Mohon tunggu...
Ian CK
Ian CK Mohon Tunggu... Editor - Poeta Viator

Ian CK, Ketua Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang (2019). Menerbitkan buku puisi perdannya berjudul "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia(Juni 2019."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Senyum Stefania

10 September 2019   16:50 Diperbarui: 11 September 2019   23:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Andre du Plessis -- Twitter: @KültürTava)

Maafkan aku Stefania harus membawa-bawa namamu dalam ruang imajinasi yang tak teramat luas. Maafkan mataku yang teramat suka menatap senyum di bibirmu.

***

Senja yang malu menjenguk aku dalam kesendirian yang mulai kesakitan. Ia mengarahkan mataku dan mengemas langkah demi langkah menuju ke Bukit Cinta untuk kesekian kalinya, sekadar menyaksikan tingkah bocah-bocah lucu berekspresi di hadapan kamera. 

Sebab sejak adanya, senja menjadi latar paling mewah bagi ekspresi anak manusia. Senja tak habis-habisnya menceritakan kenangan, disanalah aku biasa merenung merancang masa depan dengan tekun.

Aku tiba di kaki bukit dengan langkah yang terputus oleh pegal dan capai yang kuderita. Disinilah untuk pertama kalinya, aku bertemu gadis cantik yang senyumnya membekukan gerakku. 

Tidak pernah kulihat wajah secantik ini sebelumnya. Senyum itu siapakah yang membentuknya? Ditambah sedikit cuek dan diam yang alami, batinku seperti menggereget. Naluri kelelakianku dibuncah habis-habisan oleh sikapnya.

"Hay cantik, kamu masih ingat aku. Namaku Chris ?, ujarku seraya mengulurkan tangan. Tanda salam khas manusia. Aku sentak menemukan diri yang agresif. Gadis itu enggan menyambut tanganku. Mungkin kotor atau terlalu kekar. Dua-duanya. Perkenal tertunda. 

"Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Jangan sok akrab dehh mas", balas gadis itu memojokkan ke-pedean-ku. 

Benar, aku terpojok oleh rasa malu. Namun nyali tidak hilang, kekaguman tinggal tetap. "Lelaki tidak dilahirkan untuk menanggung rasa malu", suara parau dari dalam diri meneriakiku.

Percakapan kembali dimulai. "Kemarin aku melihat kamu selfi disini. Senyummu sungguh menawan. Aku tertawan olehnya. Aku suka gayamu berksperesi di hadapan kamera", ujarku dengan kalimat puitis yang berani. 

Matanya terbelalak kaget. Ia sejenak terdiam. Mungkin sedang menyusun kata-kata penyangkalan.

"Kamu salah orang mas, aku kemarin tidak kesini. Kamu kacau mas", sangkalnya dengan nada kecewa.

"Aku baik-baik saja. Lagian mataku masih jernih untuk melihat kecantikkanmu", ungkapku spontan memuji.

"Kamu ada-ada saja mas", balasnya dengan malu-malu. Senyumnya terukir rapi di diantara barisan putih giginya dan dua bibir yang dipoles sedikit memerah. Sikap kecutnya diawal perjumpaan telah dibuyarkan. Aku hampir memenangi pertemuan tak beralasan ini.  

Sebenarnya pertayaan-petanyaan itu hanya siasat purba yang sedang kupraktekkan agar bisa bercakap lebih lama dengan gadis cantik pemilik senyum manis itu. 

Nyatanya ia terjerumus dalam percakapanku yang tak teratur. Percakapan lelaki yang terpanggil oleh sebab kecantikan. Lebih dari itu aku jatuh cinta pada senyum gadis itu.

***

Aku tak pernah menanyakan namanya lagi setelah ia menolak salam pertama itu. Disetiap perjumpaan diikuti percakapan demi percakapan polos hampir usai, kegelisahan membisikkan sesuatu pada hati kecilku. 

Bahwa aku tergila-gila pada senyum yang dikekalkan pada wajah gadis itu. Aku tak berikhtiar membantah, sebab gerakku berbicara jujur tentangnya. 

Padahal senyuman itu biasa-biasa saja, sama seperti punya ibu dan nenekku. Entahlah mengapa semua tejadi senatural kegilaan ini. Aku tak mengerti. Mencoba mendefinisikan dengan cermat malah dianggap membatasi ingatan dan imajinasi. Maka kubiarkan saja ia meraja atas diri dan mungkin akan menciptakan kegilaan yang melankolis.

Aku melihat senyum itu luruh dari setangkai keyakinan yang ditanam di bibirnya. Jatuh begitu saja tanpa ada musim gugur. Karenanya aku berusaha dengan seluruh jiwa membaca senyum yang tertanggal dihadapan mata. 

Bertanya-tanya tentang senyum yang masih membekas di memori. Bahkan setiap malam sebelum ingatan dilebur mimpi, kudoakan senyum bibirnya merekah lagi sakral hingga pertemuan kami kelak. 

Doa itu berakhir dengan sebuah gerak ritual yang pernah diajarkan oleh kakek. Menepuk-nepuk bantal. Dan takl upa nasihat kakek untuk memejaman mata dengan mengingat secara utuh gadis itu. 

Meski primitif, ritual itu diyakini kakek bisa mengubah mimpi jadi kenyataan. Maka aku pun selalu berharap senyum itu mengabadi dalam mimpi dan nyata hidupku.

Malam itu ku ulangi ritual konyol kakek dengan intensi satu ciuman bersarang di lesung pipi gadis itu. Paginya aku terbangun dengan kekosongan yang menyedihkan. Tanpa mimpi. Tanpa cium. 

Aku malah menikmati kelucuan pagi dengan gema tawa memalukan. Lagi-lagi aku berfikir, inikah kegilaan yang sedang kupertontonkan pada diri? 

Gadis itu seperti mimpi yang mengapa tidak saja kutemui gadis-gadis kota yang cantik, merayu dengan kata-kata manis, lalu pergi merayakan cinta di kamar tidur. 

Bercumbu mesra sampai lupa mengapa bibir bersentuhan. Ini hanya obsesi khayalan yang nantinya akan rapuh. Sebenarnya aku lelaki penakut yang sama sekali belum pernah meyentuh bibir seorang gadis.

***

Senyum gadis itu terus memanggil jiwaku, memenjara khayalku hingga menyadarkan aku akan keuletan tangan Tuhan ketika melukis wajahnya dan memhembuskan senyuman manis. Senyumnya adalah senyuman Tuhan? Lalu apa mungkin Tuhan akan merestui doa konyolku ini? Bukan urusanku. Kurang atau lebih konyolnya sebuah doa, aku serahkan seluruhnya pada-Nya.

Memang kedengaran klise bagi mereka yang kaya akan senyuman. Namun tidak bagi aku yang sedang tergila-gila pada satu senyuman. Akan selalu baru senyum itu meski telah lama ditingalkan oleh tuannya. 

Sebab akulah yang merawat senyum itu agar tidak karatan atau sakit dengan kegilaan yang ku pilihara untuknnya. Aku selah menyandang satus lelaki penjaga senyum. 

Maka kuingatkan pada gadis itu dengan harapan paling sederhana agar suatu waktu entahlah di angka berapa ia datang menjenguk senyum yang ditinggalkann dimataku. Aku masih setia merawat senyum itu! Ia tidak mendengarku. Aku sedang asik berbicara dengan angan-angan.

Setiap pagi aku membawa senyuman itu untuk berkaca pada cermin. Melihat gambaran utuh yang menakjubkan mata. Tak lupa kuselipkan doa dan harapan untuk bertemu dengan tuannya suatu ketika. 

Mungkin dimusim panen. Ya kupikir dimusim itulah kesempatan baik bagiku untuk memanen lebih banyak senyum para gadis, menyembunyikan didalam ingatan dan menambah kegilaanku. 

Aneh-aneh saja. Itu hanya akan berujung pada sarkastis dari mulut tua-tua yang memerah penuh sirih pinang. Lalu apa urusanku dengan mereka? Haruskah aku membela kegilaanku yang egoistik atau biarkan kata-kata mereka meracuni senyuman ini. Dilema hati hanya karena gosip. "Aku ingin bertemu", ini jeritan kerinduan yang tak boleh jatuh.

Lama aku merawat senyum dalam hati, senyum itu malah menggelisahkan banyak hati. Ibu-ibu dan tanta-tante yang selalu asik mencari kutu ditiap siang makin ramai bergosip tentang senyum itu. Heboh. Bayangkan saja bila mulut-mulut mereka digabungkan untuk melecehkan satu senyum. 

Seperti susunan alfabetis yang tak pernah selesai. Demikian mereka menyusun cerita tentang aku. Tidak apa-apa. Akan begitu saja. Sebab sebenarnya mereka iri, senyuman mereka kalah menggoda. Tidak lagi laris terjual. Senyuman mereka ramah yang marah. Tidak sepolos, selembut dan sealami punya gadisku, punya ibu dan nenekku.

Semenjak kepulangannya di perjumpaan yang tak lagi ku rahasiakan, kegilaanku makin bertambah. Kerinduan bertumpuk menyesakkan isi dada. Aku tak lagi melafalkan rindu dengan benar. Semua perhatian bertumbuh dari senyum itu. Makin subur dan tak mampu kepetik kemanisannya. Sampai titik itu, pernah kuberfikir kegilaan pada senyuman gadis itu absurd. Tak bisa dipercaya.

Namun, karena senyum itu bertuankan diriku, aku tak peduli lagi pada omongan orang. Bertahan adalah satu-satunya cara agar senyum itu menyatu dengan senyumku. Tidak sampai disitu saja, agar senyum itu mengabadi, akan kutemui dia dan mencium bibirnya dengan lembut. 

Ya ciuman itulah yang kupikirkan sejak awal ketika percakapan usai dan kegilaanku mengaliri seluruh saraf tubuh. 

Ciuman itu yang kurindukan yang membuatku bertahan memelihara senyumnya meski ia menghilang seperti senja.

***

Gadis itu bernama Stefania. Kami bertemu di bukit cinta yang pernah kuceritakan dalam sebuah percakapan yang belum selesai. Kuulangi lagi kini demi mengenang perjumpaan kami yang melodramatis. 

Ia enggan melepaskan senyum dari bibirnya yang terlanjur kukeramatkan kepada Tuhan. Ia mengerti kegilaanku, maka setiap kali bertemu kami hanya merayakan kebisuan yang suci. Berbicara dengan bahasa cinta sederhana yang tak semua orang pahami. 

Senyum yang kukagumi, ciuman yang kuingingkan perlahan-lahan berubah jadi doa yang tak pernah diaminkan. Stefania, aku mencintai senyum dibibirmu. 

Akan kutanyakan pada Tuhan, mengapa senyum harus ada pada bibir? Aku selalu teringat katamu, "jika senyumku tidak diletakkan pada bibir, kamu akan permainkan bibirku sampai kesakitan".

The End

Biodata Penulis
Ian Ck adalah nama pena dari Ian Christian. Mahasiswa semester VI pada Fakutas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang-Nusa Tenggara Timur. Karena kecintaan pada Puisi dan cerpen, sekarang bergabung dengan Komunitas Sastra Filokalia Kota Kupang. Bisa ditemui melalui media sosial, Facebook: Ian Christian, E-Mail; ckali86@yahoo.com .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun