Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Saat ini, selain tertarik mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat, ia terus belajar menulis serta sangat terpikat pada jurnalisme dan sastra. Perspektifnya sangat dipengaruhi oleh agama dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Runduma Surga Kecil di Wakatobi: Buku yang Mengajak Kita Merenungi Pembangunan Masyarakat

7 Januari 2024   12:19 Diperbarui: 1 Februari 2024   09:53 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam peluncuran buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati

Malam peluncuran buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati
Malam peluncuran buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati

Saya menyadari bahwa penilaian kita terhadap Indonesia sering kali bias, terutama terhadap masyarakat pedesaan. Apalagi kalau ada stigma bahwa masyarakat pedesaan dianggap "tidak modern" dan "tertinggal". Modern menurut definisi siapa dulu?

Fokus pendidikan seharusnya pada pemberdayaan masyarakat pedesaan, bukan memaksa mereka pindah ke kota untuk mencari penghidupan, mencari kerja agar tetap hidup, padahal di daerahnya sendiri kekayaan alam begitu melimpah.

Melalui buku ini, saya ingin mengajak kita merenungi pembangunan masyarakat dari perspektif yang lebih luas, tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari segi "metafisik", sosial, dan budaya. Pembangunan seharusnya menciptakan kesempatan setara bagi semua orang dan memberdayakan, bukan memperdaya masyarakat.

Buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati
Buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati

Salah satu tantangan terbesar dalam menulis buku ini adalah saat mentranskrip wawancara dengan tokoh-tokoh di Runduma. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahasa dan budaya seperti penggunaan dialek lokal dan istilah lokal yang sebelumnya belum saya pahami. 


Akibatnya, saya harus mendengarkan rekaman berulang kali sambil mengecek beberapa literatur untuk memahami kondisi dan konteksnya. Rekaman satu jam bisa saya habiskan sehari hingga dua hingga berhari-hari.

Tetapi saya tidak patah arang. Banyak cerita di desa ini, yang saat ini menjadi tradisi lisan turun-temurun, belum terdokumentasikan sebagai bagian dari khazanah sejarah. Tanpa pendokumentasian, cerita-cerita ini berisiko hilang dari Runduma.

Dan bagi saya, selayaknya, para guru di sanalah yang harus mengambil peran ini. Merekam, menciptakan literasi versi mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak boleh egois. Menjadi guru di Runduma, tidak semudah merangkai kata-kata.

Awalnya, saya berencana menulis buku ini dengan pendekatan akademis. Saya ingin memasukkan teori-teori yang umum diajarkan di kampus, sehingga buku ini dapat dikategorikan sebagai buku ilmiah dan bisa ditempatkan di rak-rak perpustakaan universitas. 

Saya bahkan rela bolak-balik ke perpustakaan tertentu dan membayar biaya masuk, karena saya bukan mahasiswa yang membayar uang kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun