Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Saat ini, selain tertarik mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat, ia terus belajar menulis serta sangat terpikat pada jurnalisme dan sastra. Perspektifnya sangat dipengaruhi oleh agama dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mengurai Kerancuan Berpikir: Memahami Akal Budi dan Nurani, Reviu Buku Menyiasati Sesat Pikir

30 Juli 2023   15:51 Diperbarui: 30 Juli 2023   16:03 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Rika Iffati Farihah penulis buku Menyiasati Sesat Pikir. Foto: Dokumentasi Maheng

Karena itu, buku Menyiasati Sesat Pikir ini mengajak kita untuk mengkritisi cara berpikir kita, baik secara pribadi maupun kolektif sebagai umat Muslim.


"Saya menegaskan ya, Al-Quran itu dari Allah, enggak mungkin ada sesat pikir dalam Al-Quran, mahasuci Allah dari sesat berfikir atau mengajak kita untuk sesat berfikir," tegas Nur.

"Tapi tafsir itu dari mana? Dari manusia. Dan manusia apakah mungkin sesat berfikir? Ya mungkin sekali, apalagi dalam isu perempuan," lanjutnya.

Untuk memperkuat argumentasinya, Nur menyoroti dua teori yang dibahas dalam buku ini. Pertama adalah Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory/CDT) yang diperkenalkan oleh Leon Festinger.

Hal ini dapat dikaitkan dengan jebakan pemikiran yang sering terjadi dalam penafsiran Al-Quran yang bias gender. Ketika ada yang menafsirkan Al-Quran dari perspektif keadilan gender (keadilan bagi laki-laki dan perempuan), laki-laki mungkin mengalami disonansi kognitif dan takut bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran Allah.

Padahal, yang digugat adalah penafsiran yang selama ini lebih banyak disuarakan oleh laki-laki, yang membuat perempuan rentan terhadap stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan.


Teori kedua adalah teori Bias Blind Spot yang diperkenalkan oleh Emily Pronin. Teori ini menyatakan bahwa ketika kita mengkritik orang lain, kita juga harus mengkritik diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke dalam kekeliruan logika.

Hal ini dilakukan dengan cara mengenali cara berpikir kita, mengenali jebakan-jebakan pemikiran yang keliru, dan kemudian mengembangkannya menjadi sesuatu yang produktif untuk maslahah (المصلحة).

Setiap orang diberi akal budi, sekali lagi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, tidak semua orang menggunakan akal budi dengan baik sehingga tindakannya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Selain akal budi, sebagai manusia, kita dikaruniai hati nurani. Hati nurani ini selalu berbicara tentang maslahah semua orang. Tidak hanya berbicara soal halal, tapi juga baik. Apakah sesuatu itu halal? Harus halal. Apakah sesuatu yang halal itu sudah pasti baik? Belum tentu.

Nanti dalam konteks perempuan lebih-lebih lagi. Ada banyak hal yang baik buat laki-laki tapi buat perempuan tidak. Halalan tayyiban itu berkaitan dengan nurani, berkaitan dengan simpati, berkaitan dengan roso (kepantasan), makrufan (urf) sesuatu yang pantas secara sosial, ada hal baik tapi tidak pantas secara sosial, banyak sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun