Dari kesembilan belas wilayah hukum adat pokok itu, Bangka Belitung ada dalam urutan ketujuh; mulai dari 1. Aceh, 2. GayoAlas, Batak, 3.Minangkabau, 4.Sumsel, Jambi, 5.Malayu, 6.Dayak Raya, 7. Bangka Belitung, 8. Sunda, Jawa Barat, 9.Jawa Tengah, 10.Jawa Timur, 11.Bali,Lombok, 12.Sulawesi Selatan, 13.Toraja, 14.Gorontalo, 15. Plores, Timor, 16 Minahasa, Sanghitalaud. 17.Maluku Utara, 18. Maluku Selatan, 19.Irian Barat.
Sedangkan sub wilayah hukum adat adalah; Nias, Mentawai, Enggano, Madura, serta Makasar. Wilayah hukum adat pokok melayu masuk di urutan ke lima  meliputi; Malaka, Medan, Johor, Siak, Riau, Pontianak, dan Sambas.
      Wilayah hukum adat pokok itu menghimpun kesatuan yang kuat antar  suku-suku yang ada diwilayah tersebut dari sejak awal hingga kini, kesatuan suku-suku itu menempati wilayah itu di mana hukum adat itu berlaku. Hukum adat itu eksis karena adanya pemerintahan oleh raja, ia hadir dan tumbuh sejak zaman Keprabuan (Masa Hindu atau Budha) atau sejak zaman Kesultanan.
Bangka Belitung memiliki sistem kekuasaan atau pemerintahan yang menyatukan semua suku-suku itu, misalnya di Belitung memiliki kerajaan Balok yang berkuasa di seluruh wilayah kepulauan Belitung, berkuasa sejak abad enam belas hingga abad ke sembilan belas mulai Dari Cakraninggrat I tahun 1618 hingga Cakraninggrat IX 1873 dilanjutkan lagi ke tahun 1890. Sistem adat yang tumbuh dari kekuasaan raja ini yang kemudian melebur dalam sistem masyarakat adatnya oleh Belanda disebut Zelfbesturende landschappen.
Bagaimana sistem masyarakat adat di Bangka yang disebut dengan Volksgemeenschappen, tentulah Bangka  memiliki sistem hukum adat yang tumbuh dari pemimpin masyarakatnya yang menguasai wilayah masing-masing di Pulau Bangka,  di antaranya para Depati di daerah Jeruk, Tumenggung di Wilayah Mentok, Raden di wilayah Toboali, Demang di Kota Waringin, serta para Batin dan lain-lainnya.
Melayu Bangka Belitung
Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritasi yang solid. Agaknya bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa Melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Sumatera ke Malaka, tetapi bahasa Melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya, bahkan jauh sebelum itu.
Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya Melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.
Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.
Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah  melayu Jambi dan Palembang  dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah "melayu" Sumatera ini hingga dekade berikutnya.
Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Ki Bagus Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir bersamaan dikuasai oleh keluarga  Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya. Ronggo Udo si pendiri Kerajaan Balok mendapatkan sang putrinya hasil pernikahannya dengan dengan istri Nyi Ayu Tuning seorang putri Palembang sebelum Kesultanan Palembang berdiri.