"Guru itu profesi mulia," kata mereka. Tapi kenapa rasanya seperti jadi admin yang kebetulan mengajar? Ada perasaan seperti sedang merebus batu, berharap batu itu jadi empuk?
Jika Anda pernah merasa seperti itu, Anda tidak sendirian.
Membayangkan pekerjaan Guru yang sebenarnya. Ia datang ke sekolah dengan tumpukan administrasi yang harus diselesaikan. RPP, asesmen diagnostik, laporan capaian pembelajaran (CP), tujuan pembelajaran (TP), dan berbagai dokumen lain yang terus bertambah. Di kelas, ia dituntut menciptakan pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful kata-kata indah yang sering terdengar di pelatihan-pelatihan terkini, belum lagi pendidikan karakter. Sementara itu, murid-muridnya sibuk dengan ponsel, scroll media sosial, TikTok atau bertanya pada AI untuk mengerjakan tugas.
Di tengah semua itu, sang guru bertanya dalam hati "Sebenarnya, apa yang saya lakukan? Menjadi admin, Mengajar atau sekadar mengejar target?" Kita bertanya - tanya "bukankah Saya pedidik?"
Inilah potret pendidikan kita hari ini. Guru terhimpit antara tuntutan administratif, pendidikan karakter, ekspektasi pedagogis yang tinggi, dan realitas digital yang bergerak lebih cepat dibanding kemampuan kita beradaptasi. Pertanyaannya baru muncul  "Apa yang harus saya lakukan? Atau setidaknya, apakah yang saya lakukan sudah benar? atau apakah ada kompas lain selain panduan kurikulum yang bisa membantu agar tidak tersesat?
Saya percaya salah satu jawabannya ada pada filsafat pendidikan klasik. Filsafat ini bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi sebagai kerangka berpikir yang justru sangat relevan untuk zaman yang penuh tantangan ini.
Ketika Pendidikan Kehilangan Arah
Mari kita jujur. Banyak kebijakan pendidikan hari ini lahir dari kepanikan. Kepanikan karena skor PISA rendah. Kepanikan karena dunia kerja berubah cepat. Kepanikan karena negara lain sudah pakai kurikulum A, B, C. Maka lahirlah tumpukan dokumen, pelatihan demi pelatihan, dan jargon-jargon baru yang terdengar canggih tapi sering kali membingungkan di lapangan. Studi banding yang melahirkan kebijakan yang merombak kembali mindset yang sudah dibentuk dari kebijakan sebelumnya.
Guru diminta mengajar dengan "berpusat pada murid", tapi dibebani administrasi yang justru berpusat pada birokrasi. Guru diminta menciptakan pembelajaran bermakna, tapi waktu habis untuk mengisi format-format yang belum tentu dibaca siapa-siapa. Guru diminta memfasilitasi berpikir kritis, tapi murid-muridnya lebih percaya pada algoritma media sosial yang menyuapi informasi sesuai selera mereka. Kita diminta mendidik karakter mereka, namun mereka lebih mengidolakan influencer yang mereka follow di media sosial.
Di tengah semua ini, kita lupa satu pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya tujuan pendidikan?