Mohon tunggu...
I GedeBudiarta
I GedeBudiarta Mohon Tunggu... Lecturer

Hobi membaca sejarah nusantara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradoks Pengetahuan: Semakin Banyak Tahu, Maka Semakin Banyak Ketidaktahuan

14 Oktober 2025   14:17 Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:17 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Artikel ini membahas paradoks epistemologis dalam filsafat pendidikan yang dinyatakan melalui ungkapan klasik “semakin banyak kita tahu, maka semakin banyak kita tidak tahu.” Berangkat dari pandangan Socrates tentang kesadaran akan ketidaktahuan (Socratic ignorance), artikel ini menguraikan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada akumulasi informasi, tetapi pada kesadaran reflektif atas keterbatasan diri manusia dalam memahami realitas. Dalam konteks pendidikan modern, khususnya di era digital, kesadaran ini menuntun pada pembentukan karakter intelektual yang rendah hati, terbuka, dan kritis. Pendidikan sejati bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan transformasi kesadaran menuju kebijaksanaan.

Dalam dunia pendidikan, pengetahuan sering dianggap sebagai tujuan akhir. Kita belajar agar tahu, memahami agar menguasai, dan meneliti agar menemukan kebenaran. Namun, filsafat—sebagai refleksi terdalam dari kesadaran manusia—mengajarkan paradoks yang justru berlawanan: semakin banyak kita tahu, maka semakin banyak kita tidak tahu.
Ungkapan ini, yang berakar pada kebijaksanaan Socrates, bukanlah sekadar paradoks logis, tetapi cermin dari hakikat pengetahuan itu sendiri. Ia mengajak manusia untuk menyadari keterbatasan diri di tengah lautan pengetahuan yang tak bertepi.

Filsafat pendidikan, dalam konteks ini, berfungsi bukan untuk mengajarkan apa yang harus diketahui, melainkan menumbuhkan kesadaran mengapa dan bagaimana kita mengetahui sesuatu. Pendidikan menjadi ruang reflektif untuk memahami keterbatasan manusia dalam menggapai kebenaran, serta memupuk semangat terus mencari dalam kerendahan hati intelektual.

Akar Filosofis: Dari Socrates ke Ilmu Pengetahuan Modern

Socrates, melalui metode dialektiknya, menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati dimulai dari kesadaran akan ketidaktahuan. “Aku tahu bahwa aku tidak tahu,” katanya, bukan sebagai pengakuan bodoh, melainkan sebagai bentuk tertinggi dari kebijaksanaan reflektif.

Dalam konteks pendidikan, kesadaran ini mengandung pesan mendalam: pengetahuan bukanlah titik akhir, melainkan proses tanpa henti. Setiap penemuan membuka tabir baru ketidaktahuan. Karl Popper (1963) menyebut bahwa ilmu pengetahuan tumbuh melalui conjectures and refutations—hipotesis yang selalu terbuka untuk disangkal dan diperbaiki. Dengan demikian, mengetahui berarti juga siap mengakui bahwa apa yang diketahui bersifat sementara dan dapat direvisi.

Dalam perspektif ini, tujuan pendidikan bukan menuntun siswa menjadi “paling tahu,” melainkan menjadi “paling sadar” akan luasnya yang belum diketahui. Kesadaran inilah yang menandai kebijaksanaan filosofis.

Dimensi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Cermin Terbatas

Epistemologi dalam filsafat pendidikan menekankan bahwa pengetahuan manusia bersifat representasional dan terbatas. Pengetahuan ibarat cermin kecil yang memantulkan sebagian kecil realitas yang tak terhingga. Ketika pendidikan menambah isi cermin itu dengan lebih banyak pantulan, kita juga makin menyadari betapa besar bagian realitas yang tidak terpantul.

Paradoks ini mengajarkan bahwa belajar bukan sekadar memperluas wilayah tahu, melainkan memperdalam kesadaran akan keterbatasan pemahaman itu sendiri. Paulo Freire (1970) menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah praxis—tindakan reflektif antara mengetahui dan menyadari diri dalam dunia.

Dengan demikian, pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer of knowledge yang bersifat informatif, tetapi harus mencapai transformation of consciousness yang bersifat reflektif. Hanya dengan kesadaran inilah, manusia dapat menghindari arogansi intelektual dan menumbuhkan kerendahan hati epistemik.

Pendidikan sebagai Proses Kesadaran, Bukan Pengisian

Filsafat pendidikan modern memandang proses belajar sebagai pengembangan kesadaran diri (self-awareness). Seorang guru bukan sekadar pengisi pikiran murid, tetapi fasilitator kesadaran akan cara berpikir.

Pendidikan yang hanya menjejali fakta akan melahirkan kepintaran tanpa kebijaksanaan. Namun pendidikan yang menumbuhkan kesadaran akan “tidak tahu” akan melahirkan sikap terbuka terhadap kebenaran. Dalam bahasa John Dewey (1916), pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman yang menumbuhkan kemampuan berpikir reflektif—bukan penumpukan hafalan.

Ketidaktahuan yang disadari bukanlah kelemahan, melainkan sumber dari rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Di sinilah filsafat pendidikan menemukan maknanya: membimbing manusia untuk terus bertanya dengan kesadaran, bukan hanya menjawab dengan kepastian.

Paradoks Pengetahuan di Era Digital

Di era digital, paradoks ini semakin nyata. Informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan menipis. Akses terhadap data tidak otomatis menghasilkan pemahaman. Kita tahu banyak hal secara dangkal, tetapi jarang menghayati secara mendalam.

Filsafat pendidikan mengingatkan bahwa mengetahui bukan berarti memahami. Dalam banjir informasi, pendidikan perlu menumbuhkan metakognisi—kemampuan berpikir tentang proses berpikir sendiri. Siswa perlu dibimbing bukan hanya untuk mencari kebenaran, tetapi juga memahami keterbatasan dirinya dalam menilai kebenaran tersebut. Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai kompas epistemologis di tengah hutan pengetahuan yang luas dan kompleks, menjaga agar manusia tidak tersesat dalam ilusi “mengetahui segalanya.”

Implikasi Etis: Dari Kesadaran Menuju Kebijaksanaan

Kesadaran akan keterbatasan pengetahuan melahirkan etika belajar: kerendahan hati intelektual (intellectual humility). Orang bijak tidak sombong karena tahu, tetapi berani mengakui ketidaktahuannya.
Dalam pendidikan, sikap ini menjadi dasar karakter etis pembelajar sejati—jujur, terbuka, dan siap memperbaiki diri. Pendidikan yang melandaskan diri pada kesadaran ini tidak hanya mencetak manusia yang cerdas, tetapi juga manusia yang arif. Ia tidak sekadar mengetahui dunia, tetapi berusaha memahami maknanya dengan penuh kebijaksanaan.

Ungkapan “semakin banyak kita tahu, maka semakin banyak kita tidak tahu” bukanlah bentuk pesimisme intelektual, tetapi ekspresi tertinggi dari kesadaran filosofis manusia. Ia menandakan bahwa pengetahuan sejati tidak diukur dari banyaknya informasi yang dimiliki, melainkan dari kedalaman refleksi atas keterbatasan diri.

Dalam konteks filsafat pendidikan, hal ini berarti bahwa tujuan belajar bukanlah mengetahui segalanya, melainkan menyadari ketidaktahuan dengan lebih bijak. Dari kesadaran inilah lahir kebijaksanaan, kerendahan hati, dan semangat belajar yang tak pernah padam.
Pendidikan sejati, karenanya, bukan perjalanan menuju akhir pengetahuan, tetapi perjalanan tanpa akhir menuju kebijaksanaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun