Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Mencari Kehangatan dalam Suhu Dingin Bawakaraeng

3 Agustus 2021   17:30 Diperbarui: 3 Agustus 2021   17:31 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto seorang pendaki berbincang dengan Tata Pani (dokpri)


Apa yang biasanya dilakukan di pagi hari? Pagi di hari ahad, senin, selasa, rabu, kamis, jum'at, sabtu, minggu, senin, selasa, dan seterusnya dan seterusnya. Makan kemudian lapar lagi, bangun tidur lalu berangkat ke tempat kerja atau ke sekolah hingga sore atau malam hari. Lalu tertidur lagi untuk mengistirahatkan tubuh serta pikiran yang akan bekerja di pagi hingga sore hari. Rutinitas sebagaimana orang orang normal lainnya.

Sebagian orang mungkin bisa menikmati konstruk yang sangat normal di era globalisasi seperti saat ini. Namun, sebagaian orang mungkin terasing pada ketentuan seperti itu.

Para ilmuwan sosial umumnya membagi kelas sosial menjadi 3 ; ruling class, middle class, dan working class.

Working class atau kelas pekerja sebagai hirarkis terbawah mendapat presentase paling banyak dengan jumlah sekitar 75%. Sebagai kelas yang termarginalkan dalam dunia kerja, biasanya kelas disini akan rentan mengalami kejenuhan baik secara fisik maupun psikis. Sebenarnya, menjadi sebuah kegalauan menempatkan pelajar ataupun mahasiswa dalam kelas ini. Karena pada dasarnya, mereka yang membayar dengan biaya yang cukup mahal atau sebagai pemilik modal namun masih dituntut tunduk pada rutinitas yang menjenuhkan.

Mungkin keresahan pada kejenuhan itu juga menjangkiti beberapa kawan mahasiswa yang tempo hari dipusingi dengan feedback yang mereka dapatkan dari membayar uang perkuliahan online di masa pandemi seperti saat ini. Juga mungkin sebagai resistensi perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang sudah kekar dalam dunia pendidikan.

Puncak Bawakaraeng menjadi hasil diskusi di meja bundar yang di permukaan meja itu tersedia secangkir kopi hitam tanpa gula, secangkir kopi susu, dan segelas susu putih yang manis rasanya, ditambah 10 biji gorengan yang didapat dari jajanan pedagang kaki lima. Secara ekonomi cukup sehat untuk ukuran dompet mahasiswa dan cukup untuk memutar roda perekonomian usaha mikro kecil menengah.

Puncak Bawakaraeng memang menjadi primadona di Sulawesi Selatan. Secara ekologis, menurut hasil wawancara yang didapat dari jurnal oleh Dian Mardyana Alam, gunung ini memiliki posisi yang penting karena menjadi sumber air utama bagi Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Sinjai.

Puncak Gunung ini berada pada ketinggian 2830 MDPL dan menempati posisi gunung tertinggi kelima di Provinsi Sulawesi Selatan setelah Gunung Latimojong 3440 MDPL, Gunung Tolangi Balease 3016 MDPL, Gunung Kambuno 2950 MDPL, dan Gunung Lompobattang 2871 MDPL.

Secara term bahasa Bawakaraeng diambil dari bahasa Makassar, bawa yang berarti mulut dan karaeng yang dapat diartikan sebagai puncak hirarkis tertinggi atau tuhan, dewa, dan sebagainya. Secara filosofis makna dari kata Bawakaraeng tersirat bahwa kehormatan seseorang terletak pada ucapannya (mulutnya). Dari Mulut Tuhan, Mulut Dewa, Mulut Raja, Mulut Yang Mulia, Mulut Yang Agung, pasti akan melahirkan perkataan yang mulia, agung, dan bermanfaat. Konon katanya penamaan ini berasal dari Belanda sekitaran tahun 1960-an, sebelumnya dikenal dengan Buttatoayya kurang lebih dapat berarti tanah tua.

Perjalanan ke Bawakaraeng dimulai selepas shalat Jum'at. Rumah panggung milik Tata Pani menjadi titik awal perjalanan itu yang kata seorang kawanku sebagai "pendakian menjual nyawa". Bagaimana tidak? Pendakian umumnya memakan waktu sehari penuh ini menuntut para pendaki untuk tetap berada pada konsnterasi penuh. Jalurnya yang dihiasi jurang yang cukup curam siap menelan siapa saja yang hilang fokus. Atau belum lagi, bebatuan pada jalur yang bisa kapan saja menimpa siapapun yang tidak berhati hati. Atau kisah kisah cuaca di Bawakaraeng yang begitu tidak bersahabat sehingga dapat menyebabkan hipotermia hingga kematian. Atau juga bumbu bumbu mistis yang selalu hadir dalam setiap gunung di Nusantara. Dan masih banyak tantangan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun