Mohon tunggu...
IB Arya Yoga
IB Arya Yoga Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Manajemen Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Ganesha

Pembelajar dan pengamat Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pariwisata Massal, Subak dan Bayang-Bayang Krisis Air di Bali: Antara Ancaman dan Harapan

22 Maret 2025   07:06 Diperbarui: 10 Februari 2025   21:11 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi atas Kekayaan Sumber Daya Air Pulau Bali dan Ancamannya (Sumber: Kompilasi dari berbagai sumber internet)

OPINI - Bali, pulau yang dikenal sebagai surga tropis, kini menghadapi ancaman serius dalam pengelolaan sumber daya air. Seiring dengan pertumbuhan industri pariwisata yang masif, jumlah penduduk yang meningkat, dan alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali, neraca air di Bali menunjukkan indikasi krisis yang semakin nyata. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Bali akan mengalami kelangkaan air yang berdampak besar bagi masyarakat dan lingkungan.

Konsumsi air di Bali terus meningkat seiring dengan pertumbuhan sektor pariwisata dan urbanisasi. Hotel-hotel, restoran, dan fasilitas wisata menggunakan air dalam jumlah besar, sementara ketersediaan air tanah semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlebihan. Akibatnya, intrusi air laut mulai terjadi, menyebabkan penurunan kualitas air tanah di beberapa daerah. Pada saat yang sama, alih fungsi lahan dari area pertanian dan hutan menjadi kawasan wisata serta pemukiman telah mengurangi daerah resapan air secara signifikan. Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan jumlah hotel dan peningkatan populasi menyebabkan peningkatan kebutuhan air yang jauh melebihi ketersediaannya.

Di tengah ancaman ini, sistem Subak sebagai warisan budaya dunia yang telah diakui UNESCO seharusnya menjadi solusi utama dalam pengelolaan air di Bali. Sistem irigasi tradisional ini telah terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem air di Bali selama berabad-abad. Namun, modernisasi dan ekspansi sektor pariwisata telah membuat sistem irigasi ini semakin terpinggirkan. Banyak lahan sawah yang dahulu menjadi bagian dari Subak kini beralih fungsi menjadi perumahan dan kawasan komersial. Menurunnya jumlah lahan pertanian berarti berkurangnya wilayah yang mampu menyerap dan menyimpan air secara alami.

Berdasarkan data terakhir yang dikeluarkan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2021, ketersediaan air di Bali kini mulai menyentuh ambang batas kritis yakni status cadangan air tidak berkelanjutan. Kebutuhan air untuk sektor domestik, industri, dan pertanian terus meningkat, sementara imbangan air dari sumber-sumber alam dan ekosistem alami tidak mampu mengimbangi konsumsi yang terus meningkat. Situasi ini diperparah oleh ancaman perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan menjadi semakin tidak menentu, mengakibatkan pasokan air yang fluktuatif sepanjang tahun.

Jika krisis air di Bali ingin dicegah, pengelolaan air yang lebih efektif harus segera diterapkan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam penggunaan air tanah, terutama di sektor industri dan pariwisata, serta menerapkan teknologi pengolahan air limbah dan pemanenan air hujan secara lebih luas. Konservasi daerah resapan air juga menjadi langkah krusial yang tidak bisa diabaikan. Hutan lindung dan lahan pertanian harus tetap dijaga agar siklus hidrologi tetap seimbang, sementara alih fungsi lahan yang tidak terkendali perlu dihentikan demi menjaga keseimbangan ekosistem air.

Selain itu, revitalisasi sistem Subak harus menjadi prioritas dalam strategi pengelolaan air di Bali dengan catatan memperhatikan prinsip-prinsip Nature Based Solution (NBS) dan nilai-nilai tradisional yang dijalankan oleh Subak sejak dulu mampu membawa keharmonisan dan keberlanjutan (sustainability). Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam memastikan keberlanjutan sistem irigasi ini, baik melalui pemberian insentif kepada petani maupun dalam bentuk dukungan teknis yang meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian. Pemilihan bentuk dukungan juga harus berhati-hati karena jika keliru justru dapat membuat petani menggantungkan dirinya kepada bantuan pemerintah. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi air juga harus ditingkatkan. Kampanye edukasi mengenai penghematan air harus digencarkan, terutama kepada wisatawan yang sering kali tidak memahami dampak konsumsi air yang berlebihan terhadap keseimbangan lingkungan Bali.

Krisis air di Bali bukan sekadar ancaman di masa depan, tetapi sudah mulai dirasakan saat ini. Jika tidak ada langkah konkret dan terkoordinasi, Bali bisa mengalami defisit air yang akan berdampak besar terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus diwujudkan demi memastikan ketersediaan air yang berkelanjutan. Menjaga air berarti menjaga masa depan Bali, seperti pada salah satu dari enam cara menjaga alam semesta yakni “Sad kerthi” yakni “Danu Kerthi” yang berarti menjaga dan melindungi sumber-sumber air dan saatnya kita semua bertindak sebelum terlambat.

Disclaimer: Artikel ini merupakan opini penulis yang didasarkan pada analisis kebijakan dan dampak lingkungan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perspektif kritis terhadap isu yang dibahas, tanpa bermaksud menuduh atau mencemarkan nama baik pihak tertentu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun