Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Writer

Saat ini, selain tertarik mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat, ia terus belajar menulis serta sangat terpikat pada jurnalisme dan sastra. Perspektifnya sangat dipengaruhi oleh agama dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Tragedi Pembakaran Sekolah dan Inner Child: Mengapa Pola Asuh Penting?

5 Juli 2023   18:33 Diperbarui: 8 Juli 2023   02:20 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi emosi orangtua kepada anak Foto: Shutterstock.com via Kompas.com

Beberapa waktu terakhir, pemberitaan tentang tindakan mengerikan siswa yang nekat membakar sekolahnya sendiri mencuri perhatian publik. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, seorang siswa SMP melampiaskan sakit hatinya dengan membakar sekolahnya sendiri, sebagai respons atas tindakan  perundungan dari teman-teman dan gurunya.

Namun, kejadian ini bukanlah satu-satunya tragedi yang terjadi, karena sebelumnya, seorang siswi berusia 15 tahun di Guyana juga melakukan tindakan serupa yang berujung pada kehilangan nyawa 19 orang. 

Situasi semakin memburuk ketika publik mengetahui bahwa tindakan pihak sekolah tidaklah mendukung korban-korban perundungan. Terlebih, kepala SMP Negeri 2 Pringsurat malah menyalahkan R (14), korban perundungan, dengan menganggapnya sebagai seorang yang mencari perhatian atau caper.

Keadaan yang terjadi di sekolah tersebut mencerminkan fenomena yang lebih luas, yang dikenal sebagai bystander effect. 

Fenomena ini tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi bahkan dapat ditemukan dalam konteks rumah tangga, dan seperti gunung es, mungkin hanya sebagian kecil kasus yang terlihat publik. 

Seringkali orang tua  dan guru menggunakan pendekatan tough love dengan memberikan label seperti "caper", "bandel" atau "nakal". Ini akan memberi dampak negatif pada kondisi kejiwaan anak, bahkan ketika mereka sudah dewasa.

Penggunaan intonasi tinggi dalam menyampaikan pesan juga menjadi salah satu pola komunikasi yang umum digunakan. 

Ungkapan seperti "lagian kamu sih..." atau "ngeyel kalau dibilangin..." seringkali diucapkan tanpa menyadari bagaimana kata-kata tersebut bisa merusak kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional anak. 

Dalam banyak kasus, orang tua sering menggunakan dalih "orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya" atau "guru sudah duluan makan asam garam" untuk membenarkan keputusan atau pendapat mereka terhadap anak. 

Meskipun niat mereka mungkin baik, pendekatan ini dapat memiliki konsekuensi serius.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun