Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, dan Peneliti

Nicholas Martua Siagian merupakan seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Penerima Anugerah anugerah Talenta Riset dan Inovasi dari BRIN berdasarkan SK Deputi SDMIP BRIN Nomor 32/II/HK/2024. Seorang Alumnus Kebangsaan Lemhannas RI Tahun 2024 bagi Kader Pemimpin Muda Nasional (KPMN). Selain itu, juga aktif sebagai Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mencegah Kerugian Negara pada BUMD Melalui Pengawasan Kewenangan Kepala Daerah.

5 Juli 2023   18:08 Diperbarui: 20 Juni 2025   13:44 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nicholas Martua Siagian Narasumber Optimalisasi Peran Aparatur Pengawas Internal Pemerintah 2022

PENGAWASAN KEWENANGAN KEPALA DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT MELALUI PENGETATAN PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) DALAM RANGKA MENCEGAH TERJADINYA KERUGIAN NEGARA

Oleh: Nicholas Martua Siagian


PERMASALAHAN HUKUM 

Perusahaan Daerah merupakan suatu kesatuan produksi yang bersifat memberikan jasa,  menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memupuk pendapatan. Terminologi perusahaan daerah pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 

Tujuan awal didirikannya perusahaan daerah adalah untuk turut serta melaksanakan pembangunan Daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur. 

Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 secara filosofis adalah bahwa perlu diusahakan terlaksananya program umum Pemerintah dibidang ekonomi sebagaimana digariskan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 yang selanjutnya telah diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/1960 mengenai keharusan diadakannya reorganisasi dalam alat-alat produksi dan distribusi yang ditujukan ke arah pelaksanaan pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Seiring berjalannya dinamika pemerintahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tidak lagi dipergunakan secara keseluruhan sebagai dasar hukum perusahaan daerah, namun hanya digunakan sebagian saja. 

Terminologi perusahaan daerah juga mulai berubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Istilah Badan Usaha Milik Negara (BUMD) muncul ketika dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini diatur bahwa bentuk hukum BUMD dapat berupa Perusahaan Daerah atau Perseroan Terbatas. 

Badan Usaha Milik Negara (BUMD) yang berbentuk Perusahaan daerah tunduk pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang mengatur tentang Perusahaan Daerah, sedangkan BUMD yang berbentuk Perseroan Terbatas tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Pasca otonomi daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan hak kepada daerah untuk membentuk BUMD sebagai salah satu penggerak kegiatan otonomi daerah di daerahnya. 

Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip desentralisasi dalam Pemerintahan yang ditetapkan pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945), menghendaki agar daerah yang dibentuk itu dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya. Tiap-tiap daerah diberikan kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan pemerintahannya melalui otonomi daerah. Untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut, maka diperlukan sumber keuangan yang cukup dan kekuatan kepada daerah. 

Dalam pengelolaan BUMD, peran kepala daerah sangat strategi sebagaimana yang diatur dalam pasal 331 Undang-Undang Pemerintah Daerah, hal ini dikarenakan perannya selaku pemegang kekuasaan umum pengelolaan kepala daerah. 

Seiring berjalannya waktu, berdasarkan data statistik Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK. Sebanyak 274 BUMD mengalami kerugian, 291 BUMD sakit (rugi dan ekuitas negatif), 17 BUMD kekayaan perusahaannya lebih kecil daripada kewajibannya (ekuitas negatif), 186 BUMD memiliki posisi dewan pengawas dan komisaris yang lebih banyak daripada direksi, dan 60% BUMD tidak memiliki satuan pengawas internal. 

Padahal keberadaan BUMD dapat menjadi harapan Pemerintah Daerah dalam menunjang perekonomian daerah. Selain itu, bagian laba BUMD dapat juga digunakan dalam menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, permasalahan ini menjadi pertanyaan apakah keberadaan BUMD masih diperlukan atau tidak, atau apakah ada solusi lain sehingga pembentukan BUMD bisa tercapai sebagaimana yang menjadi tujuan awalnya.

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah

ANALISIS 

Permasalahan Regulasi Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak terlepas dari perkembangan kebijakan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Istilah BUMD baru dikenal dalam Peraturan Mendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum BUMD, dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini disebabkan pendirian dan pengaturan BUMD sampai saat ini masih tunduk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah secara yuridis masih berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang Undang Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yang menyatakan bahwa "pernyataan tidak berlakunya Undang-Undang yang tercantum dalam Lampiran III Undang-Undang ini ditetapkan pada saat Undang-Undang yang menggantikannya mulai berlaku."  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah masih berlaku sampai dengan disahkannya Undang-Undang penggantinya. 

Namun sampai saat ini belum ada Undang-Undang penggantinya, sedangkan materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah memiliki semangat berbeda dengan situasi dan kondisi sekarang. Oleh karena itu, dalam implementasinya Undang-Undang tersebut sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Dalam perjalanannya, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) masuk ke dalam salah satu materi Undang-Undang Pemerintah Daerah yakni dalam Bab XII mulai Pasal 331 Sampai Pasal 343. Saat ini dasar hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) melalui pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD yang mulai diberlakukan pada Desember 2017. Pengaturan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dari waktu ke waktu memang belum memberikan kondisi ideal bagi pengelolaannya, sebab Undang-Undang khusus tentang BUMD hingga kini belum terbentuk, hanya diatur secara parsial dalam materi pemerintahan daerah.  

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa  Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. Peraturan Pemerintah ini diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 331 ayat (6), Pasal 335 ayat (2), Pasal 336 ayat (5), Pasal 337 ayat (2), Pasal 338 ayat (4), Pasal 34O ayat (2), Pasal 342 ayat (3) dan Pasal 343 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan Usaha Milik Daerah. Oleh karena itu, permasalahan yang ditemukan adalah Peraturan pemerintah ini merujuk kepada Undang-Undang Pemerintah Daerah bukan terhadap Undang-Undang khusus yang mengatur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 

Ini menjadi permasalahan penting terhadap keseluruhan dasar hukum dari peraturan pemerintah ini. Padahal, di samping Undang-Undang Pemerintah Daerah terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang berlaku sebagian hingga saat ini sebagai dasar hukum. Permasalahan ini semakin terlihat dalam pasal 405 Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang  tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. 

Analisis Permasalahan Terhadap Kewenangan Kepala Daerah dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Dalam era otonomi daerah, kewenangan daerah akan semakin kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan. Wewenang untuk  menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berarti memberikan kesempatan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk merealisir hal tersebut, daerah membutuhkan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar dikemudian hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah. 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah dimaksud menyusun laporan keuangan daerah yang memuat salah satunya ikhtisar laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini menegaskan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah daerah. 

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengoptimalkan peran BUMD. Dalam kerangka regulasi, pengaturan mengenai BUMD telah tercantum dalam Pasal 304 serta Pasal 331 sampai dengan Pasal 343 UU Pemda. Pengaturan lebih rigid mengenai tata kelola BUMD mulai dari pendirian, penyelenggaraan, hingga pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah.

Relasi antara BUMD dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut tergambarkan pada BUMD dibagi menjadi dua jenis yakni Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda). Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMD Perumda tugasnya lebih difokuskan pada kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa sesuai kondisi, karakteristik dan potensi daerah yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan BUMD Perseroda yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas) yang lebih berorientasi untuk menghasilkan laba.

Permasalahan terhadap pembagian kewenangan kepala daerah dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah, tampaknya semakin rumit, mengingat keadaan politik yang melatarbelakangi masing-masing daerah. Badan Usaha MIlik Daerah (BUMD) sebagai sumber pendapatan daerah menjadi salah satu urusan yang seringkali dijadikan objek jual beli "kepentingan politis" bagi kepala daerah yang terpilih dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Hal tersebut dibuktikan oleh Laporan Hasil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yaitu : 

  1. Tata kelola dan kinerja BUMD belum memadai, sehingga BUMD belum dapat melayani dan memenuhi tanggung jawab kepada publik secara optimal;

  2. Pemerintah Daerah tidak menjabarkan peran dan arah pengembangan BUMD dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, sehingga tidak ada pedoman untuk merumuskan langkah pengembangan dan pembinaan BUMD;

  3. Ketidakjelasan visi dan misi pemerintah daerah terkait tujuan pembentukan BUMD, sehingga BUMD sulit untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan, misalnya BUMD tidak dapat memenuhi tujuan penyediaan barang/jasa kepada masyarakat daerah, sekaligus mendapatkan untung dari usaha BUMD tersebut;

  4. Rekrutmen Dewan Komisaris/Badan Pengawas, direksi dan karyawan BUMD yang tidak melalui proses yang terbuka dan transparan, sehingga banyak yang meragukan kompetensinya;

  5. Respon atau izin Pemerintah Daerah atas keputusan bisnis seringkali lambat, sehingga BUMD tidak mampu bersaing dengan sektor swasta yang pada gilirannya akan mengalami kerugian;

  6. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam aspek permodalan BUMD.

Dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan asas legalitas, asas pelindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan AUPB sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB. Pada hakikatnya, definisi Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diartikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945. Dalam pengelolaan Perumda, Kepala Daerah memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaannya, karena sifat Perumda itu sendiri yang modalnya dimiliki seluruhnya oleh Pemerintah Daerah. Tentunya tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemilik modal dan organ tertinggi dalam Perumda merupakan tindakan hukum publik yang didasarkan pada wewenang atribusi yang diberikan oleh Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sedangkan dalam pengelolaan Perseroda, Kepala Daerah berkedudukan sebagai pemegang saham yang mempunyai kewenangan mengambil keputusan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang BUMD. Kepemilikan saham suatu daerah terhadap Perseroda menurut ketentuan Pasal 339 ayat (1) UU Pemerintah Daerah adalah seluruhnya yang berarti 100% (seratus persen) dari jumlah saham Perseroda atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari total saham keseluruhan. Dari prosentase kepemilikan saham tersebut maka Daerah akan menjadi pemegang saham mayoritas. Kepemilikan saham mayoritas Daerah, akan berpengaruh dalam kedudukannya dalam Rapat Umum Pemegang Saham, khususnya dalam hal permodalan Perseroda dan pengambilan keputusan.

Dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang BUMD, memberikan kewenangan yang sangat luas kepada kepala daerah. Di samping sebagai penyelenggara utama dalam pemerintahan daerah, juga menjadi subjek utama dalam pengelolaan BUMD baik perumda maupun perseroda. Besarnya kewenangan ini bisa menimbulkan celah terhadap adanya konflik kepentingan (conflict of interest), yang dapat berdampak kepada lemahnya pengelolaan BUMD sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 343 Undang-Undang Pemerintah Daerah yaitu, "Pengelolaan BUMD paling sedikit harus memenuhi unsur: a. tata cara penyertaan modal; b. organ dan kepegawaian; c. tata cara evaluasi; d. tata kelola perusahaan yang baik; e. perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan; f. kerjasama; g. penggunaan laba; h. penugasan Pemerintah Daerah; i. pinjaman; j. satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya; k. penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi; l. perubahan bentuk hukum; m. kepailitan; dan n. penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan."  

Maladministrasi Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap Keuangan Negara (Studi Kasus : Maladministrasi Seleksi Organ BUMD Kota Makassar)

Birokrasi sejatinya memiliki peran yang sangat penting guna mewujudkan pemerintahan serta pelayanan publik yang baik. Roskin menekankan bahwa birokrasi tidak hanya sekadar berbicara mengenai pelayanan publik yang baik, tetapi juga sebagai alat untuk melaksanakan keputusan politik pemerintah guna mewujudkan tujuan dan cita-cita negara, yaitu kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, birokrasi yang ada kerap tidak diimplementasikan secara baik, bahkan menimbulkan sejumlah perbuatan maladministrasi. Hal demikian, menurut Nurtjahjo, justru menjadi salah satu unsur pertama penghambat reformasi birokrasi. Salah satu contoh faktual maladministrasi dalam penyelenggaraan birokrasi adalah dalam pemilihan direksi dan dewan pengawas sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kota Makassar. Kasus ini bermula ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar menyelenggarakan seleksi terbuka untuk mengisi jabatan direksi dan dewan pengawas dari Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar, Perusahaan Perseroan Daerah (PD) Pasar Makassar Raya, PD Terminal Makassar Metro, PT Bank Pengkreditan Rakyat (Perseroda), dan PD Rumah Pemotongan Hewan Kota Makassar pada bulan Mei 2022.

Publik dikejutkan setelah mengetahui bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Makassar, M. Ansar, yang diamanatkan sebagai Ketua Tim Seleksi (Timsel) untuk melakukan Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK), justru lolos sebagai calon Dewan Pengawas PDAM Kota Makassar. Kemudian, diketahui pula bahwa Walikota Makassar, Danny Pomanto, meniadakan tahap wawancara kepada beberapa peserta seleksi. Ia beralasan bahwa banyak peserta seleksi merupakan orang-orang terdekatnya sehingga akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Atas kejadian tersebut, 4 orang peserta seleksi akhirnya mengadukan proses seleksi tersebut kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Sulawesi Selatan atas dasar indikasi pelanggaran maladministrasi dan cacat prosedural. Pada akhirnya, ORI Perwakilan Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi kepada Pemkot Makassar untuk memperbaiki prosedur tersebut, yaitu untuk melakukan wawancara dengan tenggat waktu 30 hari. Meskipun demikian, ORI Perwakilan tidak memberikan sanksi atau rekomendasi atas keikutsertaan Sekda sebagai peserta seleksi, meskipun ia merupakan ketua Timsel. Guna mengupas bentuk penyimpangan birokrasi yang terjadi, maka penting untuk melihat kesesuaian proses seleksi di atas dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum, persyaratan mengenai Direksi, Dewan Pengawas, dan anggota Komisaris diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (PP 54/2017). Pasal 39 dan 58 PP Nomor 54 Tahun 2017 mengatur bahwa pemilihan organ perusahaan tersebut harus dilakukan melalui seleksi yang sekurang-kurangnya meliputi tahap UKK.

Dari kegiatan di atas, proses seleksi organ BUMD sejatinya merupakan bagian dari Government Activities dalam birokrasi publik, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam mengembangkan BUMD. Oleh karena itu, penting bagi Pemkot Makassar untuk memperhatikan asas-asas penting dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yaitu: (a) asas legalitas; (b) asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan (c) Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pertama, asas legalitas berarti bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Apabila ditinjau berdasarkan hukum yang berlaku, keikutsertaan Sekda sebagai peserta seleksi sekaligus ketua timsel sebenarnya tidak dilarang. Pasal 38 PP 54/2017 tidak memuat persyaratan bahwa anggota Dewan Pengawas/Komisaris tidak boleh berasal dari ASN atau perangkat daerah. Justru, PP yang sama mensyaratkan bahwa anggota tersebut memahami penyelenggaraan Pemerintah Daerah, kualitas yang dimiliki oleh Sekda. Pun tidak ada larangan bahwa anggota Timsel dalam UKK tidak boleh merangkap sebagai peserta. Oleh karena itu, persoalan keikutsertaan Sekda bukan merupakan persoalan hukum. Namun, terdapat benturan terhadap asas-asas lainnya.

Persoalan peniadaan wawancara oleh Walikota Makassar sejatinya tidak dapat dipungkiri sebagai bentuk pelanggaran dan penyimpangan hukum dan maladministrasi. Dari segi birokrasi publik, peniadaan tersebut justru merupakan penyimpangan birokrasi publik, sebab tidak memberikan pelayananan publik yang sesuai tujuan. Walikota Makassar sebagai birokrat tidak menunjukan perannya sebagai katalisator atau memberikan contoh yang baik bagi masyarakat maupun aparaturnya, yaitu dengan melakukan penyimpangan hukum tanpa alasan yang sah dan konstruktif. Kedua, peniadaan wawancara akhir terhadap peserta tertentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, Walikota Makassar tidak bersikap adil dan tidak memperlakukan peserta-peserta tertentu secara sama di hadapan hukum sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perilaku yang sama juga tercermin dalam keikutsertaan Sekda sebagai peserta. Meskipun bukanlah perbuatan melawan hukum, kedudukan Sekda yang memiliki kewenangan lebih untuk menentukan calon anggota yang lolos UKK sejatinya menunjukan ketidakadilan. Ketiga, peniadaan wawancara akhir terhadap orang-orang tertentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap AUPB, yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas kepentingan umum, dan asas pelayanan yang baik. Hal ini juga masuk pada definisi Maladministrasi, yaitu perbuatan melawan hukum untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil, kepada peserta seleksi lainnya. Selain itu, apabila ditinjau berdasarkan syarat pemenuhan birokrasi publik yang demokratis menurut Frederick C. Mosher, maka Walikota Makassar tidak cermat memperhatikan dua nilai yang saling berbenturan, yaitu efficiency dan equity. Secara sekilas, terdapat persoalan efisiensi dalam mewawancarai orang terdekat Walikota, sebab Walikota tersebut pastinya sudah tahu kepribadian, performa, hingga gagasan yang dibawa sehingga mubazir agaknya untuk melakukan wawancara akhir. 

Namun, dalam kasus a quo, hal efficiency sebenarnya bukanlah hal yang patut dipermasalahkan, sebab tidak ada hambatan ataupun kerugian yang dapat menghambat birokrasi publik. Seharusnya, Walikota Makassar tetap bersikap profesional dan berusaha memperhatikan prinsip equity terhadap peserta lainnya, sebab ia tahu bahwa ia akan bersikap biasa terhadap peserta tertentu. Adapun terdapat kritik terhadap tanggapan dan rekomendasi ORI. Terlihat bahwa ORI menutup mata terhadap dugaan maladministrasi berupa partisipasi Sekda sebagai peserta dan tim seleksi. Sebagaimana telah diungkapkan, partisipasi tersebut bukan perbuatan melawan hukum. Namun, keikutsertaan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas ketidakberpihakan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, dan asas kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2014.  Tidak dapat dipungkiri bahwa timbul pula conflict of interest dalam diri Sekretaris Daerah (Sekda) tersebut. Sekda akan lebih mengutamakan dirinya, pun kenyataannya Sekda tersebut lolos sebagai Calon Anggota Dewan Pengawas. Lebih lanjut, perbuatan demikian juga masuk pada definisi maladministrasi, yaitu menggunakan wewenang untuk tujuan lain (meloloskan diri sendiri) dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil, kepada peserta seleksi lainnya. Oleh karena itu, ORI juga keliru dalam memberikan rekomendasi dan tanggapan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Saat ini Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum memiliki dasar hukum yang tegas dan kuat. Perlunya dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi produk hukum yang mengatur tentang pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) . Sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan cara vertikal dan horizontal terkait produk hukum yang mengatur tentang BUMD dari produk hukum tertinggi sampai tingkatan yang paling rendah. Besarnya kewenangan kepala daerah, perlu dimitigasi sehingga dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang (conflict of interest) sebagaimana yang telah dijabarkan dalam studi kasus di atas.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, BUMD memiliki peran yang sangat penting baik dalam penyelenggaraan pelayanan umum maupuk perekonomian daerah. Namun, dalam pelaksanaanya, BUMD harus dipertegas dan diperketat keberadaanya sehingga bisa menjalankan sebagaimana tujuan di awal, dan memperkecil terjadinya kerugian negara.

Saran

Berdasarkan penelitian tentang BUMD ini, maka penulis memberikan rekomendasi yaitu:

  1. Perlunya melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terkait terhadap produk hukum yang mengatur dan terkait dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

  2. Perlunya revisi terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah atau perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Perusahaan Daerah atau BUMD sesuai dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan BUMD. 

  3. Perlunya pengawasan kewenangan oleh pemerintah pusat terhadap kewenangan kepala daerah, sehingga dapat memitigasi adanya penyalahgunaan wewenang. Pengawasan tersebut dapat dilimpahkan langsung kepada kementerian negara atau lembaga audit negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun