Mohon tunggu...
Ida Ayu Purnama Bestari
Ida Ayu Purnama Bestari Mohon Tunggu... Dosen (Universitas Pendidikan Ganesha)

Sedang belajar menulis konten - konten pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Batu Direbus Tetap Batu, Mengapa Guru Membutuhkan Filsafat Klasik?

12 Oktober 2025   09:52 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:07 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Guru itu profesi mulia," kata mereka. Tapi kenapa rasanya seperti jadi admin yang kebetulan mengajar? Ada perasaan seperti sedang merebus batu, berharap batu itu jadi empuk?

Jika Anda pernah merasa seperti itu, Anda tidak sendirian.

Membayangkan pekerjaan Guru yang sebenarnya. Ia datang ke sekolah dengan tumpukan administrasi yang harus diselesaikan. RPP, asesmen diagnostik, laporan capaian pembelajaran (CP), tujuan pembelajaran (TP), dan berbagai dokumen lain yang terus bertambah. Di kelas, ia dituntut menciptakan pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful kata-kata indah yang sering terdengar di pelatihan-pelatihan terkini, belum lagi pendidikan karakter. Sementara itu, murid-muridnya sibuk dengan ponsel, scroll media sosial, TikTok atau bertanya pada AI untuk mengerjakan tugas.

Di tengah semua itu, sang guru bertanya dalam hati "Sebenarnya, apa yang saya lakukan? Menjadi admin, Mengajar atau sekadar mengejar target?" Kita bertanya - tanya "bukankah Saya pedidik?"

Inilah potret pendidikan kita hari ini. Guru terhimpit antara tuntutan administratif, pendidikan karakter, ekspektasi pedagogis yang tinggi, dan realitas digital yang bergerak lebih cepat dibanding kemampuan kita beradaptasi. Pertanyaannya baru muncul  "Apa yang harus saya lakukan? Atau setidaknya, apakah yang saya lakukan sudah benar? atau apakah ada kompas lain selain panduan kurikulum yang bisa membantu agar tidak tersesat?

Saya percaya salah satu jawabannya ada pada filsafat pendidikan klasik. Filsafat ini bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi sebagai kerangka berpikir yang justru sangat relevan untuk zaman yang penuh tantangan ini.

Ketika Pendidikan Kehilangan Arah

Mari kita jujur. Banyak kebijakan pendidikan hari ini lahir dari kepanikan. Kepanikan karena skor PISA rendah. Kepanikan karena dunia kerja berubah cepat. Kepanikan karena negara lain sudah pakai kurikulum A, B, C. Maka lahirlah tumpukan dokumen, pelatihan demi pelatihan, dan jargon-jargon baru yang terdengar canggih tapi sering kali membingungkan di lapangan. Studi banding yang melahirkan kebijakan yang merombak kembali mindset yang sudah dibentuk dari kebijakan sebelumnya.

Guru diminta mengajar dengan "berpusat pada murid", tapi dibebani administrasi yang justru berpusat pada birokrasi. Guru diminta menciptakan pembelajaran bermakna, tapi waktu habis untuk mengisi format-format yang belum tentu dibaca siapa-siapa. Guru diminta memfasilitasi berpikir kritis, tapi murid-muridnya lebih percaya pada algoritma media sosial yang menyuapi informasi sesuai selera mereka. Kita diminta mendidik karakter mereka, namun mereka lebih mengidolakan influencer yang mereka follow di media sosial.

Di tengah semua ini, kita lupa satu pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya tujuan pendidikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun