Maros, 10 Maret 2024
Hallo sahabat literasi, selamat berlibur, semoga sehat selalu. Kemarin saya melintas di jalan Makmur Daeng Sitakka, di dusun Bontojolong Kelurahan Boribelaya Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan.Â
Ternyata di daerah ini ada beberapa petak sawah yang petaninya sedang memanen gabah. Mesin pemotong padi lansung menjadi gabah, sekarang sedang ngetren. Para pemilik sawah jika ingin memanen padinya sudah jarang terlihat yang menggunakan alat tradisional (sampak) atau ani-ani dan atau sabit.Â
Kebanyakan kalau mau panen para petani memanggil pemilik mesin pemotong padi. Biasanya para pemilik mesin pemotong padi menjelang musim panen telah berkeliling dan menyiapkan mesin potong padinya di sekitar sawah yang mau panen padi (gabah).Â
Memang cara ini lebih praktis dan cepat. Coba bayangkan kalau satu hektar sawah bisa diselesaikan hanya sekitar 2 jam saja. Hasilnyapun telah berupa atau berbentuk karung gabah.Â
Biayanyapun juga lebih murah, 12 karung keluar satu karung. Jika dipotong manual menggunakan sampak dan atau sabit, biayanya 10 karung keluar 1 (satu) karung.Â
Cara ini sebenarnya menguntungkan pemilik sawah dan atau pekerja sawah. Tetapi bagi masyarakat yang dulunya sering mencari nafkah dengan buruh potong padi menggunakan sabit dan atau sampak, saat musim padi seperti ini mereka tidak lagi punya penghasilan.Â
Oleh karena itu bisa dikatakan teknologi bisa membawa pengangguran. Teknologi bisa menciptakan dan atau menambah jumlah kemiskinan. Orang yang memiliki mesin potong padi tambah kaya di musim panen.Â
Para buruh potong padi dengan alat tradisional banyak yang menganggur di musim potong padi. Biasanya mereka setiap musim padi ada penghasilan yang bisa cukup untuk makan sepanjang tanam padi dan atau sekitar 4 - 6 bulan tidak beli beras.Â
Namun sekarang mereka tidak punya gabah seperti biasanya, untuk cadangan pangan mereka. Untuk itu perlu dipikirkan lapangan kerja buat mereka di saat musim panen padi.Â