari Kanada, perjalanan berlanjut. Program volunteer di Kanada mendekatkanku dengan teman Hindu. Disini ku mulai belajar tentang agamanya dan membaca Bhagavad Gita. Indian religion (Hindu, Budha) mengandung banyak sekali kearifan tentang filosofi kehidupan. Pemaknaanku terhadap kelompok keyakinan ini berlanjut sampai saat ku ditempatkan bekerja di Bali. Trihita Karana diamalkan dengan baik sampai ke generasi muda, menjaga hubungan baik manusia, Tuhan, dan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun